Siang itu Irfan mulai mengemasi barang-barangnya. Empat hari lagi ia akan kembali ke kampung halamannya. Hal ini sudah ia kabari dengan Ibu dan adiknya. Bukan senang hati keluarganya. Setelah bertahun di kota akhirnya ia akan pulang. Apalagi setelah tahu ia akan tinggal di kampung.
Tapi, perihal ia akan pulang bersama Chika tak ia katakan. Ia akan memberi kejutan pada ibu dan kedua adiknya. Dikampunglah ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Chika. Pernikahan yang sederhana.
Membayangkan ia akan menikah dengan Chika. Membuat dada Irfan bergetar rindu. Sudah tiga hari ia tak bertemu Chika. Sabar Fan, sabar. Empat hari lagi semua akan berakhir.
Lalu, tiba-tiba Handphone pemuda itu berbunyi menandakan sebuah pesan masuk.
"Sayang, bisa kita ketemu sekali ini saja?"
'Maya!' Fikirnya?
Bukankah ia sudah memberitahukan perihal rencananya untuk pulang? Lalu apa lagi?
Irfan mencoba menimbang-nimbang apalagi yang akan dibicarakan Maya? Bukan dua hari yang lalu ia sudah menjelaskan semuanya? Dan tentu saja, semuanya berakhir diranjang. Sampai pagi, nonstop.
Maya sudah memaklumi akan rencana Irfan untuk berhenti. Ia sudah berbicara panjang lebar. Mengenai Chika dan masa depannya. Dan saat itu Maya terlihat terharu dan mendoakan Irfan semoga bahagia.
'Drrrtttt.'
Ponselnya bergetar kembali. Dan pesan kedua dari Maya. Ia menuliskan alamat hotel dan waktu pertemuan mereka.
Irfan akhirnya mengalah. Dengan segala kemurahan hati Maya selama ini. Toh, apa salahnya ia menuruti saja. Hanya sehari ini. Dan mudah-mudahan kedepannya Maya bisa memahami.
"Ya,aku akan datang." Irfan membalas pesan itu.
Disuatu tempat disana. Seorang perempuan dengan berbalut kimono mandi itu tersenyum sumringah. Setelah mengutak ponsel itu sejenak. Ia kembali meletakkan ponselnya perlahan diatas nakas.
****
"Tapi, Mi. Mami sudah janji sama saya untuk menyerahkan semua keputusannya pada saya setelah malam itu." Ucap Chika berbicara melalui telefon.
"Ia sayang, Mami ngerti. Tapi, mami nggak tahu lagi harus bilang apa sama dia. Ia terus menuntut Mami. Kamu tahu, ia ngasih mami cek kosong."
"Mi, ini bukan soal uang. Ini komitmen Mi. Ini janji aku." Chika sedikit kesal jika sudah menyangkut soal uang dengan maminya itu.
"Kalau ini soal uang, Mami sudah isi cek ini. Dan suruh bodyguard mami buat jemput kamu. Masalah selesai!" Sekarang Mami yang sedikit tersulut emosi.
"...." Chika terdiam.
"Tapi, mami lihat ada ketulusan pada pemuda itu. Mami nggak tega untuk menghancurkannya. Mami cuma pesan, temui dia. Supaya kamu nggak menyesal kemudian."
"Tapi Mom. Aku,..." Chika mulai bimbang.
"Selama kita masih bisa memilih, jangan siakan itu."
"...." Chika terdiam lagi.
"Setelah kamu temui dia, terserah kamu untuk menentukan pilihan hidup kamu. Mami nggak ikut campur." Tutup Mami.
"Ya deh Mi. Aku akan datang." Ujar Chika menyerah.
"Nah, gitu dong, baru anak mami."
"Eh, iya Chi, ini cek bagus mami isi berapa ya nol nya?" Kata Mami lagi.
"Terserah Mami!!!" Teriak Chika lalu mematikan panggilannya.
'hufft ada apalagi dengan pemuda ini.' bathin Chika.
****
Kamar '1711'
Tertulis di depan pintu itu. Irfan masih sedikit ragu untuk masuk. Kemudian ia bulatkan tekadnya untuk menekan bel kamar itu. Satu kali, tak ada jawaban, dua kali, tiga kali. Juga tetap sama. Apa ia dikerjai?
Irfan coba memutar gagang pintunya.
'Click'
Tidak terkunci. Ia pun membuka sedikit pintunya. Perlahan menndorong pintu tersebut. Ia melamgkah pelan masuk kedalam kamar hotel itu. Sebuah kamar yang sangat mewah dan luas.
Ia melangkah lebih jauh kedalam. Mencari sosok Maya. Tapi, perempuan itu tak ada. Apa perempuan itu keluar? Fikirnya.
Didalam kamar itu, terdapat paviliun untuk melihat keindahan diluar. Irfan menggeser pintu kaca yang membatasinyi. Angin lansung berhembus masuk.
'Wow!"
Pemandangan yang sungguh menakjubkan. Dari atas ini ia dapat melihat seluruh pemandangan kota. Semuanya terlihat bagaikan susunan-susunan mainan yang tertata rapi.
"Indah bukan!" Sebuah suara datang mengagetkan.
Irfan tahu suara itu. Itu bukan Maya. Tapi, mengapa?
"Lo kaget. Ternyata bukan mama?" Kata perempuan itu menjawab tanya yang tak sempat diucapkan Irfan.
"Renata." Lirih Irfan.
"Maafin gue Fan. Kalo nggak gini, lo nggak bakalan mau ketemu sama gue."
"Tapi, untuk apa Re? Gue rasa lo udah tahu alasannya."
"Benar juga ya kata orang. Seekor burung akan terbang bebas ketika sudah keluar dari sangkar. Ia bebas untuk hinggap kemana yang ingin ia sukai. Dan tak lagi menghiraukan bahwa ada seseorang yang selalu memperhatikannya dulu."
"Gue nggak ngerti maksud lo, Re."
Renata diam. Ia berjalan kedepan. Hingga pada besi pembatas paviliun itu ia berhenti. Mengambil sesuatu dari tas yang ia pegang. Rokok! Mengambil satu batang. Dan menyalakannya.
Irfan heran. Sejak kapan Renata merokok.
"Gue. . " Renata kembali menghisap rokoknya."Gue cinta sama lo Fan." Ucapnya pasti.
Irfan tersentak atas pengakuan Renata. Ia fikir perasaan gadis itu hanyalah cinta monyet biasa seperti remaja lainnya. Ia tak pernah membayangkan bahwa Renata akan berani mengungkapkannya.
Renata kemudian berjalan kearah Irfan. Mini dress biru muda itu terlihat sangat anggun dipakainya. Dengan kulit yang putih bersih, membuat pakaian yang hanya sejengkal dari pangkal paha itu terlihat senada. Ditambah payudaranya tercetak indah. Payudara! Sejak kapan ia memperhatikan payudara gadis itu. Teriak bathin Irfan. Bentuknya bulat indah. Tidak sebesar mamanya. Tapi, sungguh indah. Shit! Irfan mengumpat dalam hati.
Chika menjetikkan abu rokok ke bawah.
"Seperi abu rokok ini. Ia akan hilang jatuh kebawah setelah dihisap. Dan gue tak masalah menjadi seperti abu rokok ini. Itulah tujuan gue ngundang lo kemari."
Irfan mengerti arah pembicaraan ini.
"Tapi, Re?" Irfan bimbang meski nafsunya juga sudah naik.
"Chika?" "Selama kita diam, dia nggak kan tahu." Jawab Chika cepat.
Renata kembali menghisap rokoknya dan menghembuskannya ke wajah Irfan dengan pelan. Irfan kembali tak bergeming. Perempuan itu kembali menghisap rokoknya, kali ini lebih dalam. Kemudian ia memajukan wajahnya. Mendekatkan bibirnya dengan bibir Irfan. Renata menghembuskan pelan separuh asap yang berada dimulutnya. Irfan pun menghisap asap rokok yang diberikan Renata melalui mulut itu.
Setelah itu, Renata menjauhkan wajahnya. Ia kemudian menghembuskan asap rokoknya. Begitupun juga Irfan menghembuskan asap rokok yang diberikan Renata keluar dari hidung dan mulutnya.
Renata tersenyum. Ia kemudian memberikan rokok yang terselip dijarinya itu kepada Irfan. Pemuda itu pun menghisapnya dalam. Kemudian Renata kembali mengulangi perlakuannya tadi. Tapi, kali ini Irfan yang menghembuskan asap rokok itu ke dalam mulut Renata. Dan perempuan itu yang menghisapnya.
Setelah itu, merekapun sama-sama menghembuskan asap rokok itu. Asap rokok itu saling berbenturan dan bergerak ke atas. Renata kembali tersenyum. Ia tahu apa jawaban Irfan. Ia pun menghambur ke pelukan Irfan dan melumat bibir pemuda yang telah lama dicintainya itu. Irfan pun menyambut pagutan yang diberikan Renata pada lidahnya.
Naluri lelaki Irfan bergerak dengan cepat. Ini bukan tentang cinta atau sayang. Tapi, ini tentang nafsu yang terbangkitkan dan butuh pelampiasan. Seekor kucing tak kan pernah menolak ikan yang diberikan kepadanya. Persetan untuk cinta.
Dari balkon kamar itu sepasang manusia mabuk birahi itu telah sampai diatas ranjang. Pakaian yang berceran kesana kemari menjadi jejak-jejak yang mereka tinggalkan.
