Pertunangan (I)

9 0 0
                                    

"Em, baiklah. Jagalah aku!" Akhirnya Juni membuka mulutnya.

Axa tersenyum puas kali ini. Senyuman itu terlihat tulus dan cerah. Seakan Juni telah menyelamatkannya dari sesuatu. Ya, Juni memang telah menyelamatkan hidup Axa.

"Baiklah, anjing kecil. Ayo kita pergi!"

Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana. Juni bahkan masih belum tersadar bahwa sejak tadi sekelompok orang memperhatikan mereka. Hio bahkan masih menyalak-nyalak. Axa? Ia merasa menang dan mendapatkan sesuatu yang besar. Ia nampak tak peduli dengan kerumunan orang itu dan tetap berjalan menuju Istana dengan wajah cerahnya.

Akhirnya mereka sampai di Istana setelah berjalan dua puluh menit. Mereka berhenti di depan gerbang tinggi dan besar. Axa membuka tudungnya dan membukakan tudung milik Juni kepada penjaga gerbang Istana yang mengenakan seragam khusus dan membawa tongkat dengan garpu terbalik yang lebih besar dari tinggi mereka sendiri.

"Masuk." Dua penjaga itu membukakan gerbang dan membiarkan mereka masuk.

Mereka disambut oleh pemandangan yang menakjubkan! Ini kali pertama bagi Juni menikmati pemandangan seperti ini. Air mancur besar yang dikelilingi oleh taman yang tak kalah luas. Berbagai macam bunga dan rumput dirawat dengan baik. Dibaliknya, berdiri bangunan megah nan elok bercat putih bersih dengan pilar-pilar besarnya. Chandelier bahkan diletakkan pada bagian teras Istana tersebut (jika itu bisa disebut teras).

Mata Juni sibuk memperhatikan sekitar saat tiba-tiba Axa mengajaknya berbicara. "Kau... Apa kau berasal dari desa?"

"Eh, bukan. Aku dari kota. Tapi, di kotaku tidak ada raja yang memimpin. Presiden lah pemimpin negeri. Sama saja sih, beda julukan saja. Aku bahkan tidak pernah mengunjungi kediaman presiden. Jadi, maaf kalau aku kampungan begini.

"Apa kau seorang pangeran?"

"Kau akan tahu nanti."

"Eh, tapi kenapa kita tidak melepas jubah kita? Ku kira jubah ini hanya untuk bepergian. Saat di klub, semua orang melepas jubahnya. Bahkan, saat di rumah mereka sendiri, saat aku tak sengaja melihat melalui jendela, mereka juga melepaskan jubah mereka."

"Raja mengira kota ini dikutuk oleh penyihir yang menyebarkan semacam virus kepada penduduk. Jangan sampai virus itu memasuki Istana."

"Virus? Virus apa?"

"Ya, begitulah. Makanya aku ditugaskan untuk mencari penyihir itu. Memintanya melepaskan mantera. Sepertinya aku berhasil. Anak-anak serta orang tua sudah tidak ada lagi yang terkena penyakit kulit aneh. Ladang-ladang sudah bersih dari penyakit tanaman. Tapi..."

"Kau bertemu penyihir?" Juni menyela.

"Iya. Tugas yang aku lakukan adalah untuk melindungi pangeran, raja, dan penduduk. Bukan suatu tugas yang mudah."

"Jadi, kau bukan pangeran, ya?"

"Kenapa? Kau kecewa?"

"Kenapa juga aku harus kecewa?"

"Aku adalah teman masa kecil pangeran. Bisa jadi aku anak asuh raja juga. Aku tidak punya keluarga. Aku tidak tahu apa-apa mengenai keluargaku. Hanya saja raja mau mengasuhku. Tidak tahu apa alasannya. Aku dianggap memiliki bakat khusus. Jadi, saat penyihir menyerang kota dan kabur, raja lah yang mengutusku."

"Bakat seperti apa yang dapat menyerang penyihir?"

Mereka tidak melanjutkan percakapan karena telah sampai di gerbang utama memasuki bagian dalam bangunan Istana. Kembali dua orang penjaga yang menjaga dan mempersilakan keduanya masuk. Hio yang sejak tadi mengekor, berdiam diri di sana. Berjaga bersama para penjaga.

