PART 8 (End)

1.1K 68 10
                                    

Alanis menggenggamku erat. Kami berjalan menapaki permukaan putih selembut salju. Jejak kakiku tergambar jelas tapi tidak dengan jejaknya. Dia seperti terbang. Kami berhenti di sebuah bungalo, warna cokelat kayu kontras dengan sekitarnya yang bernuasa putih.

"Semua barang ini aku ambil," ujar Alanis. Tangannya menggenggam kotak besi kecil mirip yang aku temukan di petinya.

"Kamu tidak keberatan kan?" Suaranya mendayu bak bunyi gesekan angin dengan dedaunan yang jatuh. Terlihat dan terdengar indah.

"Kenapa Alanis? Kau pergi. Padahal aku mencintaimu." Bibirku bergerak melayangkan protes yang selama ini terkekang di jiwa.

"Maafkan aku, Ken. Aku hanya ingin bebas dan kau mampu melakukan itu."

"Kau membohongiku, Alanis. Menciptakan cinta di antara kita lalu kau pergi."

"Aku memang telah pergi, Ken." Wajah putihnya murung. Alanisku bersedih. Hatiku tercubit, sakit.

"Aku telah pergi dari dunia namun urusan dunia tidak mau pergi dariku. Aku telah bebas, Ken. Dan kau sangat berjasa untuk itu," ujarnya.

"Kenapa aku harus mencintaimu kalau begitu? Kenapa kau pergi saat mengambil tempat di hatiku. Aku terluka, Alanis. Jiwaku kacau. Aku tidak pernah mencintai seorangpun karena tahu bahwa jasadku tak lama lagi akan tiada. Tapi kau datang dan menaruh rasa itu. Agaknya adil kalau aku marah padamu, Alanis."

"Aku tak tahu harus bertanya kepada siapa, kau menghilang bagai debu jalanan. Pikiranku terombang-ambing tanpa tujuan. Kemana Alanis?"

Dia mendekat padaku kemudian memelukku erat. Debar jantung ini kacau, Alanis meletakkan telapak tangan mungilnya ke dadaku dan seketika detaknya kembali tenang.

Dia menatapku lekat.

"Aku telah salah, Ken. Namun mencintai bukanlah suatu dosa. Kau mencintaiku dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi dunia kita berbeda. Mencintailah tanpa batasan. Cintai semua orang, sayangi apapun selama kita masih hidup. Pikiran buruk bukanlah halangan untuk mencintai." Alanis mengusap rambutku.

Jemarinya lembut menyisir inci demi inci kulit kepalaku. Seketika pikiranku terasa jernih, hawa panas dan menggebu-gebu selama ini berkurang. Rasanya tenang dan damai, seolah bisa melihat bayangan kecil butir salju nan terhempas dari langit. Menyejukkan tidak membekukan. Menyamankan tidak menggigit.

"Cintailah walau pahit akhirnya. Terluka sedikit biasa dalam mencinta. Jangan sampai membuat hati kita mati rasa. Ken, kau orang baik. Cintamu suci dan semua orang layak mendapatkan itu darimu. Jangan membenci cinta. Karena ia anugerah dari Tuhan." Kata-kata Alanis merasuki pikiranku.

"Bacalah ini." Alanis menyerahkan sepucuk surat. Aku membuka lembarnya.

"Page 3. Alanis adalah wujud dari cinta. Mengandungnya selama ini adalah kebahagiaan besar bagiku. Alanis berbeda namun tumbuh cantik bak bidadari. Setiap gerak-geriknya merupakan rekayasa Tuhan yang maha baik. Alanis memberikan warna. Tak hanya putih layaknya gambaran dirinya, namun juga aneka warni lain. Alanis penyemangat hidup. Cinta mengalir dalam nadinya meski berkali-kali aku mengutuk Tuhan akan takdir Alanisku. Dia selalu tersenyum dan berkata bahwa Tuhan tidak salah, Tuhan sayang. Karena dia yang terpilih untuk menanggung beban hidup yang mungkin tidak akan sanggup di hadapi orang lain. Alanis tetap seperti itu. Dia adalah cinta dan yang berhubungan dengnnya pasti akan menemukan cinta."

Suratnya berakhir, tiba-tiba tubuhku terasa berat. Seperti akan tersedot ke dalam sesuatu. Rasanya ragaku akan segera melayang namun sekitar tetap tenang. Aku menggenggam tangan Alanis, tak ingin pergi.

Alanis mendekatiku dan mencium pipiku sekali. Dia melepas kepalan tangannya dan aku melayang bak buih sabun. Ringan.

"Tempatmu bukan di sini, Ken. Selamat tinggal dan terima kasih." Alanis semakin menjauh. Tanganku terulur hendak menggapai, namun ia bak bintang di langit. Kian mengecil kemudian hilang.

***

"Ken... Keanu!"

Aku memgerjap. Silau. Dimana ini. Aroma klorin dan bau familiar lainnya mendera hidung. Sedetik kemudian, ruangan bernuansa putih menyambutku. Wajah-wajah gusar terpampang di hadapan.

Paman, Bibi, sepupu dan Bi Entin serta suaminya. Aku di Rumah Sakit.

"Alahamdulillah Ya Allah. Akhirnya sadar." Bi Entin mengusap wajahnya yang mulai keriput. Bengkak matanya membuktikan air mata yang tak henti mengalir, pasti untukku. Pak Herno bergegas keluar, mungkin memanggil Dokter.

"Ken, kamu baik-baik saja?" Paman menyentuh bahuku.

"Iya paman. Aku baik." Suaraku parau. Haus.

"Ini air putih, Ken." Sepupuku menyerahkan botol air mineral dan membangunkan tubuhku. Ah, rasanya kaku sekali. Berapa lama aku terbaring.

Aku menenggak air putih itu.

"Kamu koma dua hari, Nak. Bibi khawatir sekali." Bibi mengusap pipiku. Wajah cemas menaunginya.

"Syukurlah kamu baik-baik saja," sambungnya.

Mereka semua tersenyum. Sementara aku hanya terdiam. Mimpi tadi seolah nyata. Alanis, kau meninggalkan cinta dan juga luka. Namun rasa itu tidak menyakitiku kali ini. Kau adalah kenangan termanis dalam hidupku.

Paman dan Bibiku serta anak mereka pamit, sebab ada urusan mendesak katanya. Seperti biasa, sepi menemani eksistensiku namun ini berbeda, entah kenapa rasanya sepi bukanlah musuh. Hanya teman yang loyal tanpa berkhianat. Lebih tenang seperti ini. Senyum besar terkembang di wajah. Lega. Itulah perasaanku saat ini.

Sinar mentari siang menerobos jendela. Silau. Reflek aku menengadahkan tangan demi menghalau kilau itu. Tiba-tiba seutas bulu putih terbang mengangkasa dan jatuh di pangkuanku.

Kuambil bulu itu, bentuknya sama dengan yang terakhir kali berkunjung ke kamar. Pikiran menerjang waktu dan tercetaklah sosol Alanis dengan sayap mekar di punggungnya, gadis itu telah bebas sekarang, pergi kemanapun ia mau. Alanis, aku telah mengerti dirimu. Terima kasih.

Tamat

Sumber: Opini Pribadi (Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang)

Picture By WWW.PIXABAY.COM

ALANIS (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang