Bunyi alarm membangunkannya, tetapi ia enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Ingin rasanya kembali tidur, tetapi cahaya matahari yang menembus jendela kamar memaksanya untuk tetap terjaga.
Kemudian terdengar suara dibalik pintu kamarnya diiringi dengan suara teriakan
"Sudah cukup mimpinya, sekarang bangun!"
"Kau akan terlambat, Ra"Clara masih mencoba mengumpulkan kesadarannya, hingga di detik selanjutnya ia menyadari bahwa ini adalah hari pertama ia masuk di sekolah barunya. Tentunya ia tidak ingin memberikan kesan buruk dengan datang terlambat.
Ia bergegas mandi dan bersiap-siap, setelah itu ia menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa untuk menuju ke meja makan, disana sudah ada Steven yang duduk tenang sambil menyantap makanannya. Clara langsung menyambar susu dan roti yang sudah tersedia, melahapnya dengan cepat membuat Steven menggeleng melihat kelakuan adiknya.
"Pelan-pelan makannya, Ra"
Clara tak menjawab, ia masih terus memakan makanannya seperti seorang anak yang baru menemukan makanan setelah cukup lama kelaparan."Kak Stev, buruan antarin Rara. Ntar Rara telatt" Clara menarik lengan baju kakaknya, berharap Steven segera mengantarnya.
"Iya iya. Makanya Ra, biasain kalau bangun itu tepat waktu, jangan molor mulu"
***
Steven menyalakan mesin mobil dan segera mengantar Clara ke sekolahnya.
"Gimana kamar baru kamu? Suka?" Tanya Steven memecah keheningan.
"Suka, Rara bisa ngelihat bintang langsung dari balkon kamar. Terus kalau hujan dan ngga ada bintang Rara mash bisa menatap langit-langit kamar yang dihiasi dengan bintang buatan. Makasih ya kak" katanya dengan tersenyun gembira dan Steven ikut tersenyum.
Tidak terasa mereka sudah tiba disebuah SMA negeri di Jakarta dan Clara segera masuk, ia nyaris terlambat.
Clara dan Steven baru saja pindah ke Jakarta, sebelumnya mereka tinggal di Bandung bersama dengan kerabat dekatnya, kalian pasti bertanya-tanya dimana kedua orang tua mereka?
Kecelakaan pesawat dua tahun yang lalu telah merengut nyawa kedua orang tuanya. Clara begitu sulit untuk menerima kenyataan itu, hingga membuatnya hidup dalam kepedihan dan Steven selalu mencoba untuk meyakinkan Clara bahwa masih ada Steven dan semuanya akan baik-baik saja.
***
Clara melangkah menyelusuri koridor sekolah diiringi dengan tatapan penuh tanya dari siswa-siswi di sekolah itu. Ia merasa sedikit canggung dan ia bersyukur karena telah berada di depan ruang guru sekarang. Setelah itu Clara diajak pak Bimo untuk langsung memasuki kelas.
Kelas yang sangat ramai, seketika menjadi hening saat pak Bimo dan Clara memasuki kelas. Seluruh tatapan tertuju kepada Clara. Pak Bimo mempersilahkan Clara untuk memperkenalkan diri.
"Nama saya Clara Queenata. Saya pindahan dari Bandung" Clara sama sekali tidak tersenyum membuat para murid berpikir apakah ia tidak pernah diajarkan untuk tersenyum saat berhadapan dengan orang-orang?
"Baiklah. Silahkan duduk Clara" kata pak Bimo
Ia melangkah dengan ragu, semua orang yang berada dikelas ini seperti tidak menyukainya, belum lagi dengan seorang lelaki yang terus menatapnya dengan tatapan yang begitu mengerikan. Membuatnya berharap bumi menelannya detik itu juga.
Hanya ada satu tempat duduk kosong yang terletak dibaris ketiga dari depan, tepat disebelah lelaki itu. Ia tak punya pilihan selain duduk ditempat itu.
"Siapa yang nyuruh lo duduk disamping gue" suara lelaki itu mengagetkannya.
Clara menoleh dengan kesal, "pak Bimo. Lo ga dengar tadi gue disuruh duduk?"
"Lo bisa duduk ditempat lain"
"Menurut lo ada tempat yang kosong selain disini?" Pertanyaan Clara mampu membuat lelaki itu terdiam.
Lelaki itu membenarkan posisi kaca matanya dan kembali membaca bukunya.
"Davin!" Seorang lelaki yang kelihatannya bukan murid dari kelas ini menghampiri mereka.
Jadi nama cowok gila ini Davin, Clara membatin.
"Lo dipanggil ke ruang guru, udah kaya buronan aja lu tiap hari dicariin mulu"
Clara menyimpulkan bahwa orang yang berada disampingnya ini adalah anak brandalan yang selalu mencari masalah hingga berurusan dengan guru, tetapi tampangnya kurang mendukung hal tersebut.
"Btw, siapa tuh samping lo? Gue yang baru lihat, atau emang dia yang baru aja dikirim Tuhan untuk gue disaat gue baru aja minta dipertemukan dengan jodoh gue" kata lelaki itu sambil melirik Clara dan mengulurkan tangannya,
"Kenalin gue Bintang. Lo?"Clara membalas uluran tangan lelaki bernama Bintang itu dan tersenyum, "Clara, dipanggil Rara"
"Selamat, nama lo udah terdaftar dihati gue" kata Bintang membuat Clara tertawa mendengarnya.
"Bacot lo Bin. Minggir gue mau lewat" setelah itu Davin beranjak dari kursinya menuju pintu diikuti dengan Bintang yang melemparkan senyuman pada Clara terlebih dahulu.
Bintang adalah satu-satunta orang yang mampu membuat Clara tertawa saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sterne
Romance"Jika manusia di bumi ini bisa memilih, percayalah tidak akan ada yang memilih kehancuran. Tetapi nyatanya kehancuran selalu menghampiri siapa saja"