Bab 3: Pertemuan

43K 378 0
                                    

"Sayyang, jemput aku malam ini ditempat biasa ya."
Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Bukan hanya sekedar pesan sih. Dibawah pesan tersebut dengan jelas terpampang sebuah gambar yang akan membuat pria manapun menelan ludah. Sepasang payudara indah yang satu masih terbungkus bra biru gelap, tapi satu nya lagi terbuka. Dengan tangan halus dan lentik meremasnya.
Irfan menguap dan meregangkan badannya. Badannya terasa remuk dengan pekerjaannya yang padat selama tiga hari ini. Sebagai seorang desain grafis, memang banyak waktu luang untuknya. Tapi, ketika sebuah proyek datang. Bisa jadi seharian penuh ia harus duduk diatas kursi dan menatap komputer di kantor.
Dan selama tiga hari itu pula Tante Maya juga tidak meminta untuk ditemani. Ia pun juga harus sibuk mengurusi bisnis butiknya yang tersebar dibeberapa daerah.
Dengan langkah gontai Irfan beranjak dari tempat tidurnya. Menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
Sekilas ia menatap dicermin besar yang berada di dalam kamar mandi. Wajah kuningnya dengan mata seperti elang. Bibir tipis dengan hidung sedang. Rambut ikal pendek. Wajah yang begitu mempesona kaum hawa.
Tubuhnya yang tidak tinggi menjulang ataupun dengan dada berotot dan perut sixpack khas fantasi terliar dalam novel-novel ramance adult. Tubuhnya hanya standar tinggi orang timur. Tapi tidak bisa juga dikatakan pendek. Badannya yang tidak kurus, tidak pula gendut dan tidak pula terlalu berotot. Dan itulah yang membuat ia terlihat proporsional.
'Gue udah gila, ngagumin tubuh sendiri. Atau gue sudah terkena syndrom yang menganggap I'm perfect.' gumannya sinis.
Ya, dengan tubuh inilah ia telah membuat seorang Tante kaya beranak satu yang ditinggal mati suaminya menjadi sangat tergila-gila. Mungkin miris, tapi inilah kehidupan yang telah ditempuhnya.
Gaji sebagai seorang desain grafis disebuah perusahaan multimedia sudah jelas takkan bisa mencukupi hidupnya. Ia harus menanggung beban keluarga yang berat dikampung sepeninggal ayahnya.
Sekolah dua adiknya, biaya kehidupan ibunya. Darimana lagi ia mendapatkan uang dengan jumlah banyak selain memanfaatkan anugrah dari tubuhnya untuk menjadikan tante-tante kaya sebagai mesin ATM nya.
Tante-tante kaya, ya, itu dulu. Tapi, setahun ini hanya ada satu tante yang mencukupi seluruh kehidupannya. Maya, perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat muda begitu menggilainya.
Maya pulalah yang tidak membolehkan lagi Irfan untuk menjajakan tubuhnya pada tante-tante genit lain. Cukup hanya dia. Semua kebutuhan Irfan ditanggungnya. Rumah, mobil, belum lagi uang yang akan mengalir ke ATM nya setiap saat.
Tapi, dari hubungannya dengan Maya ada satu hal yang selalu mengganjal dihatinya, Renata. Putri semata wayang Maya. Yang dengan secara terang-terangam menyatakan minat padanya.
"Lo bukan hanya akan nerima bayaran seperti lo ngelayani mama kalo lo nerima gue. Tapi, seluruh kekayaan ini buat lo."
Cih, Irfan tersenyum sinis bila mengingat perkataan Renata beberapa waktu lalu. Orang kaya, begitu mudahnya membeli apapun. Termasuk manusia untuk memuaskan ego pribadinya. Lalu apa bedanya ia dengan ibunya??
Mungkin akan lebih baik jika ia sama-sama memuaskan Ibu dan anak itu. THREESOME????
"Anjing!!!!"
Irfan mengumpat sendiri dikamar mandi melihat respon yang ditimbulkan juniornya ketika fantasi threesome itu terlintas dibenaknya.
"Juancukk, threesome, . Ibu dan anak. . Hahaha!!! Tawanya menggelegar didalam kamar mandi itu.
'Hey dude, it's not Japan Adult Video'.
****
'Sayang, jangan lupa tamu kamu jam delapan.'
Pesan tersebut kembali dibaca ulang oleh perempuan muda dengan dandanan sederhana itu. Tapi, sudah hampir satu jam dia menunggu didalam kafe sebuah mall besar di pusat kota. Tanda-tanda pesan dari tamu yang dijanjikan untuknya itu tak kunjung datang.
Chika, kembali meminum jus jeruk yang sudah hampir habis. Dia melihat sekeliling kafe tersebut. Seluruh bangku sudah terisi penuh. Dari pasangan muda mudi hingga yang berumur sedang asyik bercengkrama. Bahkan ada yang tidak segan menunjukan kemesraan mereka.
