Prolog

32 1 0
                                    

Setiap manusia suatu saat nanti pasti akan mengalami yang namanya jatuh cinta. Pelan-pelan tapi pasti, cinta itu akan memenuhi hati, ambisi dan logika manusia. Jatuh cinta memang merupakan hal yang paling menyenangkan dalam hidup ini, apalagi jika kita mencintai seseorang dan orang itu pun juga mencintai kita. Tapi bagaimana jika kita mencintai seseorang yang bahkan belum pernah kita temui secara langsung, karena jarak yang kerap kali menghalangi dan memisahkan.

Bagaimana rasa itu bisa tumbuh dan berkembang begitu cepat, sedang kita belum pernah sekalipun saling bertatap muka. Bukankah ada pepatah yang mengatakan “Cinta datang dari mata turun ke hati” tapi bagaimana bisa cintaku datang tanpa mata kami saling beradu. Bukan karena tidak ingin bertemu, hanya saja tugaslah yang sering kali menuntut kami untuk bersabar dalam sebuah penantian, yang entah akan berakhir seperti apa dan bagaimana.

----------
Semua ini berawal ketika aku dan dia saling bertemu di sebuah kolom komentar, di salah satu sosial media yang cukup populer saat ini. Aku tak menyangka bahwa obrolan singkat itu akan berujung pada kenyamanan. Semakin lama kami semakin akrab, chatting, telvon, video call seperti makanan yang harus ada setiap hari.

Pernah kami berencana untuk bertemu, tapi Tuhan berkata ini belum saatnya. Sehingga pertemuan kami harus tertunda karena ia di pindah tugaskan di salah satu pulau paling timur di Indonesia, yakni tepatnya di provinsi Papua.

Aku tahu, semesta kini enggan berkompromi, ia membuat jarak kami semakin terpisah jauh dan hanya doalah yang mampu mendekatkan.  Aku tau, mata ini memang tak pernah saling menatap, tangan ini tak bisa saling menyentuh, langkah ini tak pernah beriringan, tapi aku percaya, doa kami akan senantiasa bersandingan.

----------
Deretan tugas yang sudah menunggu, membuatku tak pernah merasakan beban dari sebuah penantian. Tak pernah membuatku sepi dalam kesendirian, karena menunggu chat atau sekedar balasan singkat pesan-pesan yang telah kukirimkan padanya. Di tengah-tengah lamunanku, sebuah dering handphone meruntuhkan semesta dalam imajinasiku. Bukan karena suaranya yang memecah hening, tapi karena notifnya yang berbeda. Ya benar sekali, notifnya berbeda dengan notif chat dari teman-temanku yang lain. Sehingga dengan mendengarnya saja, aku sudah tahu siapa yang mengirim pesan.

-Artha-
"Assalamualaikum ai."
(20.30)

Artha kerap kali memanggilku dengan panggilan Ai, Ai itu sendiri merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang berarti adik. Bahasa ini berasal dari daerah Buton, tepatnya di desa Sampolawa yang terletak ditenggara pulau Sulawesi. Begitu pun dengan diriku, aku juga  memanggilnya dengan panggilan Aka yang berarti kakak.

-Anda-
"Wa'alaikumsalam Aka."

-Artha-
"Gimana kabarnya?"

-Anda-
"Alhamdulillah baik, Aka sendiri gimana kabarnya?"

-Artha-
"Baik juga ai... Sudah makan?"

-Anda-
"Sudah."

Setiap hari kami selalu mengobrolkan hal-hal yang tak terlalu penting untuk dibicarakan, karena hanya dengan cara seperti itulah kami selalu menjaga komunikasi ini terus berjalan. Kadang sesekali kami berdiskusi tentang sejarah dan keadaan pendidikan yang ada di Indonesia. Mencari solusi dari setiap permasalahan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi topik yang sangat suka aku perbincangkan dengannya.

Selain menambah wawasanku, dia juga mengajarkanku untuk lebih giat dalam hal beribadah dan menjaga akhlak. Percuma jika kita memiliki intelektual yang hebat tapi akhlaknya bejat, hidup ini seperti tidak ada artinya.

"Pesan itu, selalu melekat dalam ingatanku hingga sekarang."

Jika sudah merasa kehilangan topik untuk dibicarakan, kami kerap kali menghilangkannya dengan cara video call. Perbedaan jam yang cukup jauh antara pulau Jawa dengan Papua, membuatku harus selalu siap menemaninya hingga ia terlelap dalam mimpinya. Aku sadar, mungkin bukan hanya itu alasan dia selalu tidur lebih awal dariku. Setiap pagi dia dibebankan dengan tanggung jawab dan tugas yang luar biasa di pundaknya.

Mencintai seorang kesatria negara, memang tidaklah mudah. Kau pasti tau, bahwa kita harus rela berbagi cinta, kasih sayang, dan waktu dengan pertiwi.

----------
Artha Afsheena Dzikam, terlahir sebagai seorang kesatria negara yang sangat mencintai tanah airnya. Ia sudah berkecimpung dalam dunia militer selama kurang lebih lima tahun. Dedikasinya kepada negara yang sangat ia cintai, mengantarkannya pada penghargaan sebagai prajurit terbaik di Batalyon.

Aku, Alana Auristella merupakan Mahasiswa semester akhir, Fakultas keguruan, di salah satu universitas yang terletak di Jawa Timur, tepatnya di kabupaten Jember. Biasa di panggil Alana, seorang gadis kecil yang lahir dari keluarga sederhana. Jauh dari hiruk-biruk dunia luar, tapi tak pernah tertinggal informasi yang dapat membuat semestanya menjadi lebih berwarna. Jika cita-cita Artha adalah menjaga perdamaian di Negara yang sangat ia cintai, maka cita-citaku adalah mencerdaskan setiap warga Negara yang sangat aku sayangi.

Bisakah, aku dan dia yang hanya manusia biasa menggapai cita-cita yang luar biasa. Mampukah perasaan yang hanya sebatas untaian kata, membawa kebaikan di alam semesta. Sanggupkah aku dan dia berkomitmen untuk semua itu.
"Tolong doakan!"

----------

Senin, 27 Agustus 2018 (14.00 WIB)

Mohon maaf  jika ada penulisan tanda baca yang kurang sesuai, atau cerita nya yang terlalu membosankan, karena saya masih baru belajar menulis. Jadi, kritik dan saran sangat di perlukan untuk kemajuan penulis.

Terima kasih sudah membaca, semoga suka.

Jangan lupa vomment ya 😊

Update setiap Senin dan kamis 🌻

Kilonova dalam SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang