[2]

610 52 24
                                    

Sophie menopang pipi kirinya dengan kepalan tangannya, siap mendengarkan cerita Leo. Namun yang ditunggu tak kunjung membuka suara. Ia malah mengusap dahinya yang tak berpeluh, membuka kacamata dan membersihkannya dengan ujung kemeja, lalu memasangnya lagi ke depan mata sipitnya. Kemudian menyengir -- atau meringis -- ke arah Sophie.

"Lu mau cerita apa enggak?" ancam Sophie. Tangannya mengambil ujung earphone-nya, siap memasangnya kembali ke telinga jika Leo membuang-buang waktunya.

"Sabar, Sopi," ujar Leo sambil menggaruk kepalanya. "Gue ... gue bakal cerita, kok."

Sophie hanya memutar bola matanya. Ia hafal betul dengan kelakuan sahabat slash mantan yang memang tak piawai berbicara. Seratus delapan puluh derajat dengan dirinya yang kalau nyerocos lama baru berhenti. Leo hanya mampu berbicara panjang lebar dengan orang-orang yang dekat dengannya saja, termasuk Sophie.

Kalau lu mau dapet cewek, mungkin kemampuan ini juga harus dipoles. Diam kelamaan, keburu bosen tuh cewek, batinnya.

"Jadi gini, Sop," tutur Leo dengan frasa pembuka paling klise, "lu tahu, kan, kalau gue barusan investasi ke production house Moon Orchid?"

Sophie mengangguk.

"Nah -- itu -- anu -- maksud gue, kan mereka lagi mau bikin proyek baru serial drama berkualitas yang mendobrak arus mainstream sinetron yang jalan ceritanya itu-itu mulu ..."

"Terus?"

"Gue bilang anak perusahaan Grup Karim yang gue pegang bakal mau bantu danain proyek ini, asal ..."

"Zitara Elyas main di drama itu?"

Leo mengangguk antusias. "Lu emang paling tahu gue, Sop."

Sophie terdiam sambil menggigit bibirnya, kebiasaan yang ia lakukan setiap kali sedang berpikir. "Jadi drama ini sebenarnya adalah kedok supaya lu bisa deketin Zie?"

"Enggak juga, lah, Sop. Sekalian aja ... gue ... ambil kesempatan." Leo meringis.

Sophie mengembuskan napasnya. "Bisa, bisa. Cuma ada dua hal. Pertama, gimana caranya lu bujuk Zie supaya mau main di drama? Selama ini dia kan termasuk pemilih. Kedua, lu belum jawab pertanyaan gue, sejak kapan lu naksir Zie?"

"Ehm ... kalau yang pertama ... gue bisa bujuk manajernya buat meyakinkan Zie untuk main di drama ini. Yang kedua," ucap Leo sambil menelan ludah, "gue emang belum kenal secara pribadi sama Zie, sih." Ia menyengir. "Tapi gue suka penampilannya. Dia cantik banget."

"Ya, tapi saingan lu seratus juta cowok Indonesia yang juga naksir Zie," celetuk Sophie.

"Coret wibu dan otaku, saingan gue berkurang. Coret cowok beristri, makin berkurang. Ditambah posisi gue, makin berkurang."

Sophie menggelengkan kepalanya. "Lu nggak konsisten, Yo. Baru aja lu bilang mau nyari cewek yang tulus. Sekarang malah manfaatin harta dan koneksi lu buat gaet Zie."

Leo mengedikkan bahunya. "Buat kenalan doang, kok. Siapa tahu cocok. Lagian kalau emang gue susah nyari cewek dengan cara normal, sekalian aja manfaatin privilege gue."

Sophie menepuk dahinya. "Personally, I think this is a crazy project, but if you're sure then go ahead with it," ujarnya pasrah.

"Nah, di sini gue butuh bantuan lu, Sop."

"Bantuin gimana?"

"Lu kan pinter dandan. Bisa nggak lu makeover gue biar cocok bersanding sama Zie?"

Tawa Sophie menyembur. "Bisa, bisa. Mau di-makeover ala apa? Ala punk, vampir, atau cosplay jejepangan?"

"Serius, Sop!"

"Yo, gue ini make-up artist. Yang gue bisa, ya, make-up."

Leo menggeleng. "Bukan begitu, Sop. Lu kan tahu apa yang disukain cewek, gimana cara berdandan, misalnya pakaian, potongan rambut, parfum, tingkah laku seperti apa yang menarik buat cewek."

"Semua cewek itu beda, Yo. Nggak bisa disamain. Apa yang disukain satu cewek, belum tentu disukain cewek lain."

"Tapi lu kan udah pernah market research. Pasti punya data statistik rata-rata cewek itu seperti apa. Terutama sosialita kelas atas seperti Zie."

Sophie menghela napas. Leo memang keras kepala. Jika sudah menginginkan sesuatu, ia pasti ngotot sampai keinginannya tercapai.

Kaya gue kurang sibuk aja, desahnya dalam hati.

Namun ia juga tak tahu mengapa ia akhirnya memutuskan untuk membantunya.

Mungkin ia terlalu baik. Mungkin ia susah menolak permintaan sahabatnya. Mungkin ia hanya ingin membantu Leo memperoleh kebahagiaan.

"Okay, I'm in," desahnya. "Tapi ada syaratnya. Lu harus ikut program diet dan bodybuilding ala Sophie. Soalnya cewek macam Zitara mana mau sama cowok gendut kaya elu."

"Deal," sahut Leo, mengulurkan tangannya.

Sophie menatap tangan gemuk itu sejenak, lalu menyambutnya.

"Let's begin tomorrow. Temui aku di Platinum Gym sehabis kantor."

.

.

.

Bersambung.

(29 Agustus 2018)

600++ kata

The Nostalgia ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang