Scattered Part 1

261 27 0
                                    


Aku terbangun di sebuah ruangan berwarna putih yang tidak asing lagi bagiku. Kamar ku yang berwarna putih, baru di cat kembali beberapa pekan lalu. Aku terbangun karena alarm yang terus berteriak memberitahu saatnya untuk bangun menyongsong hari. Ruangan kamarku selalu gelap, meskipun banyak aksen putih disekitarnya. Sinar matahari jarang sekali masuk kedalam kamar, lebih tepatnya aku tidak membiarkan sinar matahari masuk ke ruang pribadiku, jendela besar itu selalu tertutup tirai hitam yang cukup tebal untuk menghalangi sinar matahari yang terang, aku benci sinar yang menyilaukan mataku, terlalu mengganggu. Aku hidup sendiri di apartemen sederhana milikku, baru kubeli tahun lalu dari hasil jerih payahku.

Aku beranjak dari kasur besar kesayangan, menuju dapur dan menuangkan kopi pada gelasku. Kopi di pagi hari memang sedikit menenangkan pikiran yang kacau, tidak terlalu pagi sebenarnya karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku menyesap sedikit kopiku dan meninggalkannya di dapur begitu saja. Menonton televisi sepertinya menyenangkan, pikirku. Namun baru beberapa menit aku menonton, Acara TV tidak begitu menyenangkan seperti yang kukira, hingga akhirnya akupun tertidur karena bosan dengan ocehan para aktris telenovela.


Aku terbangun dengan keringat dingin yang membasahi seluruh badanku. Suara itu, suara-suara yang mengangguku akhir-akhir ini datang lagi. Suara sialan yang membuat pikiranku berantakan. Dengan cepat kuraih ponselku, mengetik beberapa digit nomor yang aku ingat dengan susah payah dan mengubungi nomor tersebut.

"Dia tidak akan mengankatnya"

"Kau itu mengganggu"

"Dia mungkin sedang tidak ingin diganggu"

"Dasar penggangu."

"Tidak taekwoon jangan dengarkan."

"Hahaha"

"Pengganggu"

Kepalaku sakit, suara-suara itu tetap saja mengoceh tanpa henti membuat kepalaku ingin meledak, suara itu terlalu berisik dan menghantui pikiranku. Mengkomentari segala sesuatu yang ingin kulakukan, membisikkan sesuatu yang mengerikan yang mungkin saja tidak akan terjadi ataupun hanya ilusi yang mempermainkan diriku. Namun begitulah, sulit untuk menghentikannya.

"Halo?" suara dari sebrang sana terdengar, namun yang kulakukan hanya bungkam.

"Kau disana? Hyung?" suara itu terdengar khawatir, ia segera membanting ponselnya ke sofa dengan sedikit kasar tanpa mematikan panggilan terlebih dahulu. Seseorang disebrang sana masih berbicara dengan nada yang khawatir.

"Coba dengarkan. Dia tidak khawatir"

"Dia terganggu"

"Kau mengganggunya"

"Hyung! Kau mendengarku?!" suara dari telfon itu berteriak padaku.

"Lihat? Dia marah."

"Matikan telfonnya"

"matikan"

"Matikan"

"Jangan, biarkan tetap terhubung sampai dia datang kerumahmu."

"MATIKAN!"

BRAK. Aku meninju meja kaca hingga terbelah menjadi beberapa sudut tajam yang menggores lenganku hingga berdarah. Kulakukan agar suara itu berhenti menggangguku. Kepalaku benar-benar sakit, sangat menyiksa hingga rasanya akan pecah. Aku merebahkan tubuhku di sofa, rasanya sangat lelah dan sakit. Bau anyir dari tanganku masih tercium, bisa kurasakan darah masih menetes dari tanganku, kaca tajam itu mungkin merobek tanganku, aku tidak perduli. Aku ingin mereka berhenti menggangguku! Berhenti menganggu hidupku! Orang orang menyeramkan itu kini berdiri di depan sofa yang kutempati, menatapku dengan seringaian yang meremehkan. Lagipula dari mana mereka masuk? Aku mengunci pintunya, sudah kupastikan pintu itu sudah dikunci. Tidak ada yang tau password rumahku!

Aku tidak tahu apa yang aku ucapkan dan apa yang aku lakukan setelahnya, penglihatanku menjadi tidak jelas, hanya siluet seorang lelaki yang berlari kearahku dan sedikit menamparku, hingga aku berhenti dan mataku tidak bisa fokus dan semuanya menjadi gelap.

............

"Maaf hyung, aku sedikit menamparnya untuk menghentikannya tadi." Suara seorang laki-laki sayup sayup terdengar, itu suara Hongbin.

"Tidak apa, aku berterimakasih kau sudah datang tepat waktu." Ujar salah satu suara lainnya. Suara lembut itu, suara yang menenangkanku. Dia disini?

"Hakyeon hyung, apa Taekwoon hyung tidak meminum obatnya secara rutin akhir-akhir ini?" Aku mendengarkan pembicaraan mereka tanpa membuka mata ataupun membuka suaraku.

"Sepertinya dia tidak meminumnya, dua hari ini aku mempunyai acara di luar dan tidak bersamanya."

"Taekwoon hyung memecahkan meja dan melukai tangannya."

"Apa berbahaya?"

"Tidak hyung, jika dia secara rutin melakukan terapi dan mengkonsumsi obatnya dengan baik."

"Hongbin, lakukan apapun untuknya."

"Aku pasti akan melakukan apapun untuknya, hyung. Dukunglah selalu dia, dia membutuhkanmu, hanya dia yang kau punya saat ini."

"Aku akan selalu mendukungnya."

Pembicaraan itu terhenti dan kudengar pintu ruanganku tertutup, Hongbin sudah keluar dari ruanganku. Kurasakan jemari hangat itu mengusap pipiku.

"Aku tahu kau sudah sadar, Taekwoon." Ujarnya sambil memelukku yang terbaring dikasur. Aku terdiam, tidak mengatakan apapun, tidak merasakan apapun, namun benar apa yang dikatakan orang. Hati dan mata tidak dapat berbohong. Buliran itu mengalir begitu saja dari mataku. Aku tidak terisak, hanya menatap langit-langit kamar yang kutempati tanpa bersuara.

"Taekwoon.." ujarnya sembari menghapus air mata yang tanpa izinku megalir begitu saja. "Kumohon berjuanglah, setidaknya untukku dan untuk dirimu sendiri." Lanjutnya sembari mengusap lembut wajahku.

"Hakyeon.." ucapku lemas. Aku tidak terlalu mempunyai tenaga untuk bergerak, mungkin karena obat-obat yang diberikan Hongbin padaku.

Hongbin adalah seorang Dokter Jiwa. Dia temanku semenjak di bangku sekolah menengah. Dia tampan, pintar dan mempunyai segalanya. Dia seorang lelaki yang sempurna, tidak sepertiku yang tidak berarti apapun. Aku memang tidak pernah berarti apapun, untuk teman, pacar ataupun keluargaku, meskipun mereka menyangkal apa yang aku pikirkan, tapi tetap saja aku tahu, aku selalu tahu.

=======


Hai, guys. 
Ini cerita pertama yang saya publish disini. 

Saya tahu masih banyak sekali kekurangannya. 
Jika berkenan, tolong berikan krisar. 

sekiranya cerita ini menarik untuk pembaca, mungkin akan saya lanjutkan. 

Scattered | LeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang