Prolog

210 18 26
                                    

"Udah ayok buruan, kabur tinggal kabur aja."

"Lo serius mau tetep kabur, ini mapelnya bu Mut loh. Lo tau kan gimana sifatnya bu Mut?"

"Udah tenang aja, ngga bakal tau juga."

Cewek berambut sedada itu tengah mencoba memanjat pagar belakang sekolah dengan niatan ingin kabur, Zeta.

"Kalian ikut ngga?"

"Iya deh ikut aja, gue juga males hari ini." Elin menyusul Zeta memanjat pagar.

"Lo gimana Rin?" Zeta masih menunggu keputusan Karin yang saat ini ia masih menimbang-nimbang keputusan, apakah harus mengikuti para sahabatnya untuk kabur atau kembali ke kelas cari aman.

"Ah kelamaan mikir lo." Ujar Zeta yang tampak sedikit kesal.

"Iya iya gue ikut kalian."

"Bagus." Seringai Zeta senang.

Mereka berhasil melompat dari pagar tembok yang tingginya lebih dari tinggi badan mereka hanya dengan menggunakan rok. Untung saja disana mereka hanya bertiga, kalau ada anak laki-laki bisa gawat nanti malah mencari kesempatan dalam kesempitan.

Mereka tak merasakan kesulitan sama sekali saat memanjat pagar tembok tersebut, pasalnya mereka sering kali melakukan hal tersebut.

Bisa dibilang mereka adalah anak bengal, yang tak tau aturan dan tak mau tau.

Mereka kerap kali berbuat ulah sampai-sampai guru yang menghukumnya pun bosan terus-terusan menghukum mereka. Karena mereka tak pernah kapok, malah semakin menjadi-jadi.

"Mau kemana kita ini?" Elin merapikan seragamnya dan mengambil ponsel di saku bajunya.

"Kemana aja lah yang penting bukan di sekolah." Zeta ikut mengambil ponsel disaku bajunya.

"Ke warung bi Yuyun aja yuk." Ajak Karin.

"Eh mau cari mati apa, jangan disana deh."

"Iya bener kata Zeta jangan disana, takutnya ada razia kaya kemarin lusa tuh." Elin membenarkan ucapan Zeta.

Warung bi Yuyun berada di sebrang sekolah namun agak sedikit masuk gang dan biasa dijadikan markas bagi anak-anak yang kabur pelajaran. Tapi karena maraknya hal itu akhirnya guru-guru mengadakan razia ditempat itu dan itu terjadi tanpa diduga, bisa kapan saja.

Mereka pun sering nongkrong disana disaat kabur seperti ini. Tapi akhir-akhir ini mereka menghindari tempat itu karena takut terciduk oleh guru-guru.

"Ya trus kemana?" Tanya Karin meminta penjelasan kepada kedua sahabatnya.

"Ke rumah lo aja Lin." Ujar Zeta asal.

"Eh jangan-jangan ada abang gue, hari ini dia libur. Kalau abang gue tau bisa gawat urusannya." Elin tak menyetujui pendapat Zeta mengingat abangnya tak bekerja hari ini.

"Rumah lo aja Ta." Kini giliran Elin yang menyarankan ke rumah Zeta.

"Jangan ah, gue lagi males pulang ke rumah. Lagi ribut gue sama nyokap." Terangnya

"Yah trus kita mau kabur kemana ini?" Elin mulai frustasi.

"Ke rumah gue aja."

"Lo ngga keberatan?" Elin memastikannya lagi.

"Ngga, dirumah sepi. Nyokap bokap pergi keluar kota." Terang Karin dengan santainya.

"Onta dasar kenapa ngga bilang dari tadi coba, kita udah pusing tujuh keliling tau taunya rumah lo sepi." Rasanya Zeta ingin memakan Karin hidup-hidup, kenapa ia tak bilang dari tadi, kenapa ia bilang ketika otaknya sudah hampir pecah memikirkan tempat untuk pelariannya.

"Salah kalian kenapa ngga nanya ke gue, kalau kalian nanya kan gue jawab."

"Setidaknya lo inisiatif onta."

"Udah yuk keburu ada yang ngeliat." Ajak Elin menyudahi perdebatan mereka.

***

Nafas laki-laki itu terdengar terengah-engah, keringat bercucuran dari pelipis hingga membasahi pipi wajahnya.

Terkadang laki-laki itu mencari-cari kesempatan mengganti langkah panjangnya menjadi langkah pendek.

"Deyan, jangan berhenti cepat selesaikan lima belas putaran!" Tegur pak Latif yang sedang mengawasi Deyan. Ia terpaksa memberikan hukuman karena Deyan terlambat masuk ke kelas dan ini sudah ke tiga kalinya. Jadi pak Latif sudah tidak ada toleransi lagi bagi Deyan.

"Sudah pak lah cape ini." Keluh Deyan.

"Itu hukuman bagi anak pembolos seperti kamu!"

"Kan sudah saya jelaskan kalau tadi saya ada urusan sebentar jadi terlambat masuk ke kelas." Deyan mencoba membela diri dengan mencari alasan yang tepat.

"Minggu kemarin juga kamu bilangnya gitu." Pak Latif tak ingin tertipu lagi oleh akal Deyan.

"Itu kan dulu pak, ini sekarang beda lagi ceritanya."

"Sudah DIAM. Atau mau saya tambah hukumannya?"

Tak ada jawaban dari Deyan, ia lebih memilih bungkam karena tak ingin masa hukumannya diperpanjang.

***

Bel istirahat berbunyi, kini Deyan sudah berada di kantin bersama teman-temannya, menikmati secangkir kopi yang dibelinya di kantin tersebut.

Seorang siswi menghampiri gerombolan mereka.

"Haii pacar," sapa siswi itu pada Deyan yang dibalas oleh lambaian tangan dan senyum manis nya yang mampu memikat ribuan wanita.

"Gue denger lo tadi dihukum?"

"Biasa." Deyan menjawab santai.

"Aduuh kacian banget si, pasti lelah ya?" Tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di pipi Deyan membuat ia sedikit terkejut sebelum akhirnya kembali bersikap biasa.

"Tuh biar lo semangat lagi." Ujar Navy santai merasa dia melakukan hal yang biasa saja.

Tapi jika cowok itu bukan Deyan pasti akan merasa malu jika dicium di tempat umum. Untung saja itu Deyan jadi ia akan merasa biasa-biasa saja dengan hal itu.

"Ekhem.. hemm..." suara deheman dari para teman-temannya Deyan sesaat melihat Navy menciumnya.

"Aduh kita ini kok ngerasa jadi kayak setan di antara mereka deh." Ledek salah satu teman Deyan yang duduknya berhadapan dengannya.

"Nav, gue juga mau dicium kaya Deyan." Ujar Aldo.

"Ngimpi." Balas Navy.

"Ngimpi basah?"

"Bege."

"Yaelah gue juga mau kali bukan Deyan aja." Rengeknya.

"Udah diem lo bawal."

***

Hay hay, sebenarnya aku ngga tau mau dibawa kemana alur cerita ini.

Saat aku nulis tinggal nulis aja sesuka hati ngga memikirkan bagaimana nasib mereka. Apakah nanti dilanjut atau stop ditengah jalan😩

Oke, menurut kalian gimana bagus ngga prolognya?

Bad CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang