Aku menatap kosong langit-langit kamar, terasa sangat sepi dan menyakitkan. Orangtuaku berkunjung pagi ini, sebuah kunjungan yang tidak pernah kuharapkan, karena aku tahu hal apa yang akan mereka ucapkan.
Mataku memanas seketika, buliran-buliran air mata itu akhirnya keluar juga. Aku tidak bisa merasakan apapun, tidak bisa berbicara apapun, tidak pula bergerak untuk hanya sekedar menghapus aliran air mata di pipiku, hanya saja kurasakan ngilu di dadaku. Tembok pertahananku runtuh, seolah badai baru saja merobohkan segalanya. Aku anak satu-satunya yang tidak berguna, tidak membuat siapapun bahagia namn membuat mereka menderita. Kalimat itu terucap dari mereka, mereka yang tidak menginginkanku, seolah aku adalah sebuah aib bagi keluarga.
Ngilu itu makin menjadi dan buliran itu semakin mengalir deras. Apa aku tidak seberharga itu? Apa mereka tidak menyayangiku lagi? Aku rindu saat mereka tersenyum padaku, memelukku dengan hangat, menyemangatiku saat aku terjatuh. Tapi itu dulu, sebelum aku menutup diriku dari semua orang. Manusia itu menyeramkan, bahkan kata-kata mereka tajam, setajam pedang yang dapat menusukmu sampai tulang.
Badanku lemas, seolah aku hilang control atas ragaku. Yang kulakukan hanya menatap kesamping, menatap jendela besar yang menampakkan bangunan pencakar langit kota seoul diluar sana. Cukup lama aku melamun, hingga aku tidak sadar jika hakyeon sedang duduk disampingku dan memperhatikanku.
"Ceritakan saja padaku" ujarnya sembari mengusap lembut rambutku.
"........." tidak kugubris sama sekali, aku tidak ingin berbicara lagi.
"Taekwoon.. kumohon.." ujarnya yang kini mengelus pipiku, menghapus jejak air mata yang masih basah. Ia tersenyum dan berbaring disebelahku, mensejajarkan wajahnya dan menatap kedalam manik mataku.
"Dari pada kau terus melamun, bagaimana jika kita tidur? Kau butuh istirahat, Taekwoon. Kemarilah." Ia lalu menarikku perlahan kedalam dekapannya, kusembunyikan wajahku di ceruk lehernya, mendekapnya seerat yang kubisa.
.
.
.
.
.
Hakyeon menatap wajah yang sedang tertidur disebelahnya, dia usapnya surai hitam itu dengan sayang, membuat orang yang terlelap merasa nyaman dan semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya. Ia tersenyum dan mendekap tubuh ringkih itu. Taekwoonnya yang tangguh, Taekwoonnya yang sering menatapnya dengan matanya yang teduh kini terbaring di ranjang dan terkadang tali-tali itu melingkari tangan dan kaki orang terkasihnya. Setetes air mata jatuh, ia langsung menghapusnya dengan kasar. Taekwoon memang akhir-akhir ini sedikit tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia sendiri pun terkadang tidak bisa meredam emosi kekasihnya itu.
Ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu. Saat dirinya dan Hongbin sedang membicarakan kondisi pasiennya dan sekaligus kekasihnya itu.
"Skizopherenia Paranoid, kau tahu betul cara menanganinya, Hongbin. Lakukan sesuatu untuk bisa membuat Taekwoon sedikit waras." Ujar pria berkulit tan itu sarkastik.
"Hyung, ka sadar dengan perkataanmu itu?"
"Aku hanya tidak ingin melihatnya seperti itu. Obat saja tidak cukup."
"Ya, memang tidak akan berguna tanpa dukungan orang tua dan orang yang dicintainya, Hyung."
"Tapi Tuan dan Nyonya Jung tidak ingin bertemu dengan Taekwoon jika keadaannya tidak baik, mungkin mereka akan merahasiakan taekwoon dari publik dan menutupi keadaannya, kau tahu sendiri bagaimana posisi Keluarga Jung."
"Aku mengerti, tapi dia masih memilikimu, aku dan teman-teman yang lain yang mengenalnya. Kami akan membantunya. Wonshik dan Jaehwan akan berpindah tugas kemari dan membantu kita."
Pikirannya buyar, atensi nya teralihkan saat ia merasakan tangan kekasihnya mengelus pipinya. Ia tersenyum kemudian mengelus surai lembut itu kembali. Dadanya terasa sakit saat melihat mata orang yang ia cintai begitu suram, kosong seakan tanpa kehidupan di dalamnya.
.
.
.
.
.
.
Aku membuka mataku saat kudengar detak jantung tak beraturan itu ditelingaku. Dapat kudengar dengan jelas karena aku yang sekarang sedang berada dalam dekapannya. Aku mendongak dan mendapatkan dirinya yang sedang melamun entah memikirkan apa. Kutatap sejenak dan mengelus pipinya perlahan. Ia terkejut, tersadar dari lamunannya.
"Taekwoon kau sudah bangun." Suara indahnya menyapa genderang telingaku. Aku mengangguk tanpa berhenti mengelus pipinya itu. Dia menatapku, mengelus lembut rambutku. "Ada apa?" lanjutnya kemudian.
"Aku ingin pulang." Ujarku. Aku sungguh ingin pulang, ketempat baru yang tidak diketahui orang tuaku. Kulihat hakyeon tersenyum dan mengelus pipiku.
"Ada sesuatu yang kau hindari, hm?" Sial. Hakyeon selalu tahu apa yang ada dipikiranku. Ia tahu kebiasaanku. Ia orang pertama yang tahu segalanya tentangku.
"Aku tidak nyaman disini." Jawabku. Aku memang selalu merasa tidak aman, dimanapun itu.
Ia mengangguk dan mengecup keningku. Tersenyum menandakan ia mengerti apa yang kurasakan.
"Akan kusampaikan pada Hongbin setelah itu nanti kita putuskan, hm?" ujarnya. Aku hanya mengangguk, tanda setuju atas apa yang dikatakannya. Namun aku tahu, mereka tidak akan setuju, mereka tidak akan melepaskanku.
Terkadang aku merasa Hakyeon dan Hongbin itu bersekongol untuk mengurungk disini, tidak berniat membiarkanku bebas di luar. Terkadang aku mempertanyakan apakah Hakyeon tulus mencintaiku atau hanya karena rasa kasihan. Aku tau aku tidak seberharga itu untu dicintai, tapi bolehkah aku yang tak berharga ini mengharap cinta dari orang yang kusayangi?. Aku tersenyum, saat sedetik kemudian suara-suara sialan itu muncul lagi. Aku berharap aku bisa menahan mereka untuk kali ini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scattered | Leon
FanfictionJung Taekwoon yang menghilang dari jangkauan semua orang terkecuali orang yang ia butuhkan. Baginya, Orang-orang lebih menyeramkan dari pada hantu.