#Diarasa-4

25 1 2
                                    

"Assa,"

"Iya?"

"Bintangnya bagus malam ini,"

"Bukannya malam-malam kemarin juga bagus, ya?"

"Tapi tidak se-bersinar malam ini,"

"Oh ya? Buktinya?"

"Bunda yang berbicara,"

"Kau bertemu Bunda? Dimana?"

"Di semesta yang berbeda."

"Kapan?"

"Saat tidur siang tadi."

"Apa kata Bunda?"

"Katanya, aku harus berjuang untuk diriku sendiri. Aku harus kuat berada di Bumi, karena suatu saat nanti beliau akan menjemputku,"

"Bunda tidak membicarakanku?"

"Beliau membicarakanmu, katanya kau ber tambah besar"

"Issh, itu artinya aku tambah gendut! Menyebalkan!"

"Hahaha, kau yang menyimpulkan sendiri, Sa. Artinya, kau bertambah dewasa,"

"Mengapa Bunda berbicara begitu?"

"Tak tahu, kau saja yang bertanya langsung pada Bunda,"

"Tapi kan Bunda jauh, Jara. Kau saja yang berbicara,"

"Tunggu saja, Sa. Nanti akan kutanyakan. Saat aku berada di semesta yang sama dengan Bunda."

"Dan kembali lagi kan?"

"Tidak. Aku akan abadi, Sa."

"Kau akan meninggalkanku?"
"Jika Tuhan berkehendak, aku dan kau bisa apa?"

"Sudahlah, jangan membicarakan itu, aku belum siap."

"Mengapa, Sa?"

"Apa?"

"Mengapa belum siap?"

"Tidak ada yang pernah siap dengan kematian, Jara,"

"Ada, itu aku."

"Kau? Mengapa telah siap? Dosamu sudah terampuni semua?"

"Itu bukan masalah terampuni atau tidak, Sa. Tetapi masalah menerima atau menolak bahkan menyangkal."

"Maksudmu?"

"Sejauh apapun kita merangkak, berjalan bahkan berlari kita akan menemuinya, Sa. Tak peduli seberapa banyak kebaikan ataupun keburukan yang kita perbuat, hari itu pasti tiba."

"Aku tidak ingin membayangkannya, Jara. Apalagi benar-benar mengalaminya, ak-aku tidak sanggup."

"Assa, bukankah sudah kukatakan padamu, bahwa kita tak pernah benar-benar memiliki apapun? Termasuk nyawa kita sendiri, Sa. Untuk itu, aku justru bahagia."

"Mengapa bahagia, Jara? Bukankah saat engkau tak ada di Bumi, itu artinya kau akan meninggalkan semuanya. Kau takkan bisa lagi membaca buku kesukaanmu, tak bisa lagi berdiri di balkon setiap malam bersamaku, dan hal-hal menyenangkan lainnya,"

"Sebab itu adalah keharusan, Sa. Hal terdekat dari manusia adalah keabadian. Dan itu mutlak, tak dapat diubah atau dimanipulasi oleh apapun, termasuk orang tersayang atau bahkan hal menyenangkan yang kulakukan selama ada di Bumi."

"Penjelasanmu, membuatku sakit kepala,"

"Jangan dihapalkan, Sa. Tetapi dipahami. Bagiku, hidup ini hanyalah rangkaian kecil dari semesta yang sebenarnya. Tak ada yang benar-benar selamanya disini, Sa. Apapun itu. Kau, aku dan manusia lain hanya berperan untuk waktu yang tak lama. Lalu, secepat kedipan mata, kita akan tiada."

"Tapi, aku takut,"

"Bukankah Tuhan bersamamu, Sa? Bahkan saat dirimu merasa benar-benar sendiri dan kau melupakan-Nya. Dia selalu bersamamu. Dia yang paling setia, Sa. Untuk itu Dia dikatakan tak dapat disamakan dengan makhluk-Nya. Dia Maha Abadi. Manusia tidak. Bahkan disaat semua orang meninggalkanmu, Dia ada disisimu, Sa. Setia mendampingimu. Seburuk atau sebaik apapun dirimu. Itu hal terindah, Assa."

"Berarti, aku harus apa sekarang?"

"Menerima, Sa. Segala sesuatu yang terjadi pada dirimu, hal utama hanyalah menerima. Itu cukup."

"Bahkan dengan kesakitan sekalipun?"

"Bahkan dengan hal yang lebih mengerikan dari kesakitan, kita harus menerima."

"Kau telah siap, bersama dengan Bunda nanti?"

"Tentu,"

"Kalau begitu aku juga siap, kita bersama untuk bertemu Bunda,"

"Tetapi rasanya aku yang lebih dulu bertemu Bunda, Sa."

"Karena?"

"Tak tahu, rasanya Bunda terlalu dekat denganku. Dan aku yakin lebih dulu bertemu Beliau,"

"Kau curang! Aku akan minta pada Tuhan agar aku yang lebih dulu bertemu Bunda,"

"Jangan berbicara seperti itu, Sa. Kau masih punya mimpi yang belum terwujud, kau harus tetap hidup,"

"Jadi, kau tak punya mimpi untuk diwujudkan?"

"Mimpiku telah terwujud, Sa"

"Apa?"

"Menjadi Jara yang sekarang."
"Memang ada apa dengan Jara yang sekarang?"

"Jara yang sekarang lebih dewasa, tak lagi menyalahkan keadaan, tak lagi menangisi sesuatu yang memang harus terjadi, tak lagi membenci Tuhan,"

"Bukankah kau tak pernah seperti itu, Jara?"

"Sebelum kita bertemu, aku seburuk itu, Ta. Sampai pada satu titik aku benar-benar merasa diriku bodoh, tak tahu berterima kasih kepada Penciptaku sendiri."

"Lalu apa yang menyadarkanmu?"

"Nanti kuberitahu,"

"Mengapa bukan sekarang?"

"Kau harus kuantar pulang, Ayo,"

"Baiklah,"


***

senjanala,

30/08/18

Diarasa -Dialog Jara & Assa-Where stories live. Discover now