2

1.3K 108 12
                                    

"Ayah gimana nih, anak Ayah yang paling cantik, mobilnya tau-tau mogok. Nggak bisa nyala. Mana dari tadi dimaki-maki sama orang. Bukannya bantuin malah ngomel-ngomel. Sungguh krisis simpati dan empati ya sekarang ini," kata Gia panjang lebar saat panggilannya dijawab oleh sang Ayah.

"Ini Ayah disuruh sedih apa ketawa dulu ini Gi?" Tanya Ayah menahan tawa.

"Ih Ayah kenapa malah ngetawain Gia sih?" Sungut Gia kesal.

"Ya kamu kenapa cuma laporan mobil mogok aja harus bikin novel dulu. Panjang banget," omel Ayah gemes dengan tingkah putrinya.

"Terus ini Gia gimana dong? Udah diomelin mulu sama orang nih," Gia makin panik.

"Ayah bentar lagi sampe kantor. Nanti Ayah telponin bengkel aja ya buat ambil mobil kamu," kata Ayah memberikan saran.

"Terus Gia ngampusnya gimana dong?"

"Naik ojek online aja ya."

"Oke siap," Gia mengakhiri panggilan.

Gia segera menyalakan lampu hazard, sebagai penanda mobilnya sedang bermasalah. Lalu diambilnya tas ransel hitam dari bangku samping. Gia keluar dan menuju bagian belakang mobil. Membuka bagasi mobilnya untuk mengambil segitiga pengaman. Setelah menutup kembali pintu bagasi, Gia melangkah ke bagian belakang mobil dan memasang segitiga pengaman di sana. Safety. Bisa ditilang ntar Gia kalo nggak masang beginian.

Gia berlari kecil menuju trotoar di sisi kiri. Berjalan menjauhi mobilnya dan berhenti di bawah pohon akasia yang rimbun. Gia mengambil ponselnya dari kantung kemeja. Membuka aplikasi ojek online dan membuat pesanan.

Lima menit berlalu. Belum ada satupun driver ojek online yang menerima pesanannya. Gia melirik ponselnya, membuatnya panik. Lima belas menit lagi kalau dirinya belum sampai kampus bisa kena omel si senior mulut cabe lagi deh. Gia menggelengkan kepalanya, menghapus bayangan si senior galak.

"Jangan telat dong," kata Gia kepada dirinya sendiri.

Gia memandang sekeliling. Mobilnya masih diam 50 meter darinya dengan lampu hazard yang berkedip-kedip. Montir panggilan Ayah belum juga tiba. Jalanan sekitar lumayan ramai. Tapi Gia nggak menemukan taksi kosong yang lewat. Semua taksi yang lewat berpenumpang. Gia menghela nafa, mencoba menenangkan diri.

"Neng, mau kemana?" Tanya seorang sopir angkot saat angkotnya berhenti di depan Gia.

"Ke kampus Gajah Muda bang," jawab Gia lalu memandang angkot warna kuning yang sudah hampir penuh tersebut.

"Hayuh masuk. Di sini jarang ada taksi lewat," ajak si supir angkot.

Gia enggan beranjak dari tempatnya. Nggak pernah kebayang dia naik angkot. Selama ini Ayah dan Bunda selalu memanjakannya. Jadi kemanapun Gia pergi, pasti ada yang mengantar. Kalaupun Ayah dan Bunda berhalangan, mereka akan meminta siapapun, entah saudara, teman atau tetangganya, untuk menggantikan tugasnya mengantar atau menjemput Gia. Jadi Gia hanya tinggal duduk manis dan sampai di tujuan. Sementara ini kejadian luar biasa yang nggak diharapkan.

"Ayo yang belakang mundur ya. Kasih tempat buat neng cakep," perintah pak supir kepada penumpang di belakangnya.

Gia akhirnya menerima tawaran pak supir. Semburan kata-kata pedas si senior galak masih lebih mengerikan dari pada ke kampus naik angkot berdesakan begini.

Dua orang bocah dengan seragam putih biru yang dari tadi berdiri menutup pintu turun, mempersilakan Gia masuk. Gia memandang ke dalam angkot. Ada 8 orang penumpang yang sudah duduk manis di dalam. Gia menemukan bagian kosong tepat di depan pintu di belakang supir, di samping seorang pria paruh baya dengan rambut dan kumis yang memutih.

Love by Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang