Chapter 11 -

27.3K 1.5K 136
                                    

Pulang dari universitas, kesembilan remaja itu berjalan bersama menuju ke kafetaria, mereka duduk di kursi yang tersedia di sana sambil bercengkrama satu sama lain meski Bella asyik melakukan chatting dengan kakak senior mereka, Uzi.

Latifah menatap Lavina. "Ayah kamu nanti jemput, ya?"

Lavina mengangguk dan kembali menggerakkan tangannya. "Oh, gitu ...."

"Asyik banget chat-an. Ada apaan, sih?" Camelia meninggikan kepalanya untuk mengintip apa yang membuat Bella ketawa-ketiwi memandangi ponselnya sendiri.

"Kepo!" Tanpa mengalihkan pandangan, Bella mendorong pipi Camelia.

"Uh ... biasalah jones ...," ejek Evan, pemuda itu terkekeh pelan, begitupun Ezra dan Enzi, mereka memakan makanan dan meminum minuman masing-masing.

"Nanti kata jones minggat dari nama gue, sorry ya!" Bella memeletkan lidahnya. "Jones teriak jones!"

"Aih, gue punya Camel!" Enzi tak terima. "Yang lain tuh, jones karatan!"

"Ih, emang kita pacaran?" Camelia memandang dengan jijik. Dan mereka menertawakan tingkah konyol satu sama lain.

Ponsel Lavina berdering.

"Papah kamu jemput?" tanya Latifah, gadis yang ditanya mengangguk. Ia memperbaiki letak tas selendangnya lalu berdiri, berpamitan sebelum akhirnya berjalan keluar di mana mobil ayahnya berada.

Latifah berdiri.

"Mau kemana?"

"Liatin aja, takutnya ada apa-apa!" Latifah ingat pesan calon suami-maksudnya om Cakra kalau ia harus menjaga putrinya.

'Aduh ... tuh, 'kan aku jadi suka sama om!' Tapi entahlah, perasaanya sukar ditutupi walau ia lihai menyamarkannya. Latifah memperhatikan Lavina yang masuk ke dalam mobil yang ada di seberang jalan.

"Terima kasih sudah jagain anak saya!" Nyaris Latifah berteriak karena suara tiba-tiba dari orang di sampingnya itu, yang tidak lain dan tak bukan adalah om Cakra sendiri.

"Om, ngagetin aku aja!" Gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Omong-omong, sama-sama, Om. Lavina itu emang temen yang baik, bagi aku dan temen-temen aku. Oh, ralat, bukan temen-"

"Anak?"

Latifah mengerutkan keningnya. "Sahabat, Om ...."

"Oh, mm ... maksud saya anak-anak yang mana yang temenan sama Lavina selain kamu?" Kedua pipi Cakra nampak memerah dan tingkahnya canggung.

"Tuh, ada di kafe, Om! Mau aku kenalin?"

Cakra menggeleng. "Um ... saya harus nganter anak saya dulu." Jeda sesaat. "Kamu mau pulang juga? Saya antar? Lagipun saya setelah ini akan ke rumah papah kamu."

"Ngapain, Om? Papah saya kalo gak salah jam segini 'kan masih ada di kantor om?"

"Ngelamar." Cakra terengah. "Ah, maksudnya, ah lupakan! Asalamualaikum!"

"Wa'alaikumus-salam!" Meski bingung, Latifah hanya diam memandangi kepergian Cakra menuju mobilnya sambil garuk-garuk kepala.

Sampai, ia menyadari satu hal.

'Enggak ... aku- aku- enggak ....' Gadis di dalam dirinya menggigiti kuku jemarinya.

Ia masuk kembali ke dalam kafetaria, Cakra memandang dirinya yang hilang ketika masuk ke bangunan itu dengan kecewa. Putrinya yang duduk di bangku penumpang sampingnya menepuk bahunya. Cakra menoleh dan memperhatikan dengan seksama gerakan isyarat dari putrinya itu.

"Papah gak papa cuman ...." Dan ia tahu, ia tak bisa menahannya, jeda sesaat ia pakai untuk mempersiapkan kalimat sambil menutup kedua tangannya ke wajah. "Keberatan jika-"

Dan lagi-lagi, perkataannya tersedak di kerongkongan.

Lavina memandang intens sang ayah, kemudian menggerakan tangannya dan Cakra memperhatikan. 'Papah, aku inget di mana Mamah pernah menceritakan awal-awal kalian ketemu, salah tingkah Papah, susah ngomong, serba salah mulu. Itu tanda jika Papah suka sama Mamah dulu, Lavina tahu semua dari cerita Mamah dan tadi Lavina liat bagaimana Papah berinteraksi dengan Latifah. Meski tidak secara langsung Lavina liat saat itu, tapi Lavina yakin sama persis. Papah suka sama Latifah?'

Cakra bungkam, matanya berkaca-kaca.

Lavina kembali menggerakan tangannya. 'Jika memang begitu, Lavina gak keberatan, Pah. Jika Allah berkata kalian jodoh, aku enggak akan keberatan karena, ya, aku liat Mamah setiap aku liat Latifah ....'

Mata Cakra melingkar sempurna. Ia tersenyum.

"Sayangnya bagi anak seusia Latifah." Cakra menggeleng. "Faktanya, Latifah pernah menolak papah mentah-mentah ...." Senyumnya pudar.

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

OM ... NIKAH YUK! [B.U. Series - C]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang