"Gila, gila, gila!"
Yumi menghampiri meja laki-laki yang sedang asik dengan game di ponselnya -sebelum Yumi datang-.
Laki-laki itu melonjak kaget saat Yumi menggebrak mejanya dengan tenaga yang gadis itu miliki. Bahkan ponselnya hampir terlempar dari tangannya. Beruntung americano kesayangannya tidak berakhir jatuh ke lantai cafe yang kinclong.
"Apa sih? Dateng-dateng ngagetin aja."
Laki-laki -yang merupakan teman seangkatan Yumi- itu merengut kesal saat Yumi seenaknya meneguk americano-nya yang baru ia minum sedikit.
"Gila, Jin". Seru Yumi setelah meletakkan kembali cup itu ketempat semula.
"Lo yang gila! Pagi-pagi bikin kesel aja".
Kembali dengan game-nya, laki-laki itu tidak perduli dengan Yumi yang menggerutu tidak jelas.
"Lo kenapa, sih? Pagi-pagi udah komat-kamit".
Setidak perdulinya laki-laki itu dengan Yumi, tetap saja akhirnya ia mengalihkan perhatiannya pada Yumi dan menyimpan ponselnya pada saku almamater-nya.
"Woojin! Tau gak..."
"Enggak!"
"Yee gue belum kelar ngomong, curut!".
Yumi menoyor dahi Woojin dengan telunjuknya.
"Ya siapa suruh ngomong di putus-putus."
Sekarang giliran Yumi yang mendapat toyoran dari telunjuk besar Woojin.
"Ya lo nyela omongan gue."
Iya mereka memang selalu begitu selama 9 tahun berteman.
'Nggak ada manis-manisnya sama sekali.
Jika bertemu, mereka tidak segan untuk melayangkan cibiran masing-masing dan tidak akan berhenti jika tidak ada yang mengalah. Bahkan tidak heran jika salah satu dari mereka berbicara kasar.
Tapi jika tidak bertemu barang sehari saja, mereka akan saling mencari keberadaan satu sama lain.
Seperti sekarang ini, mereka sepakat untuk bertemu di cafe terdekat kampus mereka setelah kemarin tidak bertemu karna Yumi ada keperluan dan tidak berangkat ke kampus. Padahal bisa saja mereka bertemu saat kelas nanti.
Mereka mengambil fakultas yang sama -arsitektur- . Yumi memiliki minat yang tinggi pada bidang itu. Menurutnya, title arsitek itu sangat keren.
Menggambar desain rumah dengan perhitungan yang matangsangat menarik baginya. Bahkan ia bermimpi untuk membuat sendiri desain rumah masa depannya.
Woojin? Ia tidak ada alasan lain selain hanya mengikuti Yumi. Ia sangat bingung memilih jurusan saat itu. Dan menurutnya, memiliki impian yang sama dengan Yumi menarik juga.
"Gue mau di jodohin sama om-om, Jin."
Woojin tersedak americano-nya mendengar penuturan Yumi. Ia bahkan meminta Yumi untuk mengulang kalimatnya, bisa saja kan dia salah dengar? Dan nyatanya telinga Woojin tidak salah sama sekali.
"Yakin itu beneran om-om? Kan semua orang yang berjenis kelamin laki-laki pasti lo panggil om, walau orang itu seumuran dengan lo..."
Benar kata Woojin, teman sefakultasnya pun rata-rata ia panggil dengan sebutan om. Seperti om Mark misalnya. Padahal mereka sebaya.
Mark sudah memprotes tiap kali Yumi memanggilnya dengan embel-embel om. Tapi tetap saja Yumi tidak mengubah panggilannya.
Hanya Jihoon saja yang bebas dari panggilan itu, karna mereka memang dekat -meskipun tidak sedekat dirinya dengan Woojin-. Yumi hanya hanya menggunakan embel-embel itu untuk orang yang tidak dekat dengannya.
"... Kalau gue sama papa lo gak ada hubungan deket sama lo, mungkin kita lo panggil om juga."
Yumi hanya memutar bola matanya malas.
"Terserah gue lah..." Ucapnya kemudian.
"...Tapi ini beneran om-om, Jin. Selisih umur gue sama dia sampai 9 tahunan kata mama. Gila 'nggak tuh?"
Woojin tidak jadi meneruskan game nya mendengar itu.
Gila ini sih.
"Berarti umurnya 31 tahun, dong? Nggak gila lagi inimah, sinting!"
"Lo ngomongin papa gue sinting? Gue aduin gak di bolehin makan di rumah gue lagi lo"
"Yee ngaduan lo mah".
Woojin hampir melempar tas ranselnya kalau saja mereka tidak berada di tempat ramai. Lalu ia terdiam memikirkan motif dari perjodohan ini.
Sudah pasti perkara bisnis, biasanya.
"Apa motifnya?"
Woojin bertanya memastikan kebenaran pikirannya.
"Bunga-bunga sama polkadot".
Wajah Woojin sudah menampilkan eksperesi aneh. Sumpah serapah sudah ia ucapkan dalam hati.
Untung temen.
"Yum, lo boleh bego. Tapi jangan bego banget kenapa sih. Maksud gue tujuan dari perjodohannya, sayang".
"Jangan di toyorin terus, dong. Bego beneran nanti gue".
Yumi mengerucutkan bibirnya setelah menerima sekali lagi toyoran dari Woojin.
Emang udah bego.
"Ya gue 'nggak tau, papa 'nggak ngasih tau..."
Yumi menjeda kalimatnya lalu menyeruput americano miliknya yang baru Woojin pesan di counter. Woojin tidak akan membiarkan Yumi menghabiskan miliknya lagi.
"... Pokoknya lo harus bantuin gue batalin perjodohan ini. Gue 'nggak mau tau gimanapun caranya."
"Yaudah deh bahas nanti lagi, mendingan sekarang kita masuk kelas. Kelasnya pak Jisung nih, telat dikit jangan memohon ampunan lo."
Karna Yumi tidak ingin mendapat hukuman yang terkadang tidak main-main itu ia menurut mengikuti Woojin keluar dari cafe itu.
"Siapa nama om-om lo itu"
Koridor sudah ramai oleh mahasiswa yang sekedar duduk di depan kelas menunggu kelas mereka di mulai.
"Ong..."
Woojin masih menunggu kata yang keluar dari bibir tipis Yumi yang sepertinya sedang mengingat sesuatu.
"Ong Sun..."
"Ong Son..."
"Ah! Ong Seongwoo."
♡♡♡
Hello readers!
Gimana nih prolognya? Suka?
Minta pendapatnya ya buat chapter ini.Voment okay😉
-Chamsae-
KAMU SEDANG MEMBACA
(Soul)mate?
Fanfiction"Jangan terlalu dingin, Om. Nanti beku kayak anna frozen". -Yumi Razani- A story by Chamsae2 Begin : 17 Agustus 2018 (On Going)