Chapter 3

54.3K 2.6K 252
                                    

Latifah mengerutkan kening. "Minta apa?" Tapi teman-temannya terdiam menatapnya. Ralat, teman-temannya menatap objek di belakangnya yang membuat ia ikut menoleh.

Hanya untuk terkaget karena menemukan Pak Cakra, sang atasan ayahnya, ada di belakangnya.

"Mereka mungkin mau minta maaf tentang ngasih tantangan ngajak nikah," katanya dengan tatapan mata yang tajam, tapi Latifah rasa itu ekspresinya yang biasa, hanya saja untuk kali pertama melihat, pasti akan berpikir ia orang yang senang memojokkan lawan.

Yah, memang benar ia rasa.

Tapi, eh, kenapa Latifah jadi sok tahu begini?

"I- iya, Om, kami mau minta maaf! Jangan tuntut Latifah aja, sumber masalahnya sama kami!"

Latifah mengerutkan kening, ia siap angkat suara untuk menjelaskan tapi suara berat dan dalam milik sang om mendahuluinya.

"Bukan urusan itu yang membawa saya kemari, lagipun saya sudah memaafkan kalian. Sana, kalian pulang! Dan ingat, jangan lakukan kesalahan yang sama!"

"Ba- baik, Om!" teman-temannya menatap Latifah. "Maaf juga ya, Fah, keknya kemarin lo marah banget, mm ... ka- kami pulang dulu!" Dan mereka akhirnya pergi tanpa memberi kesempatan Latifah angkat suara.

"Anjir, kalau bukan nuntut, apa dong?" tanya sang teman pada temannya yang lain.

"Jangan-jangan nikah? Beneran?" Dan terjadilah perdebatan lambe turah mereka, akibat Latifah yang tidak diberikan kesempatan menjelaskan.

Om Cakra kembali masuk dan duduk di ruang tamu, Latifah berpikir, 'kenapa om pakek keluar segala, sih?! Nyebelin banget, deh!' jengkelnya. Ia melangkah masuk menuju ruang tamu dan menemukan kedua adiknya yang asyik bermain satu sama lain. Adik Latifah adalah kembar pengantin, perempuan dan laki-laki. Sama seperti dirinya, ia juga punya kakak kembar laki-laki.

Terdengar percakapan di ruang tamu saat Latifah baru ingin mendaratkan bokongnya ke sofa, rasa penasarannya pun membawanya untuk melangkah ke sana. Ia melirik, memperhatikan dan mendengarkan apa yang tengah ayahnya dan atasannya bicarakan.

Tentu saja, tentang pekerjaan.

Tapi kemudian...

"Perempuan tadi anak pertama kamu?"

"Ah, bukan, Pak, anak kedua. Yang cowok kakak kembar dia lagi ngerayain perpisahan," jawab sang ayah tersenyum. "Dan saya juga punya anak yang paling kecil, kembar pengantin juga."

"Wah! Keturunan kamu unik, ya." Pak Cakra nampak memanggutkan kepala. "Mereka ada rencana kerja atau kuliah?"

"Kalau anak saya yang cowok, Ihsan, otw pisah, kerja sambil membiayai kuliahnya sendiri. Kalau Latifah—"

Sang om tiba-tiba memutus. "Siap nikah?"

Latifah melingkarkan mata sempurna.

Sang ayah menggedikan bahu.

Tanpa pikir panjang, Latifah keluar dari persembunyian. "Pah, aku gak mau nikah sama dia!"

Ayahnya kalap, sang om menatap gadis di hadapannya dengan datar, sebelum akhirnya tertawa dengan suara yang berat.

"Eh?" Ayahanda Latifah bingung sendiri, ia menatap putrinya dan sang atasan bergantian, padahal tadi ia siap mengomeli ketidaksopanan anaknya itu tapi melihat situasi, ia malah dilema harus melakukan apa.

"Saya cuman nanya, lho." Cakra terpingkal, Latifah semakin marah, pipi putihnya memerah karena darahnya yang mendidih. "Hadeh ...."

"Latifah, masuk ke kamar kamu!" Ayahnya akhirnya memarahi karena melihat Latifah yang marah siap bersuara membalas atasannya, Latifah yang sadar akan kelakuannya pun menunduk.

"Ma- maaf ...," gumamnya, sebelum akhirnya beranjak menuju kamarnya.

"Pak, maaf atas kesalahan anak—"

"Kesalahan? Enggak, itu hiburan." Sang atasan masih tertawa, hanya saja lebih tenang daripada tadi. "Kayaknya, dia sensi banget soal nikah, hm ...."

"Mm... ya- ya gitu mungkin, Pak ...," jawab ayah Latifah bingung, walau begitu ia bersyukur, nyatanya atasannya tak marah dan tak menyiapkan surat PHK guna memecatnya.

Huh...

"Apa kamu keberatan, saya menikah dengan dia?"

Mata ayah Latifah melingkar sempurna.

18 sama 40?!

Pria yang sama-sama kepala empat sepertinya?!

Jika dipikir-pikir, kalau menikah dengan seorang Cakrawala Valdis dan menjadi bagian keluarga Valdis, nampaknya bagus, sekalipun Pak Cakra seorang duda, tapi kebahagiaan lahir batin pasti bisa dibagikannya kepada Latifah, kan?

Tapi, ada apa dengan pertanyaan itu?

"Ba- bapak serius?"

"Yah ... jika kamu tidak keberatan, mm ... saya tahu dia masih sangat muda dan saya ... ya ... tua bagi umur seperti dia. Bukannya pedofil, saya hanya ingin mencari istri yang bisa menjadi sosok ibu, mirip seperti ibu mereka, menyayangi anak-anak saya."

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

OM ... NIKAH YUK! [B.U. Series - C]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang