Lea
Dia bersamaku. Itu yang penting. Aku benar bukan?
"Aku minta maaf," bisikku lemah. Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa untuk menebus kesalahanku. Aku meninggalkannya dan aku tahu itu menyakitinya. Mungkin lebih buruk.
"Bukan masalah, aku mengerti," balasnya.Kami masih berpakaian lengkap, bahkan dia masih di sepatunya. Kami berbaring di ranjang yang aku tempati dua hari terakhir, tempat aku menjerit dan menangis saat mimpi buruk berdarah menjangkauku. Saat aku terbangun di tengah malam dengan keringat dingin yang membasahi seluruh kulitku.
Dia di sini sekarang. Aku mengulangnya di dalam kepalaku, menenangkan diriku sendiri.
"Kamu mengerti?" tanyaku, lebih pelan dari sebelumnya.
"Aku tahu semua ini tentang apa Lea. Tolong percaya padaku."
Rasa sakit di suaranya membuatku merasa sakit juga. Dia hanya ingin aku percaya, tapi aku selalu menghindar. Aku takut jika aku kehilangan semuanya saat aku sudah begitu percaya, tapi tidak memiliki itu sejak awal lebih menyakitkan. Aku menginginkan ini, aku ingin Archer, aku ingin hidup dengannya.
Menarik napas, aku meringkuk lebih dekat ke arahnya. Kepalaku di atas dadanya, lenganya melilitku. Bahkan saat dia masih berada di dalam setelannya dia terasa hangat, nyaman, rumah.
"Aku percaya padamu," gumamku. Intensitas detak jantungnya meningkat saat aku mengatakan itu. Ritme yang indah, aku tidak akan pernah bosan untuk mendengar ini. Juga tidak akan bosan dengan pergi tidur bersama rasa hangat kulitnya, suara detak dan helaan napasnya, dan aromanya. Lalu terbangun dengan semua itu memelukku. Menjadi milikku. Aku menginginkan semua itu.
"Kau tidak akan tahu seberapa takutnya aku saat tahu kamu pergi. Itu membuatku gila Lea, tolong jangan lakukan lagi!" Permohonan di dalam kata-katanya lebih tajam dari pisau. Aku bahkan hampir dapat merasakan itu merobek kulitku.
Aku ingin mengatakan 'tidak akan pernah' tapi aku sudah menipunya. Aku sudah mengatakan itu padanya malam itu tapi aku tetap pergi. Jadi kupikir kata-kata itu tidak akan ada artinya lagi untuknya.
"Maukah kau bertanya padaku lagi? Satu pertanyaan?" Aku melepaskannya, membiarkan dia duduk untuk melihatku, ke mataku. Aku berharap dia bisa melihat kalau aku serius dan aku tidak berbohong. Sementara dia duduk tegak, tinggi di atasku, aku bertahan di posisi meringkukku. Masih takut dengan apa yang akan aku katakan, langkah yang akan aku ambil, dan perubahan yang akan dibawanya.
"Apa pun, Lea." Dia tidak ragu. Itu membuatku merasa lebih bodoh lagi karena pergi darinya. Kesalahan yang aku tidak bisa tarik lagi.
"Kau dulu bertanya maukah aku menikah denganmu." Aku menggigit bibirku, takut tapi menginginkannya. Aku menginginkan ini. Bukankah aku?
Archer tidak memotongku, dan sepertinya dia mengerti tapi masih tetap diam. Entah ingin aku menyelesaikannya atau terlalu terkejut karena aku mengangkat topik ini. Kami baru saja kembali bertemu, mungkin aku seharusnya tidak mengatakannya? Mungkin ini terlalu cepat?
"Bisakah kau menanyakannya lagi?" lanjutku. Sengatan di mataku membuatku hampir menangis, aku sudah berada di tepi tangisanku. Kenapa aku begitu takut? Aku ingin seseorang menginginkanku lalu kenapa saat itu benar-benar terjadi, aku takut untuk memilikinya? Jauh di dalam, aku tahu jawabannya. Aku takut jika aku tidak bisa menjaganya, kehilangannya, yang terburuk? Aku takut merasakan sakit.
"Kamu tidak mempercayaiku," ucapnya. Melemparkan fakta yang sudah jelas di antara kami, dia nenolak melakukan apa yang aku minta.
Itu menyakitiku tapi diriku yang rusak merasa lega, aku tidak yakin bisa mengatakan 'ya' jika dia benar-benar bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fading Past (Trilogy Past #3)
RomanceWARNING KONTEN DEWASA 21+ MOHON BIJAK DALAM MEMBACA!!! Archer hampir yakin dirinya gila. Saat dia mendengar Lea pergi. Dunianya terasa runtuh di depan matanya dan dia masih tetap tidak percaya kalau Lea benar-benar pergi darinya. Tanpa meninggalkan...