Scattered Part 2

172 19 2
                                    

"Taekwoon.." sebuah suara samar-samar terdengar ditelingaku, suara lembut yang sangat kusukai.
"Taekwoon bangunlah, kau harus makan lebih dahulu." Ujarnya kembali sembari membelai sayang pipiku. Aku membuka mataku perlahan, sinar matahari yang terang menyilaukan mataku, kututup mataku dengan tangan dan sedikit demi sedikit menyesuaikan dengan kecerahan ruangan yang kutempati.

"Hakyeon-ah, terlalu terang." Ucapku parau. Pria itu tersenyum sembari sedikit menutup setengah kaca besar itu dengan tirai.

"Sudah kubilang untuk jangan menutup semua jendela rumah setiap hari. Setidaknya, kau harus membiasakan dirimu dengan cahaya di rumah sakit ini. Apa kau sebenci itu dengan cahaya hm?" ujarnya, ia duduk di kursi di depanku, mengecup bibirku singkat.

"Selamat pagi, Taekwoonie." Ucapnya seraya memamerkan senyumnya yang manis.

"Aku tidak ingin makan."

"Tidak, kau harus makan, lihatlah tulangmu sudah terlihat keluar, kau mengerikan, seperti kerangka yang hidup!" ujarnya sembari mengerucutkan bibirnya lucu. Aku tidak mengerti, dia adalah pria yang sudah tumbuh dewasa, tapi tetap saja kelakuannya seperti anak kecil.

Aku menempatkan telapak tanganku di pipinya sembari mengelusnya, ia menatapku dengan kedua matanya. Aku tersenyum, menatapnya sembari terus mengelus pipinya tanpa mengatakan apapun. Pikiranku melayang jauh, mengingat bagaimana dulu aku sangat membenci pria yang sekarang menjadi pacarku ini. Ah tidak, bukan membenci, hanya saja tidak terlalu suka dengan kecerewetannya dan seenaknya ikut campur dalam kehidupanku.

Aku bertemu dengannya saat aku menjadi pasiennya. Lebih tepatnya terpaksa menjadi pasiennya saat Ibu menyuruhku untuk tinggal dengannya sampai kebiasaan burukku berhenti. Kebiasan buruk yang dulu tak pernah kupikir akan separah ini. Aku cenderung diam, tidak berbicara sedikitpun, tidak mengungkapkan apa yang ingin ku ungkapkan, tidak mengatakan apapun walaupun itu keberatan tentang sesuatu sekalipun.

Ketiadaan, itu yang akhir-akhir ini sering kupikirkan. Akhir-akhir ini? Kurasa tidak. Aku memikirkannya setiap hari dalam hidupku. Ketiadaan yang mungkin akan sangat menyenangkan dan damai. Mungkin orang mengira aku gila dan bisu. Tidak, aku tidak gila tidak juga bisu. Aku hanya sedikit bermasalah dengan cara berpikirku dan aku tidak bisu, aku hanya malas untuk berbicara dengan siapapun. Karena hal itulah aku bertemu dengan Hakyeon, klinik psikiater. Ya, orang tuaku membawaku kemari saat mereka mengetahui apa yang kulakukan satu bulan lalu. Aku sering sekali berteriak dan menghancurkan barang-barangku tanpa mereka mengerti kenapa.

Dulu, aku tidak pernah berbicara dengannya, sedikitpun. Sebanyak apapun pertanyaan yang dia tanyakan, tak pernah kujawab. Aku banyak mengacuhkannya, tapi dia tetap saja menempel padaku.

Cha Hakyeon, tertulis pada papan nama kecil yang tertempel di jas lab putihnya. Dia tidak terlalu tua, hanya berbeda beberapa bulan di atasku. Dia adalah anak dari teman ayahku, dia mendalami Ilmu Psikologi di Universitas ternama di luar negeri, dan sudah mempunyai klinik tersendiri dulu namun ia memutuskan untuk bergabung di sebuah rumah sakit besar yang ternama di seoul, tempatku dirawat sekarang.

"Taekwoon, aku tahu kau mendengarku. Apa yang ada di benakmu saat ini? Beritahu aku." Ujarnya, wajahnya terlihat khawatir, mungkin ia takut aku memikirkan hal hal aneh kembali. Tapi tidak, aku hanya sedang memikirkannya.

Aku tersenyum, teringat kembali bagaimana khawatirnya Hakyeon tentang diriku. Hakyeon se-khawatir itu, tapi kurasa dia hanya kasihan karena keadaanku sekarang. Well tidak apa, yang terpenting adalah dia selalu bersamaku.

Ya, dia adalah orang yang selalu membantuku, menemaniku, menenangkanku dan menghabiskan waktunya yang lebih berharga hanya untuk memelukku yang terkadang tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Sama seperti Hongbin, dia adalah Dokter Jiwa yang menanganiku. Namun Hakyeon, mempunyai ikatan yang lebih denganku, lebih dari seorang Dokter dan pasien. Dia orang yang dengan sabar dan telaten yang dapat mengatasi ke egoisanku.

Karena itulah, dia satu-satunya orang yang kupercaya, lebih dari siapapun bahkan orang tuaku sendiri. Secara tidak sadar, dia menjadi hal penting yang dapat menenangkanku.

"Taekwoon? Katakan sesuatu.." Suaranya menyadarkanku dari lamunan. Aku tersenyum dan mengecup bibirnya.

"Apa yang ingin kau dengar, Hakyeon?" tanyaku, ia tersenyum dan mengelus pipiku.

"Apa saja yang ingin kau katakan, akan kudengarkan. Jangan menyimpan apapun dariku, jangan memendamnya sendirian."

"Hakyeon, kau tahu suara-suara menyebalkan itu kembali selalu menggangguku."

"Apa yang mereka katakan ?"

"......"

"Taekwoon"

"Mereka selalu membuatku merasa buruk."

"Hey" Ujarnya sambari mengganti posisinya, kini ia duduk diranjangku sambari menangkup kedua pipiku dengan tangannya. "Apapun yang mereka katakan, jangan pernah dengarkan. Kau harus yakin pada dirimu sendiri jika kau tidak seburuk yang mereka katakan. Hal apapun yang mereka katakan itu tidak benar, Taekwoon. Mereka adalah ketakutanmu sendiri."

"Mereka terlalu mengganggu, kepalaku sakit saat mereka datang."

"Shuush jangan dengarkan mereka, maaf tidak berada denganmu saat kau membutuhkanku, Taekwoon. Katakan padaku, kau tidak melakukan apa yang sudah kukatakan padamu sebelumnya dengan benar kan?"

Aku menatapnya dan menganggukkan kepala, mengakui kesalahan yang kuperbuat. Dia menatapku, mengelus pipiku dan tersenyum.

"Lain kali, jika aku sedang tidak ada didekatmu, kumohon ikuti apa yang aku katakan. Kau mengerti kan? Aku khawatir padamu, Taekwoon. Kau tahu aku se khawatir apa jika sesuatu terjadi padamu." Ujarnya, matanya mulai berkaca-kaca, menatapku dengan wajah kacaunya.

Aku menariknya kedalam dekapanku, meminta maaf dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja, sungguh baik-baik saja. Aku mengelus punggungnya yang bergetar, memeluknya se erat yang kubisa.

"Maafkan aku, sudah membuatmu sangat khawatir, Hakyeon" Ujarku sembari mengecup puncak kepalanya.

Ah, aku membuatnya kembali menangis, sebagai pacarnya seharusnya aku bisa membuatnya tertawa dan bahagia, bukan membuatnya menangis tersedu karena khawatir seperti ini. 

Scattered | LeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang