SATU

0 0 0
                                    

Seperti halnya sebuah nuansa di tengah-tengah para demonstran, menakutkan, menegangkan tapi begitu menakjubkan. Sebuah nuansa yang tak nyaman namun begitu bernilai. Seorang bisa berteriak sekencang-kencangnya seperti manusia yang tak punya pikiran atau hancur jiwanya, bahkan yang lian bisa mengubah jati dirinya seketika menjadi seorang berwajah beringas yang siap menghantam siapa saja menghalangi jalanya, semua mereka lakukan atas nama sebuah pengabdian dan perjuangan yang mereka yakini kebenarannya, sekalipun yang mereka lakukan terkadang membuat orang memalingkan muka dan memandang mereka seorang benalu pengganggu.

“Jadi atas nama rakyat, kau turun kejalanan ”

“Betul sekali Bung, Kita ini calon pengendali bangsa, sudah saatnya sejak dini kita bergerak dan berjuang. Kita jangan hanya menjadi generasi penerus bangsa, tapi harus bisa menjadi generasi pelurus bangsa ”

“Haduh, bisa saja kau anak muda, Jadi apa rencanamu untuk membangun bangsa kedepan”

“Membangun bangsa bukan hanya rencana ku bung, tapi rencana kita dan mereka rakyat Indonesia, jangan sampai rencana kita tidak selaras dengan apa yang diharapkan rakyat, ini yang salah saat ini ”

“Aku paham maksud mu anak muda, jadi sekarang ini yang ada rencana membangun rumah mewah setelah jadi anggota parlement bukan begitu he,he,he ” laki-laki tua itu tertawa lepas, sambil sesekali menikmati kopi hitam yang tertuang dalam gelas plastik mineral.

“Haha.. Bukan saya yang berbicara seperti itu yah bung, tapi saya rasa untuk saat ini sebagai mahasiswa yang hendak saya lakukan adalah membangun Ilmu pengetahuan untuk membangun bangsa ke depan ”

“Kau tau betapa prontal mahasiswa sekarang anak muda, Jalan mereka tidak jelas, memperjuangkan rakyat tapi mereka tidak bisa memperjuangkan hidup mereka sendiri. Pulsa saja masih minta orang tua tokh.. Heheh”

“Haha, ini sentilan dari yang tua tokh bung ”

“Yah, kalau urusan sental sentil yang tua nampaknya memang lebih berpengalaman”

Keduanya terdiam sejenak, lalu tertawa lepas. Sejak tadi aku hanya terdiam, berusaha menguping pembicaraan mereka secara seksama, sekalipun terhalang oleh salah seorang pengunjung yang membaca koran, tapi aku cukup bisa melihat keduanya dengan jelas.

ARDIAN HUTAMA, Dia salah seorang mahasiswa di fakultas politik dikampus ku, semua orang mengenal Ardian yang sangat bersahaja dan pendiam tapi sosoknya bisa berubah seketika ketika memegang toa dan berteriak memperjuangkan Hak-hak rakyat. Sementara lelaki tua yang sejak tadi dipanggil bung, aku cukup mengenalnya sebagai salah satu mantan aktivis yang cukup vokal di jamanya, terakhir laki-laki itu dikabarkan berhenti di dunia peraktivisanya ketika menikahi seorang anak pejabat daerah yang ternyata ayahnya terlibat korupsi, inilakh sebuah pilihan pahit yang kelak akan semua orang temui.

“Jadi terlalu sulit memang hidup ini nak, aku sering kali merasa gagal menjadi manusia ”Ucap lelaki tua itu seraya mengubah posisi bersender pada dinding bambu kedai.

“Kegagalan bung ini, justru kekuatan buat saya bung. Kalau bung berhasil matilakh sudah saya tidak punya PR untuk perjuangan saya”

“Adinda ini sungguh luar biasa, tapi aku perhatikan kau tidak juga meminum kopi mu ”

“Saya tidak mengkonsumsi kopi”

“Hem... Jadi saya kira pertemuan kali ini nampaknya gagal”

“Justru pertemuan ini adalah awal yang baik buat bung lebih mencintai saya kedepan, tanpa kopi, tanpa roko cukup lakh bung Sarif berikan saya sentuhan cinta lewat ilmu yang bung sarif miliki”

Hahahaa... Laki-laki tua itu tertawa lepas “Jadi di balik sosok garang mu adinda, ternyata kau begitu romantis dan puitis. Aktivis muda... Sudah berapa banyak wanita yang kau taklukan”

EquilibiriumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang