Bab 4: Takdir??

36.9K 366 0
                                    

"Iya, iya bawel amat sih lo. Nih gue dah masuk lift." Irfan mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Dengan tergesa ia menekan tombol 8. Dia tak terlalu mementingkan sekelilingnya lagi.
Telpon mendadak pagi tadi membuatnya harus terburu buru masuk kantor. Ada klien yang meminta pengerjaan harus dilakukan paling lama tiga hari. Tentu bayaran yang diterima juga tidak sedikit dengan waktu sesingkat itu.
Tapi, masalahnya apartemen Maya cukup jauh dari kantornya. Ditambah pertempuran mereka yang panjang semalam membuat Irfan lelah. Biasanya ia akan masuk kantor pukul 10.
Matanya akhirnya bisa menoleh ke samping kanan ketika fikirannya telah tenang. Betapa terkejutnya ia, ketika matanya bertemu sosok wanita yang dikenalnya. Wanita itu mungkin sudah dari tadi memandangi Irfan. Tapi, yang dilihat tak kunjung merespon.
"Chika!" Seru Irfan sedikit terkejut.
"Irfan kan? Lo ngantor disini?" Tanya Chika
"Ya, gue di desain grafis lantai 8. Lo?" Tanya Irfan kembali sambil melirik tombol angka pada lift dengan yang tertera angka 10. 'Hmm, lantai 10.' gumannya.
"Ya, kantor gue baru pindah kesini. Paling baru dua minggu." Jawab Chika.
"Pantesan baru lihat."
"Lo kecapekan banget. Jangan terlalu banyak begadang ntar cepat tua." Seloroh Chika.
Irfan sedikit kikuk mendengar perkataan Chika. "Ya, mau gimana lagi. Gue harus lembur." Jawab Irfan asal. Ya, lembur menggerayangi Maya.
"Oh ya, minta kartu nama lo dong." Kata Irfan kembali.
"Buat apa??"
"Buat nyantet lo. Ya, enggak lah. Kita kan sekarang satu gedung. Apa salahnya kan saling kenal."
"Apa semua perempuan yang lo temui di gedung ini lo mintai kartu namanya?" Tanya Chika dengan nada sinis yang dibuat.
"Tergantung perempuannya kalo kayak lo." Jawab Irfan terkekeh.
"Dasar playboy kresek." Umpat Chika sambil mencubit pinggang Irfan.
"Mana?" Irfan sambil mengulurkan tangannya meminta.
"Dasar cowok selalu maksain kehendak ya." Chika lalu merogoh tas kecil yang dibawanya. Mengeluarkan selembar kartu nama. "Nih."
"Thanks." Jawab Irfan mengambil kartu nama itu.
"Punya lo mana?" Kini Chika yang meminta.
"Perlu juga?" Tanya Irfan kembali.
"Setidaknya digedung ini, baru lo yang gue kenal. Jadi apa salahnya."
Irfan memberikan kartu namanya kepada Chika. Setelah itu lift berbunyi. Irfan lebih dulu keluar. Sebelum itu memberikan senyuman terbaiknya kepada Chika. Dan menatapnya seolah berkata 'gue akan hubungi lo'. Dan dijawab juga dengam tatapan oleh Chika. 'gue tunggu'.
****
Pertemuan singkat antara sepasang manusia itu ternyata berbuntut pada pertemuan pertemuan panjang setelahnya. Itulah mengapa terkadang kita tidak boleh meremehkan sebuah pertemuan. Meski hanya singkat kita tak pernah tahu takdir apa yang mengikuti dibelakangnya.
Begitu pun juga Chika dan Irfan. Setelah pertukaran kartu nama dilift. Irfan dengan gencar terus mendekati Chika. Harinya seolah tak menarik bila tak bertemu dengam perempuan itu.
Begitupun Chika, guyonan khas Irfan sudah seperti nikotin dalam rokok bagi hidupnya. Terasa hbar bila satu hari saja ia tak mendengar celotehan Irfan.
Makan bersama, pergi dan pulang kantor bersama, hanya saja mereka belum pernah tidur bersama. Untuk yang satu ini Irfan mencoba menjaga hasratnya. Ia tak mau terburu buru. Apalagi dari dandanannya ia melihat Chika bukanlah perempuan gampangan.
Ya, memang kita kadang tertipu oleh penampilan seseorang. Chikaemang tak pernah tampil dengan dandanan mencolok jika menjalani aktivitasnya. Tapi, ketika pekerjaan malamnya memanggil. Dia akan berubah menjadi seekor kupu-kupu yang sexy. Dapat menghentikan waktu setiap laki-laki yang memandangnya.
Baik Irfan maupun Chika selalu dihantui rasa bersalah. Ketakutan dalam diri mereka ketika membayangkan jika salah satu diantara mereka lebih dahulu mengetahui siapa sesengguhnya mereka.
Sebagai laki-laki, Irfan ingin berterus terang mengenai siapa dia. Toh, jika memang ini cinta, seseorang yang dicintai pasti akan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi, selalu diurungkannya. Ia masih terlalu nyaman menjalani kondisi saat ini. Dan ia tak mau merusak momen itu.
Hidup tanpa cinta yang selalu dijalaninya membuat hari-harinya tersa hampa. Dan Chika membuat harinya yang kelam menjadi penuh warna. Begitupun sebaliknya yang dirasakan oleh Chika.
Irfan baru saja menyelesaikan mandinya. masih menggunakan handuk ia keluar dari kamar mandi. Melihat jam sebentar. 'masih satu jam lagi' fikirnya.
Hari ini ia akan mengajak Chika makan malam. Bukan hanya sekedar makan malam seperti biasanya. Tapi, hari ini akan menjdai spesial. Ia akan mengungkapkan seluruh perasaanya pada Chika.
Deru mesin mobil diluar mencuri perhatiannya. Ia pun bergegas menuju jendela. Disingkapnya sedikit kain gorden yang menutupi jendela tersebut.
Betapa terkejutnya dia, ketika melihat mobil yang sangat dikenalnya. Dengan cepat ia berlari kembali kedalam kamar. Mengambil handphonenya yang tergeletak diatas meja. Mencari sebuah nomor.
"Hallo." Ucapnya setelah seorang diujung sana menerima panggilan.
"Ya, halo Fan." Jawab perempuan tersebut dengan nada seperti seseorang yamg sedang terburu-buru.
"Maaf banget Chi, hari ini sepertinya makan malam kita batal. Mendadak malam ini si Boy nelfon nyuruh ketemu klien segera." Irfan berbicara terburu buru.
"Gue baru mau ngehubungin lo. Kalo gue lupa. Hari ini sahabat gue ulang tahun. Dan ini spesial banget katanya." Chika pun tak ubahnya orang yang dikejar waktu.
"O, gitu ya. Ya udah, next time ya. Ntar gue hubungin lagi. Gue mesti berangkat udah telat."
"Ya, sama-sama Fan. Nih temen gue bentar lagi jemput."
Click
Ponselnya dimatikan. Irfan meletakkan kembali ponselnya diatas meja. Dan kembali masuk ke kamar mandi.
Sementara Chika, setelah panggilan itu diputuskan. Ia terduduk dikasur kamarnya. Terdiam sejenak. Tetes airmata mengalir perlahan dipipinya. Tapi bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman sinis untuk mengejek kehidupannya. 'Stragis inikah hidup gue. Bahkan, untuk bahagia saja gue nggak bisa.'
****
Irfan mematung didepan cermin kamar mandi. Melihat sinis ke wajah tampannya sendiri. Senyum kecut tersungging dari bibirnya yang tipis dan bergelombang. Betapa indah membayangkan, dan terasa sakit jika angan-angan itu hancur berantakan.
Bayangan ia mengungkapkan cinta yang begitu dalam pada Chika. Meski perkenalan mereka yang begitu singkat. Ia tak mengira cinta bisa singgah secepat ini. Tapi, semuanya buyar ketika ia melihat kedatangan Maya.
Ia bisa menghindar, tapi hati kecilnya berkata tidak. Bagaimanapun Maya lah yang menjadi penopang hidupnya slama ini. Dan ia tak mau menjadi orang yang tak tahu terimakasih.
Irfan keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilitnya. Tanpa berniat mengenakan pakaiannya ia keluar dari kamar mencari sosok Maya. Di ruang tamu tidak ada. Ruang tengah tidak ada. Ia yakin Maya tak akan lansung pulang.
Lalu, matanya melihat pintu kaca yang mengubungkan dengan halaman belakang terbuka. Irfan kemudian menuju ke arah pintu yang tebuka itu. Sebuah pemandangan yang tak akan ada satupun laki-laki berkedip biar sedetik pun terpampang di depannya.
Di halaman belakang yang memang ada kolam renang kecil itu. Seorang perempuan paruh baya. Ya umurnya, tapi bila melihat tubuhnya orang tak kan mengira perempuan itu sudah berumur 40 tahun.
Maya, merebahkan dirinya di kursi malas kolam renang. Rambutnya yang basah, mungkin ia habis berenang. Hanya dengan bra hitam yang bahkan hanya sekedar menutupi putingnya. Dan G string hitam yang hanya punya segitiga kecil menutupi selangkangannya.
