[9]

505 34 46
                                    

"Ko, masa gue dicegat di pintu gitu, sih? Ih, parah banget, deh," adu Leo.

"Emang lu nggak dapet wristband VIP?" tanya David heran.

"Lah, gue malah nggak dapet undangannya."

David menepuk dahinya. "Ntar gue tanya sekretaris gue, deh. Heran, dia nyebarin undangan ke siapa aja. Tapi gue nggak tahu, sih, lu ternyata suka acara beginian."

Leo mengedikkan bahunya. "Just trying to enjoy the high fashion society."

David tertawa. "Seingat gue, lu nggak pernah peduli sama acara seni. Jadi maklumin aja kalau sekretaris gue nggak ngasih undangan ke elu. Anyway, sorry, yah."

"Selow, Ko," sahut Leo santai. Yang penting ia berhasil masuk ke dalam ruangan VIP tersebut. "Gue kan baru nanam modal di production house. Makanya gue pikir datang kemari bisa lumayan mempelajari situasi."

"Hm, bagus, bagus," puji David. "Yang mana?"

"Moon Orchid."

"Eh, seriusan? Kebetulan banget, ponakan gue barusan ditunjuk sebagai produser Moon Orchid. Tadi orangnya baru aja izin ke kamar mandi. Ntar gue kenalin. Ponakan gue yang dari Singapur, anaknya Ci Agnes, namanya Clarence Teo."

Leo manggut-manggut, walaupun ia sama sekali tak tertarik pada keponakan David. Sejak tadi, ia berusaha menjaga matanya agar tak terus melirik Zitara yang sedang mengobrol dengan Cynthia Karmin, aktris ngetop lainnya.

"Ko David," ujar Leo sambil menurunkan suaranya, "kenalin gue juga, dong, sama ..."

David menyengir. "Zitara?"

"Tahu aja, nih, Ko." Leo membawa santai percakapan tersebut, walaupun jantungnya berdebar setengah mati.

David tertawa. "Gue nggak heran, Yo, kan semua cowok pasti ngebet kenalan sama Zie," bisiknya. "Anyway, Zie, Mbak Titin, ini kenalin, Leonardo Karim, salah satu investor di Moon Orchid. Leo, ini Zie dan manajernya, Mbak Titin."

Zitara Elyas, sang seniman dengan sejuta pesona, bangkit dari sofa putih yang didudukinya laksana singgasana Dewi Aphrodite di Olympus. Gaun merah muda dengan motif ala kain songketnya jatuh ke atas lantai karpet bagaikan air terjun yang mengalir. Gadis langsing berkaki jenjang itu mengulurkan tangan mulusnya ke arah Leo, sambil menyunggingkan senyum yang luar biasa rupawan.

Kira-kira seperti itulah deskripsi yang tertulis di benak Leo, walaupun ia sedang tak melukiskannya dengan kata-kata.

Leo menyambut tangan Zitara dengan perlahan, seakan-akan ia sedang menyentuh karya seni yang tak ternilai, lalu membalas senyuman gadis itu. Selama sedetik, ia lupa bahwa ia adalah seorang pemuda tak tampan bertubuh gemuk yang sedang menjalankan program diet dan makeover. Imajinasi Leo membawanya ke atas langit ketujuh.

"Senang bertemu denganmu, Kak Leo," ucap Zitara dengan suara lembutnya.

BLAM!

Leo terhempas ke tanah. Suara Zitara mematahkan sihir. Bukan, bukan karena kecantikan Zitara jadi berkurang setelah mendengar suaranya. Malahan, kesempurnaan gadis ini membanting Leo kepada kenyataan bahwa ia hanyalah satu dari sekian ratus juta penggemar Zitara Elyas. Apa kesempatannya memperistri sang aktris?

Tenang, Leo. Tenang. Lu kan kaya. Lu pasti punya advantage dibandingkan fans-fans Zie lainnya. Lagian, lu kan punya Sopi. Dia pasti bantuin elu.

Tiba-tiba ia malah bertanya-tanya, di mana Sophie sekarang? Namun ia segera menyingkirkan pikiran itu dan kembali fokus pada Zitara.

"Saya ... gue ... saya benar-benar penggemar beratmu, Zitara. Panggil saya Leo saja, nggak usah pake 'Kak' segala," ujar Leo canggung.

Zitara tersenyum lagi. "Kak Leo ... maksudku Leo ... makasih, ya, udah suka karya-karyaku. Iya, kan?"

"Iya, saya suka semua karyamu, Zie. Saya baru dengar lagu barumu yang judulnya Motif. Menurut saya itu keren banget," ujar Leo sambil melirik ke arah David Sastradireja yang menutup mulutnya menahan tawa melihat kekakuan Leo.

"Oya? Aku malah dikritik banyak musisi senior, katanya lagunya terasa mentah abis," ucap Zitara sambil menggelengkan kepalanya. Mentari tertutup awan sejenak bagi Leo.

Leo mengibaskan tangannya. "Enggak, saya suka banget, kok. Biar aja musisi bilang begitu, yang penting penggemar suka."

Zitara hanya membalas dengan senyuman. Sebelum ia membuka mulutnya, lelaki berbaju serba putih yang sempat menabrak Leo kembali ke ruangan tersebut.

"Nah, kebetulan ini," ujar David, "Yo, ini ponakan gue, Clarence, produser baru di Moon Orchid. Clare, ini Leonardo Karim, salah satu investor di Moon Orchid."

Leo dan Clarence saling bertatapan sejenak. Namun mereka sanggup mengesampingkan rasa terkejut mereka dan saling berjabat tangan.

"Leo, anaknya Pak Lukman, kan?" tanya Clarence.

"Iya, betul," ujar Leo. Dalam hati ia menggerutu, lelaki ini mengganggu acaranya berbincang-bincang dengan Zitara.

"Oh, I've heard a bit about you, lah. I hope kita bisa kerja sama yang baik di Moon Orchid, ya? By the way, saya punya ide about our next project di Moon Orchid. Gimana kalau kita talk about it during lunch? Sounds good?" cerocos Clarence dengan logat Singlish-nya yang kental.

"Bisa," sahut Leo, sambil melirik ke arah Zitara, "asal Zitara juga ikut dengan kita."

"Hah?" Zitara membuka mulutnya.

"Saya mau mengundangmu main dalam proyek terbaru kami di Moon Orchid, Zitara," ujar Leo secara mendadak.

.

.

.

Bersambung.

(6 November 2018)

700++ kata

The Nostalgia ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang