Part 1 ~ Bukan Siti Nurbaya

620 16 0
                                    

Siang itu, ibu memintaku untuk mampir ke toko kue "Amira" langganan kami. Sederet nama kue tertulis di gawai yang sedang kupegang. Kupastikan tidak ada item yang terlewat, aku pun bergegas menuju kasir.

"Sendirian, Dit?" tanya Mbak Naya, kasir di toko kue tersebut.

"Iya, Mbak. Disuruh ibu nih!" jawabku pada Mbak Naya. Saking seringnya aku dan ibu berbelanja di sini, semua pegawai toko mengenali kami.

"Ada acara apa, Dit? Banyak amat kuenya, kamu dilamar, ya?" Mbak Naya menggodaku.

"Waduh, masih jauh ... baru juga tingkat dua," aku mencomot kue lumpur kentang favoritku.

"Tau nih, kayaknya Ibu ada acara sama temen-temennya. Biasalah, Mbak ... ibu-ibu kan suka rempong, reunianlah, arisanlah ...," cerocosku sambil melahap habis kue yang kupegang.

Memasuki toko kue ini serasa memasuki rumah kedua. Selain kuenya memang enak, pegawainya pun ramah-ramah. Mbak Naya sudah kuanggap seperti kakakku sendiri sehingga aku tak canggung saat berbicara dengannya.

"Hati-hati kualat loh kamu, Dit! Kamu juga kan ibu rempong wanna be," aku tergelak dengan pernyataan Mbak Naya.

"Sure ... tapi masih lama juga kali, Mbak." Setelah membayar kue belanjaanku, aku pun pamit pulang.

----------------------
Aku cukup kerepotan dengan dua plastik besar berisi kue di tanganku. Berulangkali aku menepikan motorku dan membetulkan posisi plastik agar kue-kue di dalamnya tidak terbalik ataupun berubah posisi.

[Dita, bawa kuenya yang bener ya. Sampe rumah bentuknya harus tetep utuh!]

Tepat seperti dugaanku, ibu nampaknya kedatangan tamu. Dua mobil terparkir di halaman depan rumahku. Satu mobil kukenali sebagai milik salah satu teman ibu, lainnya aku tak tahu.

"Assalamualaikum ...." tampak kulihat ibu sedang asyik mengobrol bersama temannya di ruang tamu.

"Waalaikumsalam, tuh ... Dita udah pulang," tunjuk ibu pada salah seorang temannya.

Aku pun menyalami satu persatu teman ibu. Hingga akhirnya, ibu mengenalkanku pada seseorang.

"Dit, kenalin ... Ini Harlan, temennya Tante Rose." Aku pun menjabat tangan lelaki itu. Dari pakaian yang dikenakannya, aku bisa tahu bahwa ia bekerja di salah satu lembaga militer.

Tante Rose adalah teman ibu semasa SMP. Aku cukup mengenalnya karena ia sering berkunjung ke rumah kami. Aku mencium gelagat aneh ketika ibu dan Tante Rose serta teman-teman yang lain meninggalkanku bersama Harlan, berdua saja.

"Dit, temenin Harlan ngobrol dulu ya. Ibu mau tunjukkin kuenya sama ibu-ibu yang lain dulu." Ibu tidak memberiku kesempatan bicara, langsung bergegas meninggalkanku.

-----------------
"Kuliah dimana?" Harlan bertanya padaku. Pria ini lumayan tampan juga, kulitnya bersih.

"Di Universitas Perdana, Mas." Aku memberanikan diri memanggilnya Mas karena yakin usianya jatuh di atasku.

"Ambil Jurusan apa, Dit?" Ia tersenyum. Huaaaa ... Senyumnya manis banget, melebihi manisnya madu perhutani yang sering dibeli ibu.

"Manajemen, Mas. Mas dines di mana?" Dia menatapku tanpa kedipan. Ah, tubuhnya tinggi, atletis, dan wangi.

'jarang-jarang ada yang kayak gini,' batinku. Aku terus menatap wajahnya, menelusuri setiap incinya. Tampan memang.

" Calon manajer dong ... Aku dines di Bandung, di ******." Ia menyebut nama salah satu kesatuan yang tidak jauh dari tempat tinggal kami.

Harlan ternyata enak diajak bicara. Kami pun bertukar nomor telepon sebelum ia dan teman-teman ibu lainnya pamit.

"Sampai ketemu nanti, ya, Dit." Ia menjabat tanganku, desiran aneh muncul begitu saja. Saat ia tersenyum bisa kulihat lesung pipitnya, menambah tampan wajahnya.

----------------

Mobil Harlan dan Tante Rose bergerak meninggalkan halaman rumah kami. Ibu mengikut lenganku.

"Ganteng nggak, Dit?" Ibu menaikkan alisnya.

"Suaminya Tante Rose? Buat ibu aja deh," aku melengos pergi ke dalam rumah dan membereskan makanan yang tersisa di meja.

"Bukan, Dit. Harlan ... ganteng nggak?" Ibu menatapku penuh selidik.

"Ya gantenglah bu, namanya juga cowok. Kalau cantik, itu aku ...." kukedipkan mataku, menggoda ibuku. Firasatku benar, ada udang di balik batu saat pertemuan siang tadi.

"Kamu mau nggak ibu jodohin sama nak Harlan?" Ibu to the point. Aku membekap mulut dengan kedua tanganku.

"Nooo ... aku bukan Siti Nurbaya, Bu." Tanganku memegang pundak ibu, mencoba meyakinkan bahwa perjodohan itu hanya ada dalam cerita Siti Nurbaya.

"Tapi dia juga bukan Datuk Maringgih, masih muda pangkatnya sudah sersan loh."

Ku tinggalkan ibu ke kamar, ah entahlah. Walaupun Harlan tampan dan kelihatannya baik. Aku belum berpikiran ke arah sana. Hatiku sudah tertaut pada satu nama, Haikal, kakak tingkatku.

----------------

Masih belajar nulis nih, kalau suka boleh kasih bintang, kalau nggak suka boleh kasih saran. Terima kasih sudah berkenan membaca yaa 😊😊😊

Cinta Sang PerwiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang