"Mbak Zalfa?" perempuan yang merasa namanya dipanggil menghentikan langkahnya. Obrolan dengan temannya pun kini membisu.
Zalfa menglipatkan keningnya hingga membuat sebuah kerutan disana. "Ya" jawabnya dengan ragu.
"Aku teman SD kamu loh" seolah sedang memberi clu.
"Putri" tebak Zalfa. Anggukan kepala sebagai jawaban Putri. "Kangen banget lama gak ketemu"
Mereka berpelukan layaknya teletubis yang menggemaskan. Padahal mereka sedang berada di tempat umum. Sepertinya mereka gak punya malu karena terlalu rindu. Memang rindu itu menyakitkan.
"Ehem"
Suara deheman menyadarkan mereka jika dunia ini bukan milik mereka saja. Ada makhluk lain yang juga berpenghuni di tempat yang sama.
"Oh iya lupa. Kenalin temen aku ini Nia. Kalau ini Cindy" Zalfa mengenalkan kedua temannya kepada putri. Putri menyambutnya dengan hangat. Mereka saling berjabat tangan dengan tangan. Ya pasti. Kalau pake kaki, namanya nendang.
Zalfa dengam wajah tak berdosanya menunjuk salah satu bangku di dekatnya. "Duduk situ yuk"
Mereka berempat duduk di taman sekolah dengan bangku berhadapan yang terpisahkan oleh meja persegi.
"Beda banget sama yang dulu. Dulu kecil, pendek, lumayan item, cerewet lagi eh keceplosan. Sekarang sudah besar" Zalfa menirukan gaya berbicaranya orang tua saat kedatangan ponakan mereka. Dengan membandingkan dulu dan sekarang berupa celaan lalu pujian. Karena ada orangnya didepan. Padahal, baru sebulan keluarga itu berkumpul.
"Mbak Zalfa juga, bedanya dulu lebih cerewet situ. Ups sorry. Sekarang cantik. Tapi sedikit" ceritanya balas dendam nih Putri.
Berasa tertimpa karung besar tapi setelah dibuka isinya uang seribuan. Walaupun seribu yang penting sekarung lah.
"Sok lo manggilnya mbak. Biasanya juga Zalfa" cecar Zalfa.
"Hehe. Iya iya. Eh gue inget. Dulu manggilnya bukan Zalfa. Tapi Papan" Putri tertawa mengingat kenangan masa kecilnya dulu.
Zalfa melotot mendengar ejekan teman masa lalunya itu. "Papan?" habis sudah Zalfa. Cindy temannya itu malah kepo pula.
Bukannya berhenti, putri semakin gencar menggoda Zalfa. "Iya, Zalfa Irfan" jelas Putri sambil menaik turunkan alisnya.
"Ih diem put" geram Zalfa.
Nia merasa aneh. "Atau jangan jangan Irfan Gamahanif lagi?"
"Tepat sekali" Putri mengajungkan jempolnya.
Zalfa merutuki dirinya. Mengapa ia bertemu dengan temannya yang nyebelin ini. Gerutunya dalam hati. Bukanya enggak mau bertemu. Tapi, mulutnya sudah membuka kedoknya.
"Pak ketua osis?" tanya Nia dengan hebohnya.
Ini harus dihentikan. Batin Zalfa. "Oh iya put, lo kelas apa?"
"IPS 5 fa. Kalau kalian?" Zalfa menghela nafas lega. Setidaknya dia telah berhasil.
Baru juga Zalfa mau menjawab, Cindy main nyosor aja mulutnya. "IPA 5. Emang Zalfa sama Irfan pacaran put?".
Belum sempat Putri menjawab bel masuk pun berbunyi. Buru-buru ia pamit sambil menarik dua temannya. Dan itu artinya Zalfa bisa bernafas. Tadi sih masih nafas kok. Yang ini nafas lega. Haha.
##
Kelas itu masih berisik. Karena guru yang mengajar mereka sedikit terlambat. Jadi, bolehlah bercanda ria. Ada juga yang sok buka buku. Walaupun matanya melihat huruf tapi siapa sangka telinganya ikut mengobrol dengan sebelahnya. Alhasil otaknya milih setan telinga dari pada bidadari mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPAN
Teen Fiction"Gue tabok pake PAPAN juga lo. Ya gak fa?" "PAPAN" "PAPAN" Begitulah ejekan dari teman temanya. Yang diejek pun pastinya tak terima. Bukan karena badannya langsing terus diejek sebagai papan kayu. Atau orangnya yang tahan banting. Bukan. Tapi PAPAN...