"Aku ingin pulang." Ujarku. Aku sungguh ingin pulang, ketempat baru yang tidak diketahui orang tuaku. Kulihat hakyeon tersenyum dan mengelus pipiku.
"Ada sesuatu yang kau hindari, hm?" Sial. Hakyeon selalu tahu apa yang ada dipikiranku. Ia tahu kebiasaanku. Ia orang pertama yang tahu segalanya tentangku.
"Aku tidak nyaman disini." Jawabku. Aku memang selalu merasa tidak aman, dimanapun itu.
Ia mengangguk dan mengecup keningku. Tersenyum menandakan ia mengerti apa yang kurasakan.
"Akan kusampaikan pada Hongbin setelah itu nanti kita putuskan, hm?" ujarnya. Aku hanya mengangguk, tanda setuju atas apa yang dikatakannya. Namun aku tahu, mereka tidak akan setuju, mereka tidak akan melepaskanku.
Terkadang aku merasa Hakyeon dan Hongbin itu bersekongol untuk mengurungk disini, tidak berniat membiarkanku bebas di luar. Terkadang aku mempertanyakan apakah Hakyeon tulus mencintaiku atau hanya karena rasa kasihan. Aku tau aku tidak seberharga itu untu dicintai, tapi bolehkah aku yang tak berharga ini mengharap cinta dari orang yang kusayangi?. Aku tersenyum, saat sedetik kemudian suara-suara sialan itu muncul lagi. Aku berharap aku bisa menahan mereka untuk kali ini saja.
Hakyeon pergi keluar untu mengambil obatku. Aku menunggu sembari duduk di sofa dekat jendela memandangi langit malam. Suara suara itu semakin menjadi, membuatku merasa tidak nyaman sama sekali.
"Berpikirlah sedikit, kau satu-satunya orang yang bisa kami banggakan."
"Taekwoon, apa yang sudah kau lakukan akhir-akhir ini? Kau tidak melakukan apapun."
"Dasar tidak berguna."
"kau memang tidak berguna"
"Ya memang tidak berguna."
"Oh lihatlah orang yang tidak berguna ini."
"Tidak, kau berguna. Jangan dengarkan."
"Tidakkah kau sadar jika kau tidak berguna?"
"Jangan dengarkan, itu tidak benar."
"Itu fakta, kau tidak berguna."
Kepalaku terasa sangat sakit, telingaku berdengung, suara-suara itu terus saja saling bersahutan dikepalaku. Yang kulakukan hanya diam, memandang langit malam yang gelap dari balik jendela besar di kamar rawatku. Aku tidak melawan, juga tidak mengelak apa yang mereka katakan. Ya memang aku setidak berguna itu, hingga orang tuaku sendiri menganggapku seperti itu dan memilih membuat alasan di depan khalayak umum jika anak yang ia banggakan sedang berada di negara lain untuk melanjutkan studi nya kembali. Sebuah kebohongan besar yang tidak banyak yang tau kenyataannya.
Aku menyayangi mereka, bagaimanapun mereka orang tuaku, ibu yang telah melahirkanku kedunia ini. Ayah yang banting tulang berusaha keras menghidupi keluarga. Orang tua yang mendidikku agar menjadi manusia yang sukses. Tapi apa mereka lupa, jika aku hanyalah seorang manusia? Aku juga memiliki keterbatasan dan kelemahan. Aku bukanlah seseorang yang sempurna yang dapat melakukan apapun.Aku bukanlah sebuah robot yang di program untuk melakukan hal secara sempurna. Aku hanya seorang anak yang rindu kasih sayang yang wajar bagi seorang anak. Aku hanya ingin mereka mengakuiku, menganggapku anak yang mereka banggakan walaupun aku belum bisa mencapai apa yang mereka inginkan.
Terpenjara dalan penjara keabadian yang menjemukan bukanlah pilihanku. Aku ingin bebas, bebas tanpa peraturan dan dikte-dikte yang memuakkan. Aku ingin secepatnya pergi dari sini ketempat baru bersama hakyeon. Kuharap hakyeon mengerti apa yang kumau.
Waktu bergulir, sepertinya aku terlalu lama melamun dan tersadar saat lengan hakyeon melingkar di leherku, ia memelukku, menyandarkan kepalaku padanya yang sedang berdiri. Tampaknya ia mengamatiku sedari tadi.
"Jangan dengarkan taekwoon, jangan dengarkan.." ia terus membisikkan nya di telingaku, mengecup kepalaku beberapa kali. Aku hanya tersenyum dan mengangguk tanpa melakukan apapun namun dia memelukku dengan erat. Hangat, rasanya nyaman saat ia berada di dekatku seperti ini.
'Hakyeon, aku lelah.' Batinku. Apa kau mendengarnya? Apa perasaanku ini sampai padamu?
.
.
.
.
Langit cerah pagi ini, aku sedang bersiap memakai pakaian terbaikku, Hakyeon akan mengajaku pergi ke toko buku dan perpustakaan. Semalam aku memintanya, aku ingin pergi ke tempat dimana aku bisa mendapatkan sebuah buku. Aku ingin membaca, sudah lama aku tidak membaca sesuatu yang kusuka.
Hakyeon mengijinkanku dan ia akan mengantarku. Kami pergi berdua dengan mobil hakyeon. Aku hanya diam memperhatikan jalanan dari balik kaca mobil. Hakyeon sesekali menoleh kearahku dan mengajakku bicara. Namun jalanan yang terhampar di depan lebih menarik perhatianku. Aku rindu berada di luar ruangan seperti ini, sinar matahari yang hangat, jalanan yang sibuk dengan kendaraan, orangorang yang tidak ku kenal yang sibuk dengan kesehariannya, taman kota, bangunan tinggi pencakar langit. Namun dunia luar sekarang menakutkan bagiku, tatapan mata orang-orang yang terkadang serasa mengintimidasi, saling berbisik, dan hal mencurigakan lain yang mereka lakukan. Meskipun hakyeon berkata jika mereka tidak sedang memperhatikan ataupun membicarakanku, tetap saja aku merasa rishi berada di luar.
Hakyeon memarkirkan mobilnya di basement perpustakaan kota. Kami keluar dan berjalan bersama menuju gedung. Sedikit membenarkan topi dan masker, membuat wajahku tertutup olehnya. Kami sampai di lantai dua, hamparan buku-buku memenuhi setiap penjuru, tertata rapi dalam rak-rak tinggi menjulang. Memilih beberapa buku yang sekiranya menarik untuk dibaca, aku mencari tempat duduk di pojok, dengan banyak bantal di atas karpet yang hangat. Aku mendudukkan diriku disana, membaca buku yang kuambil sembari menunggu hakyeon yang sedang mencari buku yang ia ingin baca.
Ah, sudah lama sekali aku tidak merasakan saat-saat seperti ini, bersantai dengan banya buku disekeliling, dengan ditemani kopi mungkin akan sangat menyenangkan, namun aku tidak diperbolehan untuk mengkonsumsi minuman cafein kesukaanku itu. Aku menguap beberapa kali saat membaca, entah kenapa tempat ini sangat nyaman hingga membuatku mengantuk. Kemana Hakyeon? Ia lama sekali. Aku meluruskan kaki, bersandar pada tumpukan bantal empuk dan menyilangkan tangan di dada, aku ingin tidur sebentar, mungkin beberapa menit saja.
.
.
.
.
Hakyeon kembali dengan beberapa buku psikologi yang ia temukan. Ia terdiam sebentar saat melihat orang yang disayanginya itu terdidur dengan lelap di pojok ruangan. Ia tersenyum lantas berjalan mendekat, mendudukan dirinya di sebelah pemuda itu, tersenyum dan mengecup pipinya sebentar.
"Mimpi indah, taekwoon." Ujarnya. Ia kemudian meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Hongbin-ah, sepertinya aku tahu apa yang harus kita lakukan untuknya." Ia berkata dengan mantap, sembari menatap pemuda yang terlelap di sebelahnya.
"Kita lakukan apa yang kita bicarakan kemarin. Siapkan saja semuanya." Lanjutnya. Ia kemudian memutuskan sambungan itu, memasukan ponselnya kedalam saku jaket dan kembali fokus membaca buku-bukunya.
"Semoga apa yang akan kulakukan sesuai dengan keinginanmu." Bisiknya sembari tersenyum.
--------
Sebelumnya maaf saya jarang update.
ada beberapa gangguan akhir-akhir ini.
Terimakasih sudah sabar menunggu dan masih membaca coretan gaje saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scattered | Leon
FanfictionJung Taekwoon yang menghilang dari jangkauan semua orang terkecuali orang yang ia butuhkan. Baginya, Orang-orang lebih menyeramkan dari pada hantu.