'Shit, gue lupa malam ini malam minggu.' umpatnya dalam hati. Jomblo? Dia tak pernah memusingkan statusnya itu. Meski diusianya yang sekarang sudah 25 tahun. Yang sudah sangat siap untuk berumah tangga, dia masih menikmati kesendirian.
Sudah banyak pria yang mendekatinya belum ada yang bisa menarik hatinya. Selain tentu saja seseorang yang bisa menerima kehidupan lainnya. Kecuali Renra. Ya, kecuali dia. Tapi, untuk Renra hatinya lah yang harus memaksa dengan keras menolak cinta pemuda kaya itu.
Sementara Chika asik dengan lamunan tentang hidupnya. Dia terkejut ketika sebuah suara berat menyapanya.
"Sorry, bangku ini sudah ada yang menempati?" Tanya pria didepannya.
Chika hanya menoleh ke arah pria itu. Masih belum sadar dengan kebingungannya.
"Oh, maaf. Gue mau minum, tapi sepertinya tempat ini udah penuh semua. Kecuali meja ini yang hanya ada seorang saja." Pria itu kembali menjelaskan.
"Oh, ok silahkan. Gue sendiri kok." Jawab Chika santai
Pemuda itu pun duduk dikursi dihadapan Chika. Meletakkan kopi pesanannya dan melihat ke ponselnya jika ada pesan masuk.
"Mengapa kau berfikir aku sendirian disini?" Tanya Chika mengawali pembicaraan.
"Hmm, sederhana saja, karna tak ada orang lain didepanmu." Jawab pemuda itu santai.
"Jika seandainya aku sedang menunggu seseorang?"
"Ya, aku akan pergi saja jika memang kehadiranku membuatmu terganggu."
"Hmm, karena aku terganggu ya. Bukan kerelaanmu saja untuk pergi?" Chika kembali bertanya dengan mimik polos.
"Tergantung, jika yang kau tunggu adalah seseorang yang spesial untukmu. Jika ia hanyalah sekedar teman, mungkin aku takkan pergi. Malah seharusnya dia yang pergi. Karna aku yang duluan tiba disini."
"Hahaha." Chika tertawa dengan lepas. Tawa yang bebas tanpa gimik atau hanyalah pemanis percakapan. Yang tak pernah lagi ia lakukan selama dua tahun terakhir. "Ternyata kau begitu egois." Katanya lagi.
"Aku hanya egois untuk sesuatu yang telah menjadi milikku." Pemuda itu bertanya mantap.
Chika yang sedang meminum jus jeruknya terhenti. Dan memandang pemuda didepannya dengan tatapan heran.
"Ah, maksudku bangku ini." Jawabnya kikuk dan kembali meminum kopinya menghilangkan kecanggungan setelah ucapannya tadi.
"Irfan." Pemuda itu mengulurkan tangannya.
"Chika."
"Apa kau memang sedang menanti seseorang?" Irfan kembali bertanya.
"Hmm, boleh dikatakan ya. Aku sedang menantinya. Kalau lo?"
"Mungkin juga seperti itu."
Perkenalan itu membuat mereka terlibat obrolan seru. Terlihat tak ada lagi kecanggungan diantara mereka selayaknya orang yang baru saling mengenal. Tertawa lepas, berbicara topik bermacam ragam. Terkadang bibir Chika cemberut saat Irfan menggodanya.
Mereka layaknya dua orang sahabat lama baru bertemu. Kemudian berbicara tentang nostalgia masa remaja yang penuh keluguan tanpa sandiwara.
Dan pembicaraan itu terhenti ketika ponsel mereka secara bersamaan bergetar.
"Hay, aku sudah diparkiran. Bisa kamu turun aja?" Pesan dari ponsel Chika.
"Sayang, aku sudah selesai. Tunggu diparkiran ya?" Pesan dari ponsel Irfan.
"Jemputan lo sudah datang?" Tanya Irfan.
"Ya. Lo?"
"Hmm." Jawab Irfan sambil mengangguk.
Merekapun beranjak dari tempat itu.
"Gue lansung keparkiran aja." Kata Chika
"Gue juga." Irfan menjawab dengan santai.
Merekapun berjalan bersama menuju lift. Tak ada yang ingin tahu siapa yang menjemput atau yang ditunggu. Mereka pun berjalan dengan lamunan mereka sendiri.
"Gue duluan ya." Kata Chika setelah keluar dari lift yang mengantar mereka ke basement.
"Ya." Jawab Irfan tersenyum
Chika pun membalas senyuman pria yang baru dikenalnya itu. Dan bergegas menuju kearah mobil yang terparkir berbaris. Ia mengeluarkan ponselnya untku menanyakan dimana mobil pria yang telah membookingnya malam ini.
Sebuah sedan hitam mewah menyalakan lampunya. Dan Chika bergegas menuju mobil itu. Irfan masih memperhatikan gerak gerik Chika dari depan pintu lift saat mereka berpisah. Setelah Chika benar benar masuk ke dalam mobil. Ia pun beranjak menuju parkiran mobilnya.

****

Lonte Vs Gigolo (The Coli Trilogi I) (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang