“Kamu terlalu Naif Re...”
“Ini sudah keputusan yang aku ambil. Lagi pula itu bukan waktu yang lama”
“Bukan waktu Lama, seperti apa ini sudah satu tahun berlalu dan belum ada satu kabarpun darinya, Jogyakarta Banten itu bukan jarak yang jauh. Apa salahnya menyempatkan waktu untuk menjengukmu. Gaya pacaran model apa ini, jangankan berjumpa, sms dan telphone aja gak pernah”
“Ini sudah menjadi resiko yang harus aku ambil, lagi pula orang seperti aku saja jarang punya waktu luang, apa lagi dia. Aku selalu menyadari itu, kita berangkat dari tempat yang sama ko”
Hilda nampak menggelengkan kepala, aku hanya tersenyum melihat tingkahnya, akhir-akhir ini dia sering membuatku kesal atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu di lontarkan dan membuat hatiku tak nyaman. Tapi terkadang aku juga berpikir apakah pandangan Hilda itu benar.
Sejak kejadian satu tahun lalu di anyer, aku tidak pernah lagi melihat sosok kekasihku Ardian. Ardian seperti di telan bumi, sekalipun secara kasat mata aku memang tak melihat sosoknya, tapi keberadaan Ardian seolah selalu hadir dalam setiap detik kehidupanku, dia adalah penyemangat hidup yang selalu membuatku bertahan dari tekanan-tekanan kehidupan, dari kerasnya alam dan aku rasa sosok Ardian yang kini mengubahku menjadi Rere yang jauh lebih baik dari dulu.
Aku menghidupkan ardian pada setiap bait-bait puisi yang ku buat, meniupkan kisahnya pada cerpen-cerpen yang kutulis . Banyak orang berpikir sosok adrian hanya hadir dalam benak ku saja, mereka bilang fantasiku sebagai penulis sudah melebihi batas kewajaran. terkadang hal itu membuat aku bercermin apa benar aku sudah tidak waras, aku terlalu banyak bermimpi tapi kejadian malam itu di pesisir pantai anyer membuat aku yakin aku tidak sedang berada dalam imajinasiku tapi memang inilah kehidupanku yang sesunggunya.
“Aku akan menikahi mu re, setelah aku menyelesaikan pasca sarjana ku di Jogyakarta. Aku punya keyakinan bahwa kelak kamu akan menjadi ibu bagi keturunan ku”
Masih terdengar jelas di telinga suara Ardian yang begitu lembut, aku sendiri tidak begitu memahami karaktenya, tapi entah mengapa ada sebuah keyakinan lain yang juga membuat aku seolah sudah jauh mengenal dan memahami Ardian.
“Jadilakh perempuan yang setia menunggu aku. Saat ini aku sedang berjuang dan mencoba mengabdi untuk masyarakat, setelah semua ini selesai. Aku akan mengajak mu untuk sama-sama berjuang menapaki kehidupan”
Bruk “ Sudahlakh bu rere, pak Ardian tidak akan pernah datang menemui bu rere”
“Akh.. Deri, aku pikir kamu hilda”
“Haha, jadi kabar aktivis galau itu memang benar, bagai mana kamu akan memberdayakan perempuan-perempuan indonesia jika kamu saja kerjaannya melamun terus kaya angsa”
“Huss bicara mu ngaur, gimana proposal mu sudah di terima”
“Ini yang buat aku galau, sampai saat ini proposal ku nampaknya selalu bermasalah”
“Keterlaluan kamu der, apa saja kerjaan mu selama kuliah, aktive di kampus kaga di organisasi luar apa lagi. Nah. . Aturan nilai akademismu itu bagu. .”
“Pacar ku selalu bikin masalah”
Aku hanya tertawa mendengar perkataan deri “Hilda itu cukup kau belikan baju baru saja, masalah bereskan ”
“Haduh re, tukang kreditpun sudah tidak sudi menawari ku lagi”
“Keterlaluan kau” ucap ku ketus seraya mengembalikan buku-buku yang ku ambil pada raknya.
“Astaga, re gua kesinikan mau bilang ada yang nungguin kamu di parkiran, tadi aku ketemu laki-laki tingginya hampir sama dengan mu lakh, putih , ganteng pake kacamata lagi”