"Apa kau tidak mengeluarkan semuanya di dalam?" Masih berbaring dengan santainya. Maya bertanya ditengah kepakuan Irfan memandang tubuhnya.
"E. . Eh. . " Irfan tak tahu mau jawab apa. Ia kemudian berjalan mendekati Maya.
"Aku merindukanmu." Maya berkata lagi.
"Mau ku ambilkan minum?" Irfan balik bertanya.
Maya kemudian mengangkat tubuhnya. Masih duduk diatas kursi malas itu. Irfan yang sudah berada tepat disamping kursi malas itu. Membuat muka Maya sekarng hanya berhadapan dengan perut Irfan.
" Nggak usah, biar aku ambil minum ku sendiri."
Maya menyentak handuk yang hanya menjadi pembalut badan pemuda itu. Kini dihadapannya telah terpampang milik Irfan yang sudah bereaksi karna pemandang tubuh Maya yang begitu menggoda.
Maya memainkan tongkat itu. Mengurutnya, meremas. Ia mengecup puncak keperkasaan pria itu. Kemudian membuka mulutnya. Memasukkan batang itu dan menghisapnya. Memaju mundurka kepalanya dan dibantu oleh tangannya mengelus kantung Irfan.
"Ahhh, Mayaaa!" Hanya itu yang keluar dari mulut Irfan.
Apa yang Maya lakukan tidak berlansung lama. Karena Irfan dengan cepat mengangkat tubuhnya. Pemuda itu kemudian melumat bibir ranumnya. Ciuman yang ganas dan menuntut. Bukan Maya namanya jika tak bisa mengimbangi permainan pemuda itu.
Maya terdorong kebelakang hingga bokongnya menyentuh meja yang berada di samping kursi. Sadar lawannya sudah terdesak ke belakang, Irfan beralih menyerang leher Maya. Mencium dan menjilat setiap inchi leher jenjang dan bersih itu.
Puas dengan leher, Irfan tak menyiakan untuk menyergap bukit kembar Maya yang begitu menggoda. Tangannya meremas dan bibirnya menjilat putingnya. Membuat Maya tak bisa tidak untuk mendesah.
"Ohhh, . . Ahhh, . Sayaangghh, terus." Lirihnya.
Irfan semakin mengila karena desahan Maya. Angin malam yang mulai menusuk. Tak lagi terasa di indra perabanya. Sepasang burung merpati yang terpaku diatas pohon tak henti berkedip memyaksikan. Ternyata kemesraan mereka selama ini belumlah seberapa, fikir sijantan. Dan suara jangkrik yang bersahutan, terdengar seperti suara penonton yang terus memberikan semangat bagi Irfan.
Kini ia telah berada di tengah selangkangan Maya. Sekilas wajahnya menengadah ke atas. Melihat Maya yang mulai terengah-engah untuk mengimbangi permainan liarnya. Irfan menyibak segitiga kecil itu ke samping kemudian ia menjulurka lidahnya. Menjilat daging kecil yang berada di tengah belahan Maya.
"Ahhh, . Ufffttt. . Bangsatttt. . . Ennnaakk bangett sayyaangg."
Maya tak berhenti meracau ke enakan akan perlakuan Irfan pada selangkangannya. Mencium, menjilat kadang kala menggigit kecil dagingnya. Jari irfan tak tinggal diam untuk menikmati hangatnya lubang sempit itu.
Sadar badan Maya mulai menegang Irfan menghentikan aksinya. Ia kemudian berdiri.
"Berengsek, aku mau sampai sayyang." Umpat Maya dengan wajah penuh gairah.
"Bukan dengan mulutku."
"Aku ingin punyamu dulu dimulutku."
"Tidak sekarang, aku butuh pelampiasan."
Irfan kemudian membalik badan Maya. Maya sedikit menunduk, berpegang pada meja di depannya. Irfan kemudian menyingkirkan tali yang hanya menyempil dibelahan pantat Maya itu kesamping. Ia mengarahkan batangnya ke lubang yang selama ini menjadi candunya.
"Ooohhh." Hanya itu yang keluar dari mulut Maya saat benda tumpul itu mulai memasuki dirinya.
Irfan memaju mundurkan pantatnya perlahan-lahan. Hingga batangnya masuk sempurna kedalam diri Maya. Pompaanya kini menjadi statis, dan mengalirkan kenikmatan yang terhingga.
Bunyi sentuhan kulit mereka memecah kesunyian malam itu. Jangkrik-jangkrik yang tadi bersuara dengan hebohnya tak lagi bersuara. Mereka seolah dibuat ternganga dengan betapa liarnya permainan dua insan yang diselimuti nafsu itu.
"Yang keras sayyaang, ohhh, bangsattt, milikku penuh. Ahhh, . . Tidakkkhh, mengapa senikmat ini."