Karpet tebal dan halus itu menyambut kaki Juni. Ia baru tersadar bahwa selama ini ia berjalan tanpa sandal! Kakinya pasti sakit. Sekarang ia merasakan kenyamanan. Axa menyuruh salah seorang pelayan istana wanita untuk membersihkan badan Juni.

Pelayan istana itu membawa Juni memasuki salah satu kamar megah. Jendela dan tempat tidur yang besar-besar. Dalam kamar itu terdapat kamar mandi pribadi. Pelayan mempersilakan Juni menggunakan kamar mandi dan berendam di sana. Sementara pelayan istana memanggil pelayan wanita lainnya. Tak lama, pelayan itu membawa pelayan-pelayan wanita lain untuk membantu Juni membersihkan diri.

"Seperti di SPA." Gumam Juni.

"Maaf, tempat seperti apa itu?" Salah seorang pelayan bertanya.

"Ya, seperti di sini. Hihihi."

Selesai mandi, Juni mengenakan gaun berwarna putih panjang dengan motif yang rumit. Rambutnya ditata sedemikian rupa agar tidak jatuh tergerai. Diberi hiasan-hiasan rambut, dan wajahnya diberi riasan. Terakhir, para pelayan itu menyemprotkan parfum dan mengenakannya sepatu jinjit warna merah yang cantik. Kaki Juni merasa nyaman. Tidak lagi sakit setelah dirawat dengan baik oleh para pelayan.

Mereka membawa Juni pada ruang pertemuan yang berisikan tahta raja. Ruangan yang sakral. Ruangan itu diatur sedemikian rupa untuk acara pernikahan. Di dalam sana, dihadiri oleh raja beserta keluarga dari penjuru negeri. Para undangan itu duduk dikursi masing-masing yang sudah dipersiapkan, di sisi kanan dan kiri. Bagian tengah, jalan itu ditaburi bunga berbagai warna. Juni harus melewati jalan itu untuk mengahmpiri Axa yang berada di atas altar dengan tampan dan rapinya bersama raja negeri ini, Deev dan seorang pangeran berdiri di samping Axa. Tak kalah tampannya.

Axa tak lagi mengenakan pakaian pengembaranya. Ia mengenakan setelan jas hitam dan rambut yang disisir rapi. Mengenakan sepatu hitam mengkilap. Ia tampak kontras dengan raja, pangeran dan tamu undangan yang mengenakan seragam kerajaannya masing-masing.

Juni diberi buket bunga oleh seorang anak kecil, cantik. Mungkin bagian dari salah satu anggota kerajaan. Juni berjalan menuju tempat Axa berdiri, didampingi para pelayan istana wanita.

Ia akhirnya sampai di pusat perhatian. Sebenarnya, ia tidak tahu apa yang tengah terjadi di sini. Ia hanya mengikuti para pelayan yang mengantarnya. Raja kota itu, Deev berdiri di tengah mereka berdua.

"Mari, kita tahbiskan pertunangan antara Tuan Axa Dioniva dengan Nyonya Junia Deva." Raja Deev berbicara sementara para hadirin berdiri di kursi panjangnya masing-masing.

Juni sempat hendak menyela pembicaraan raja. Tapi, karena Axa tahu apa yang ada di pikiran Juni dan fakta bahwa acara ini sakral, dengan cepat ia mengecup bibir Juni untuk menghentikan aksi Juni selanjutnya.

Para tamu undangan pun riuh. Situasi yang tadinya tenang dan sakral, mendadak menjadi seru.

Raja melirik Axa tak suka. Tidak sopan sekali berbuat seperti itu di depan raja. Namun, Axa ingin melindungi Juni. Dari pada Juni yang menyela dan dimarahi raja, lebih baik dia yang menerimanya.

Akhirnya, sampailah pada puncak acara. Axa membuka kotak cincin rubi merah itu dan mengenakannya di jari manis kiri Juni. Tepuk tangan memenuhi seisi ruangan.

Deev's WorldWhere stories live. Discover now