Gelap. Semuanya gelap. Hanya sang Fajar yang enggan naik di pucuk sana yang menerangi bukit ini.
Ibu, apa kau melihatnya?
Bola raksasa itu merangkak perlahan, warna emas yang berpijar indah di ufuk sana. Bola matamu pula yang dulu merampas cintaku, membuatku hanya ingat akan dirimu. Sekarang, kenapa hanya hitam yang mengisinya?
Ketika aku menatap matamu, hanya jurang tak berdasar yang kutemukan. Seolah-olah seluruh tubuhku akan terisap pandangan kosongmu.
Apa kau tahu mengapa?
Ibu, apa kau merasakannya?
Ketika aku memeluk tubuhmu, kehangatanmu terpancar balik dari tubuhku sendiri. Aku seolah merasakan apa yang engkau rasakan dulu. Diiringi cahaya lembut bintang terdekat, aku merasa nyaman dalam pelukanmu.
Akan tetapi, kenapa engkau tak menjawab?
Tolonglah. Aku tak melihat air matamu, air mataku, maupun air mata siapa pun. Aku tak mendengar jeritan, tawa, tangisan, teriakan, atau apa pun itu.
Lalu, kenapa engkau enggan menjawab?
Ibu, apa kau mendengarnya?
Suara kicauan burung-burung hitam yang mengelilingi kita. Suara tumbukan alat-alat memasak. Suara berdenting mesin-mesin yang biasa kita lihat.
Mereka mengharapkanmu, Ibu. Mereka mengharapkan jawabanmu.
Lalu, kenapa tenggorokanmu tetap saja sekering batu?
Ibu, apa kau mendengarku?
Anakmu satu-satunya, kini duduk diam di atas bukit tinggi ini seraya memeluk tubuhmu.
Kehangatanmu tak kurasakan. Air matamu tak juga keluar. Senyummu tak tersebar. Kebahagianmu menggantung di atas sana.
Kenapa? Kenapa kalian meninggalkanku?
Ibu, kenapa dalam sedetik waktu ini, aku tetap tak merasakan apa pun? Apa kau pernah melihat tangisku, apa kau pernah mengharapkan senyumanku?
Aku hanya mampu berandai.
Aku tak tahu apa semua sudah terlambat. Cairan kental yang membasahi geligiku belum kering.
Apa ini saatnya?
Ibu, di pelukan tubuh kakumu, aku hanya ingin tersenyum.
Hanya tersenyum.
Aku memandang sekeliling, dan untuk pertama kalinya aku menyadari segalanya.
Bukit ini, adalah bukit daging dan darah.
Mata kosongmu, memang benar-benar kosong, dan takkan lagi melihat dunia.
Cairan panas yang memenuhi lambungku adalah milikmu. Cairan merah yang telah kutenggak sejak potongan besi menyatu dengan dengan tanganku.
Dan aku sadar.
Ketika bulir air akhirnya menetes di tanah, aku sadar.
Untuk pertama kalinya, aku menangis. Aku tersenyum. Aku merasa.
Dan aku merindukannya.
Walau harus dibalut rasa sedih, akhirnya aku merasakan apa yang kalian rasakan.
Walau saat ini aku duduk memeluk tubuh kakumu, di atas bukit orang-orang yang kita kenal, dikelilingi bau amis yang kutelan,
Akhirnya, untuk pertama kalinya,
Ekspresiku ada.
[END]
KAMU SEDANG MEMBACA
Gate Up Below
Historia CortaKumpulan cerita mengenai kehidupan. Bagaimana persepsi kehidupan, aliansi yang terbentuk, keretakan serta perbaikan yang timbul, esensi dari kematian, kehidupan yang tidak fana--tapi juga tidak abadi. Semua terangkum dalam kalimat-kalimat yang diben...