"Kamu siap?" Tanya Irfan yang sudah menekuk lututnya dibawah selangkangan Renata. Dengan tongkat yang telah keras mengacung lurus.
"Untukmu, aku sudah siap dari dulu." Jawab Renata dengan mata sayu.
Irfan perlahan memasukkan tongkatnya kedalam selangkangan Renata. Susah paya iya menerobos lubang yang sempit itu. 'Jarang dipakai sepertinya' bathin Irfan. Setelah beberapa kali mencoba, tongkat itu dapat masuk hampir separuh. Tapi, seperti ada sesuatu yang mengganjal untuknya terus masuk kedalam. Keringat sudah membajiri tubuh Irfan. Antara nafsu yang minta pelampiasan dan selangkangan yang belum bisa ditaklukan.
Dobawahnya, renata mendesis perlahan. Tak tahu apa yang ia rasakan. Antara sakit dan nikmat bercampur menjadi satu.
"Terrussh Fannnhhh, dikit lagi, ssshhhh." Ucapnya.
"Shreek!"
Sekali hentakan terdengar bunyi halus dari bawah sana. Seperti sesuatu yang sobek. Irfan melihat kearah bawah. Tetesan darah mengalir dari lubang itu dan memolesi batangnya. Ia tersentak, ingin segera mencabut batangnya. Tapi, dengan sigap Renata menahan dengan merangkulkan kakinya erat ke pinggang Irfan.
"Kamu?" Tanya Irfan
Renata tak menjawab. Ia meraih kepala Irfan dan mendekatkan ke wajahnya. Dilahapnya dengan lapar mulut Irfan. 'Aku tak ingin berdebat, aku ingin nikmat.' Jawabnya dalam hati.
Kepalang tanggung, Irfan pun kembali menemukan nafsunya yang sedikit memudar. Dengan perlahan ia memaju mundurkan pinggulnya. Disertai dengan desisan dan lenguhn dari Renata.
'Bangsat, aku tak bisa bertahan kalau seperti ini.' Racaunya membantin.
Untuk seseorang yang telah malang melintang dalam dunia seks. Kemampuan Irfan tak perlu diragukan lagi. Banyak wanita takluk dibawah selangkangannya. Tapi, soal memecah perawan seorang gadis. Ini adalah hal baru baginya. Iya, seumur hidupnya. Baru sekali ini ia bercinta dengan perawan.
'Oh Shiittt.' Racaunya lagi merasakan sebuah kenikmatan yang baru direngkuhnya.
"Ahhh, kencengin Sayanggggg, akkuuu nggakkk tahannn!" Racau Renata yang sudah mulai menggila.
Irfan yang dari tadi bergerak dengan tempo lambat dan sedang memandng ke arah Renata. Takut jika ia menambah kecepatan akan membuat Renata kesakitan.
"Kencenginnn, ahhhh, akkkuuuuu!"
Irfan pun menuruti permintaan Renata. Dengan menyodoknya lebih keras.
"Ahh, ahhh, aahhhh, Sayyaangggg, akkkuu kkeeee..!"
Ucapan Renata terputus beriringan dengan tubuhnya yang melenting keatas. Matanya terpejam menyisapi klimaks luar biasa yang baru dirasakannya. Hal itu membuat jepitan lubang selangkanganbya pada milik Irfan semakin kencang membuat pria itu tak mampu lagi bertahan.
"Arrrggghhh."
Geraman Irfan dengan spermanya yang menyembur keras didalam lubang Renata. Renata tambah belingsatan akibat semburan itu. Tubuhnya makin mengejang.
Air kental itu merembes keluar tak lagi tertampung. Bercampur dengan darah perawan Renata. Dan yang terdengar lini hanyalah deru nafas tak beraturan dari sepasang manusia yang baru pertama kali menyesap kenimatan yang luar biasa.
Irfan mengangkat kepalanya memandang Renata lekat.
"Akkuu." Katanya meragu, sambil mengusap sedikit lelhan aie mata daei ujung mata Renata.
"Nggak apa-apa aku senamg jika itu kamu. Aku telah lama menantikan hari ini." Jawab Renata.
Dengan penuh kelembutan, Irfan mencium bibir Renata. Mengulumnya lembut.
Dan pergumulan itu berlanjut entah berapa kali. Irfan tak pernah puas menggagahi tubuh Renata. Ia seperti anak kecil yang mendapat mainan baru dan tak ingin dilepaskannya.
***
Sinar jingga sore itu berbinar indah. Dipadu dengan birunya lautan yang berombak. Perempuan muda itu berlari diatas hamparan pasir putih. Tidak ramai senja itu, karena memang bukanlah hari libur. Membuat siperempuan bergerak bebas. Menghilangkan segala kepahitan hidup yyang ia rasakan.
Hotpant kuning dan tanktop putihnya membuat siperempuan seperti remaja baru dewasa. Memainkan riak ombak, tak peduli pakaiannya akan basah.
Lelah berlari dan menyusuri sisi pantai itu. Ia pun menghampiri sebuah tenda payung yang sudah beralaskan tikar. Disana sudah menunggu seorang pemuda.
"Makasih ya Ren, udah bawa aku kesini." Ucap Chika setelah duduk disamping pemuda itu, yang tak lain adalah Renra.
"Gue senang kalau lu seneng Chi." Jawab Irfan. Yang tampil sangat macho sore itu. Kemeja biru dan celana fit hitam. Dan kacamata hitam diwajahnya.
"Ehm, terus apalagi nih, setelah ini?" Tanya Chika lansung. Ia meminum kelapa muda didepannya. Ia sadar posisinya. Sebagai pelacur, tak ada hal lain yang akan dimunta oranglain yang telah membayarnya. Apalagi jumlah yang dibayarkan sangat fantastis. Apa ia ingin aku bersetubuh dipantai ini bersamanya. Fikir Chika.
Renra hanya terdiam mendengar pertanyaan Chika tadi. Ia kemudian membuka kacamatanya. Memiringkan tubuhnya menghadap Chika. Meraih tangan Chika menggenggam tangannya dengan lembut.
Chika kaget, ini bukan genggaman yang biasa. Ia dapat merasakannya. Bukan gennggaman nafsu yang menggebu. Tapi, begitu lembut. Ia pun menoleh ke arah Renra. Menatap mata lelaki itu. Ia baru menyadari, pria ini sangat tampan. Matanya yang tegas tapi bukan tipe pria keras. Chika heran dengan sikap Renra kali ini.
"Chi, jangan pernah memandang sama stiap pria yang berada didekat lo. Gue sadar, bagi lo, gue hanyalah pria yang hanya suka bermain-main dengan wanita. Gue nggak masalah dengan itu."
Renda berhenti sejenak.
"Gue emang player, tapi itu dulu sebelum gue bertemu lo. Setelah itu, terserah lo percaya apa nggak. Gue hanya tidur sama lo." Renra menghela nafas.
"Bagi lo ini mungkin gombal. Tapi, gue nggak tahu sejak kapan. Gue jatuh hati sama lo. Gue sayang sama lo. Seberapa besar, gue pun nggak bisa mengukurnya. Sampai hati gue mantap buat ngejadikan lo pendamping hidup gue."
Chika tersentak mendengar pengakuan Renra. Ia sudah pernah mendengar perkataan ini. Tapi, yang sekarang ia begitu melihat keseriusan Renra.
"Tapi, Ren-. . "
"Gue tahu, sekarang lo udah sama pria lain. Tapi, satu hal Chi. Hidup adalah sebuah pilihan. Gue sudah pilih lo. Dan itu pilihan gue. Sekarang lo gue kasih sebuah pilihan. Fikirkan baik-baik. Gue harap lo nggak memyesal akan pilihan lo. Dan gue akan nerima keputusan lo."
Renra kemudian melepaskan genggamannya. Ia memanggil tas kecil yang dibawanya. Merogoh sesuatu di dalamnya. Dan mengeluarkan sebuah kertas.
"Ini tiket ke Jerman. Empat hari lagi gue berangkat. Dan berharap itu sama lo. Anggap ketika lo berangkat kesana. Lo keluar dari semua kehidupan kelam lo. Dan ketika kita pulang. Lo sudah bukan lagi Chika yang dulu. Tapi, sebagai istri gue." Renra berkata lancar dan tegas.
"Ren." Hanya ucapan lirih itu yang keluar dari mulut Chika. Tanpa ia sadari air mata meleleh dari pipinya.
Renra mengusap air mata itu. Merapikan helai rambut yang menutupi wajah Chika.
"Yuk, pulang udah hampir malam. Setelah ini biar gue menunggu keputusan lo." Ucap Renra.***
Siapakah yang akan dipilih Chika?? Irfan ataukah Renra?? Dan bagaimana dengan Renata?? Dan apakah tanggapan Maya dengan keputusan Irfan.
Ending cerita akan saya post Jum'at depan. Terimakasih telah menikmati cerita saya sampai sejauh ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonte Vs Gigolo (The Coli Trilogi I) (End)
RomantikKeheningan sesaat dalam kamar hotel mewah tetsebut. Yang ada hanyalah desah nafas dua insan yang telah usai mendaki puncak dari kenikmatan dunia. Pakaian mereka masih utuh dan lengkap tapi dua bagian tubuh mereka telah menyatu. Chika perlahan berdi...