Terbesit kenangan kala itu, ketika semua hidupku terasa tak berguna lagi, ketika hadirku di dunia ini ku anggap sebagai musibah. Seakan ingin sekali mengakhiri hidup ini. Takut, kecewa, marah entah apalagi perasaan yang ada kala itu, yang jelas jika itu pilihan maka apapun yang ku pilih menurutku adalah siksaan batin yang berakhir siksaan hidup.
Saat itu aku baru lulus SD. Dalam benakku Aku berfikir, akan kah bapak benar benar ingin membuangku? Ditempat asing yang jauh disana, tempat dimana seluruh hidupku akan dikekang? Setega itukah bapakku? Apa gunanya dia merawat dan membesarkan ku jika akhirnya Aku di buang begitu saja? Apa yang harus Aku lakukan?.
Harus kubilang, itu semua memang ada di kepalaku sendiri. Kupikir tidak ada yang berfikir seperti apa yang Aku pikir sekarang. Karena ku lihat seluruh teman SD ku dengan senangnya menerima hasil UN. Walaupun nilai ku jauh di atas mereka, karena memang Akulah otak paling brilian di kelasku. Itu SD. Dan tidak terjadi lagi sampai ketika itu.
Terlihat pemandangan pinggir kota. Gedung dan bangunan megah berjejer seolah berlari menjauhi diriku. Takut jika mereka tertular nasip yang sama. Aku baru saja pulang dari acara perpisahan. Sidih sekali harus berpisah dengan taman-tamanku.
Sesampai di rumah kurebahkan badan ini di kasur lembut kamarku. Kupandangi fotoku dan kawan-kawan sekelas yang tergantung elok di tembok kamar. Kita akan berpisah teman. Bukan karena kengininan melainkan karena ini bukanlah pilihan. Sejurus kemudian mata ini terlelap.
***
"Kalau ndak keterima tidak usah sekolah sekalian. Tuh urusin kebun karet bapak saja. Nyari uang itu gampang. Lebih gampang dari pada nyari kerja. Kamu disana nyari ilmu, nah dengan ilmu baru kita bisa nyari uang dari pekerjaan" ruang tamu akhir-akhir ini memang sering ramai oleh debatku bersama bapak. Kakakku saja yang sekarang baru kuliah tak menggubris pembicaraanku, hanya di kamar sibuk dengan drama korea di laptopnya.
Hari demi hari kulalui. Tak terasa hari ini datang. Seperti biasa, saking enaknya menikmati liburan panjang, alhasil pas waktunya masuk sekolah, malas selalu pertama jadi tamunya.
"Kita berangkat" Emakku berpamitan dengan kakak. Bapak sedari tadi sudah berdiri di teras, menyandarkan bahu kekarnya pada sebatang kayu penyangga rumahku. Entah kapan lagi aku akan kembali. Yang jelas tekat bapak dan emakku untuk menyekolahkanku di jawa sudah bulat. Ini bukanlah pilihan, melainkan sudah menjadi paksaan. Dari dulu aku tidak bisa membantah permintaan orang tua. Walupun bagiku itu menjadi siksa. Lambat laun juga aku pasti tau kenapa mereka sampai sebegitunya kepadaku.
***
Dua hari perjalananku sangat menguras tenaga. Sesampainya di jawa, tepatnya di SMP DARUL TAFSIR SRAGEN, kurebahkan tubuh ini di ruangan yang telah di sediakan oleh panitia PPDB. Ruangan ini sangat luas, kira-kira cukup untuk 30 sampai 35 orang. Sengaja diadakan untuk menampung para peserta didik yang berasal dari luar jawa. Untungnya disini gratis. Aku yang pertama memasuki ruangan ini. Karenan memang bapakku sengaja datang lebih awal untuk mencari info lanjut tentang pendaftaran PPDB nya.
Pagi-pagi sekali aku bangun. Kulihat sudah bertambah tiga orang lagi. Kelihatan sekali mereka juga akan mendaftar. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi.
Gubrak!!! "Aduh! Sial, kenapa ada sabun disini?"
"Eh... Maaf, itu sabunku. Tadi jatuh, pas mau tak ambil malah terlanjur makan korban, hehehe" seorang dengan tubuh mungil, putih dan juga rupawan menjulurkan tangannya kepadaku. Aku diam sejenak memperhatikannya. Ternyata ada satu lagi yang datang.
"Mau mandi? Nggak dingin ya emang?" tanyaku setelah berhasil berdiri atas bantuan darinya.
"Iya, Aku baru datang 15 menit yang lalu. Disini panas, sampai gerah tubuhku, beda jauh dengan di rumahku, kalau pagi tidak ada yang berani mandi, hihihi... Oh iya, Aku Ali dari Bandung. Salam kenal." dia menjulurkan tangannya lagi, kali ini untuk salam perkenalan, bukan lagi untuk menolongku berdiri.
"Iya. Perkenalkan, Zaki dari bandar Lampung".Hari itu sedih dihatiku medapat satu perban baru. Namanya Ali dari bandung. Tempat Aku dilahirkan.
Bersambung...
Sebelumnya maaf ya bagi pembaca budiman. Saya selama ini belum bisa fokus ke novel. Bisanya fokus ke quotes dulu. Hehehe. Tapi insyaAllah setelah ini saya akan fokuskan lagi. Minta dukungannya ya biar lancar teruus nulisnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebut Dia Kebersamaan
Tiểu Thuyết ChungAku disini bukanlah yang pertama. Aku disini hanyalah seorang murid biasa, ku kira. Aku disini menjadi punya harga. Karena aku disini punya harta. Kebersamaan namanya.