Maya kembali meracau tak karuan. Sementara Irfan seperti orang kesetanan terus memompa batangnya dalam milik Maya.
Irfan kemudian berhenti sejenak mengambil nafas. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Maya. Ia membalikkan tubuhnya, mendorong Irfan ke atas kursi malas di dekat mereka. Pemuda itu tidak siap sehingga tubuhnya terhempas ke atas kursi. Maya dengan cepat menaiki tubuh Irfan.
"Kau diam, sekarang aku yang bermain." Ucap Maya dengan gairah yang sudah meledak.
Maya menuntun batang Irfan masuk kembali dalam tubuhnya. Kepalanya menggeleng ke kiri kanan mereasakan kenikmatan tiada tara saat batang itu perlahan menggesek inci demi inci tiap rongga miliknya.
Perlahan ia menggoyangkan pantatnya naik turun dengan ritme yang lambat. Hingga ia tak kuasa lagi untuk menjadikan permainan ini menjadi lebih liar. Gerakannya berubah dengan cepat, memutar, manu mundur, menghentak hingga batang itu benar-benar masuk menyentuh rahimnya.
"Ohhh, aahhh, siaallhh, penismu begitu nikmat."
Maya tak tahan untuk tidak mengucapkan kata kotor. Persetan semua adab dalam kondisi sekarang ini. Yang ada hanyalah bagaimana cara menuntaskan permainan ini menuju puncak gairah yang tertinggi.
"Ahhh, sayyaanggh, akhhuu nggaakkhh taahhannhh."
Maya menjadi semakin liar, goyangan menjadi semakin cepat. Bunyi dua kulit yang bersinggungan bercampur cairan cinta mengalun bagaimanan musik pengiring permainan mereka. Irfan merasakan tubuh Maya sudah mulai menegang. Ia pun juga tak dapat lagi bertahan lebih lama dengan permainan Maya. Maya yang mulai menengadah dengan mata terpejam tak menyadari Irfan yang bangkit dan mengangkat dengan mudahnya tubuh Maya. Entah kekuatan dan kecepatan dari mana. Kini pemuda itu telah berubah posisi berada diatas Maya.
Tak membuang waktu, ia kembali memasukkan batangnya ke dalam rongga Maya yang sudah basah. Menggoyangkan pantatnya cepat. Menghentak hingga tubuh Maya ikut teraangkat.
"Ahh, aaahh, keluarkan di dalam, aku ingin merasakan." Maya tak kuasa lagi untuk menggapai puncaknya.
Sembari menggoyangkan pantatnya, Irfan menatap mata Maya dalam. Memastikan apakah ia tak salah dengar.
"Ahhhh, di dalammmhh, bangsssaatthh, akkuhh nggakhh tahaannhh."
Irfan menghujan pantatnya dalam. Tubuhnya menegang, diiringi tubuh Maya yang melenting ke atas.
"Arrggghhh."
"Aaaggghhhh."
Berhenti, tubuh mereka sejenak berhenti. Mata mereka terpejam merasakan setiap air cinta masing-masing yang menyembur keluar. Otot-otot Irfan menyembul keluar. Kulitnya basah oleh keringat begitupun Maya.
Setelah itu yang terdengar hanyalah deru nafas mereka yang saling bersahutan. Mata merekasayu saling menatap. Setetes keringat dari kening Irfan jatuh diatas dahi Maya. Dan ia ambruk disebelah Maya.
"Ahhhh."
Reaksi Maya ketika benda tumpul itu keluar dari rongganya. Cairan putih kental meleleh dari selangkangannya. Ia masih mencoba untuk mengatur kembali nafasnya yang setengah-setengah. Dan ia berbalik menghadap Irfan.
Dilihatnya pemuda itu masih terpejam dan nafas yang tersengal. Tubuhnya basah oleh keringat dan itu terlihat sangat sexy dimata Maya. Wanita itu kemudian merebahkan kepalanya di atas dada bidang pemuda pemuas nafsunya itu.
"Aku merindukanmu." Ungkap Maya.
"Aku juga." Irfan membalas dengan cepat.
Ya, aku merindukanmu. Tapi tubuhku bukan hatiku. Tubuhku yang menuntut untuk merenggut kenikmatan dari tubuhmu. Tubuhku yang selalu bereaksi setiap bersentuhan denganmu. Dan hatiku? Hatiku telah tertawan pada seorang wanita yang baru ku kenal. Hatiku telah berhenti untuk merasakan apa pun lagi ketika pandangan wanita itu menusuknya. Hatiku yang teluh menemukan alasan kembali untuk merasa apa itu cinta.

*****

Lonte Vs Gigolo (The Coli Trilogi I) (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang