Sejak pertemuanku dengan Harlan tempo hari, kami mulai berkomunikasi via telepon.
[Assalamualaikum, Dita. Ini Harlan, ganggu nggak?]
[Waalaikumsalam, Mas. Enggak kok, apa kabar?]
Aku memanggilnya dengan sebutan 'Mas' untuk menghormatinya karena ia lebih tua dariku. Aku pun merasa tidak ada salahnya jika aku membalas pesan-pesannya, Harlan termasuk pria yang santun. Ibu pun mulai sering bercerita tentang Harlan. Harlan adalah teman Tante Rose, anak tunggal, masih lajang, pangkatnya sertu, dan mulai diburu ibu-ibu untuk jadi menantu. Ibu selalu menggebu jika bercerita tentang Harlan, sementara aku hanya menanggapinya dengan santai.
"Keren nggak, Dit?"
"Siapa, Bu? Tom Cruise?" tanyaku pada Ibu. Kebetulan saat itu kami sedang menonton Film Top Gun yang bintang utamanya adalah Tom Cruise.
"Tom Cruise sih udah jelas keren! Harlan, Dit. Menurutmu, Harlan keren nggak?" Ibu meletakkan kedua tangannya di pipiku, tampaknya Ibu serius bertanya.
"Keren ... tapi sayang bu ...," belum sempat aku membereskan kalimatku. Ibu memotong.
"Tapi kenapa? Harlan nggak sopan sama kamu? Kamu sering komunikasi sama dia kan?" Ibu mencecarku dengan rentetan pertanyaan layaknya polisi yang sedang menginterogasi maling yang tertangkap.
"Ibuuu ... kalau nanya mbok ya satu-satu."
"Aku jawab ya, Ibuku sayang. Satu, aku sering SMSan, teleponan sama Mas Harlan. Dua, dia sopan, baik juga. Tiga, sayangnya dia nggak bisa bawa motor. Jadi kerennya belum paripurna." Aku meninggalkan Ibu yang tampak bingung.
Entah mengapa, menurutku, laki-laki yang tidak bisa mengendarai motor itu kurang macho, nggak jantan. Aku dan Harlan sempat membuat janji untuk bertemu. Kopi darat bahasa kerennya. Aku memintanya menjemputku di rumah karena ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat di Bandung Utara dengan mengendarai sepeda motor, Harlan menolak. Dengan jujur ia berkata bahwa ia tak bisa mengendarai sepeda motor. Kami pun akhirnya pergi menggunakan taksi karena mobil Harlan sedang di bengkel. Sejak saat itu, kekagumanku padanya sedikit berkurang.
-----------
[Dit, aku boleh maen ke rumah nggak?]
[Kapan?]
[Sekarang ... aku di depan rumah kamu]
Kuintip dari balik jendela ruang depan rumahku, tampak Harlan di atas sebuah sepeda motor.
"Masuk, Mas!" Aku membukakan pintu untuknya. Ternyata dia tidak sendiri. Seseorang berseragam sama ikut di belakangnya.
"Kenalin, Dit. Ini adik letingku, Agus." Aku menjabat tangannya. Sekilas seragam yang mereka kenakan tampak sama, hanya berbeda pada tanda kepangkatan yang ada di lengan mereka. Jika Harlan memiliki tanda strip melengkung di bagian lengan seragamnya, tanda strip di seragam Agus hanya berupa garis lurus.
Harlan meminta Agus untuk menunggunya di kursi depan rumahku.
"Ini, untukmu!" Harlan memberikanku sebuah boneka beruang besar beserta satu set sapu tangan bermotif kartun.
"Makasih, Mas. Dalam rangka apa ini?" Aku menyimpan boneka pemberian Harlan di sampingku. Aku membuka kotak sapu tangan yang ia berikan.
"Pulang kerja aku mampir ke toko buku. Nggak sengaja liat boneka itu. Aku langsung inget kamu." Duh, maksudnya apa? Apakah perawakanku mirip boneka itu? Atau diam-diam ia mulai mengagumiku? Yang jelas aku suka dengan pemberian dan perhatiannya.
"Kok sapu tangan sih, Mas?"
"Kenapa, kamu nggak suka?" Kulihat rona wajahnya mulai berubah.
"Suka, kok. Motifnya lucu ... tapi, orang bilang sapu tangan itu tanda perpisahan."
"Mitos, Dit. Nggak usah dipercaya." Aku berulangkali berterima kasih atas pemberiannya. Di rumah, aku hanya memiliki satu boneka besar, itu pun hadiah saat kecil dulu.
"Kamu kesini pake motor, Mas?" Saat itu aku berpikir bahwa Harlan sudah belajar untuk mengendarai sepeda motor.
"Iya, dibonceng Agus." Rupanya tebakanku salah. Tak ingin terlihat kecewa, aku tersenyum dan dibalas olehnya.
Seolah tahu akan kedatangan Harlan, ibu memintaku untuk mengajak Harlan makan masakan yang sudah disiapkan ibu. Menu istimewa yang hanya disiapkan ibu pada acara istimewa atau saat menjamu tamu istimewa.
"Dita, ajak Nak Harlan makan dulu. Kasihan, pulang kerja langsung ke sini. Pasti belum makan." Perintah Ibu adalah sabda pandita ratu. Segera kuajak Harlan dan Agus ke ruang makan.
----------Tepat di bulan kelima perkenalanku dengan Harlan, ibu bertanya padaku.
"Dit, kamu mau nggak nikah sama Harlan?" Aku tersedak, makanan yang sedang kukunyah serasa terhimpit di kerongkongan. Ibu memberiku minum.
"Nggak ... Bu, Dita ini masih kuliah. Ibarat bunga, baru kuncup. Belum mekar ... kok udah mau dipetik?" Aku melihat kekecewaan di mata ibu. Mencoba menghindari pertanyaan dan pernyataan ibu berikutnya, aku bergegas menuju kamar.
Aku mengempaskan tubuhku di ranjang. Kutatap langit-langit di kamarku. Anganku melayang. Sebenarnya aku sudah tahu rencana ibu yang akan menjodohkanku dengan Harlan beberapa waktu lalu.
----------
Siang itu Tante Rose mengunjungi Ibu, sayang ibu sedang pergi menemani ayah ke rumah sakit. Aku pun menemani Tante Rose. Kugali informasi lebih dalam tentang Harlan darinya. Sejujurnya aku mulai menyukai Harlan, terlepas dari ketidakmampuannya mengendarai sepeda motor (maaf, lagi-lagi tentang motor😁). Hanya saja, ada sesuatu yang tak bisa kuterima dari penjelasan Tante Rose.
Awalnya aku berpikir bahwa Harlan menyukaiku. Tapi ternyata aku salah besar, Harlan mendekatiku karena ia ingin terlepas dari bayang-bayang kekasihnya yang baru saja menikah dengan kakak letingnya.
"Luka karena wanita, obatnya juga wanita." Begitu kata Tante Rose.
Aku tak ingin hanya menjadi wanita kedua , pelampiasan dari hidup Harlan. Sejak kedatangan Tante Rose, aku pun mulai perlahan menghindari Harlan. Selain itu, sosok Haikal juga selalu mampu mencuri perhatianku.
----------
Siapa sih Haikal? Tunggu di part berikutnya ya. Oia, leting itu= angkatan.
Yang suka boleh kasih bintang atau tinggalkan komentar. Buat yang nggak suka, kasib masukannya yaa 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sang Perwira
RomanceKhalila pernah dijodohkan oleh ibunya dengan seorang bintara TNI. Saat itu Khalila menolak mentah-mentah perjodohan yang direncanakan ibunya. Ibarat sebuah bunga, Khalila barulah sebuah kuncup yang belum mekar. Usia Khalila barulah menginjak 19 tahu...