PART 6

771 61 1
                                    

Kepalaku sakit. Reflek tangan mengurut pelipis. Seperti terbentur sesuatu yang sangat keras. Kurasakan cairan hangat merembes melalui hidung, darah segar.

Aku membuka mata. Netra menatap nanar, mencoba meyakinkan keberadaan saat ini. Rupanya ini adalah ruang tamu rumah Alanis, tempat terakhir kali tubuh kehilangan kesadarannya. Sekali lagi kelebat kejadian supranatural tadi membayang di pikiran. Apakah ini semua ilusi. Bahkan satu pertanyaan pun belum terjawab. Aku akan berdiri sesaat setelahnya jemari menyentuh sesuatu. Buku diary Emily. Tiba-tiba bulu roma menegak.

Ada sesuatu yang tidak beres pada rumah ini, sosok Alanis juga. Apakah dia hanya imajiku namun dirinya berasa nyata, sentuhannya, kehangatan, anggun dan cantiknya dia.

Aku menendang jauh buku harian tua itu dan berlari mencari pintu keluar. Ingin menjauh secepatnya dari tempat ini. Seberani apapun seorang lelaki tetap saja akan ketakutan jika mengalami rentetan kejadian seperti diriku.

Pintunya macet, berkali-kali gagang kuputar namun tidak juga menampakkan tanda segera terbuka. Keringat dingin mengucur deras, mataku nanar memperhatikan sekitar, berjaga jikalau ada sesuatu yang aneh lagi. Ruang tamu Alanis nampak gelap dan suram. Debu tebal menempel dimana-mana. Bola lampu yang kupasang seakan tiada guna, mati. Sedikit cahaya matahari masuk melalui celah jendela yang tertutup gorden tipis. Untunglah masih siang.

Ah, sial! Pintu ini macet parah. Aku menggedor dengan keras sembari memutar gagang itu berkali-kali. Panik dan takut menyerang batinku.

Klek!

Akhirnya pintu terbuka. Aku menghambur keluar tanpa melihat ke belakang meninggalkan rumah misterius serta Alanis yang ikut tenggelam di dalamnya. Matahari sudah tinggi, aku terus berlari dan bahkan sampai ke dalam rumah sendiri. Tak kupedulikan tatapan sumbang Bi Entin dan suaminya.

Aku mengurung diri di kamar. Menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sebotol air mineral tandas dalam sekejab. Tubuh ini meringkuk di atas ranjang dan menutup diri dengan selimut tebal. Mencoba melupakan kejadian aneh tadi, serta berpikir bagaimana menentukan langkah selanjutnya.

***

"To ... long...." Suara apa itu.

"Tolong aku ...." Dia mengulanginya.

"Tolong aku Keanu." Suara Alanis. Manis sekaligus pedih. Pandanganku gelap gulita. Tetapi tiba-tiba saja siluet itu kembali muncul, membawa kerumah kosong itu dan menarik tanganku menuju loteng. Ada sesuatu yang belum selesai. Aku tahu itu.

Craaat!

Halilintar menyambar, terangnya menyingkap pemandangan miris di hadapanku. Emily yang bersimbah darah tertawa lebar dan dua jasad tergeletak di sampingnya. Alanis dan Edward.

Kilatan halilintar yang kedua.

Emily berdiri dihadapanku dan memperlihatkan seringai jahat yang menakutkan.

***

Aku terbangun, kali ini keringat membanjiri pakaian hingga tembus ke kasur. Mimpi buruk itu mengejutkan, kusambar air putih entah untuk keberapa botol. Sejak siang tadi mata sulit terpejam, setiap ingin tidur maka bayangan itu selalu muncul menghantui. Apa yang harus aku lakukan, kepada siapa aku meminta pertolongan. Rumah Alanis nampak sepi, ternyata jam menunjukkan pukul 22.00. Entah kapan aku jatuh di kasur dan terlelap.

Perlahan kubuka sedikit tirai jendela dan mengintip ke rumah itu. Gelap seperti biasa. Pepohonan nampak bergoyang lembut mengikuti sepoi angin malam. Tidak ada sesuatu yang berubah dari sebelumnya. Aku ingin beranjak dan meengabaikan semuanya namun kaki ini tidak dapat bergerak begitu pula hati yang mendadak tertuju penuh pada Alanis.

ALANIS (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang