RETAK #00

2.9K 72 22
                                    

--Prolog--

"Aku memilih bertahan karena, aku yakin dalam hidup selalu memiliki sebuah arti tersendiri, memiliki sebuah harapan walau nantinya akan retak." -Alvina Renatta.

“Cewek manis kaya lo tuh harusnya nurutin apa yang kita mau tanpa banyak membantah,” ujar lelaki dengan baju yang sudah lusuh dengan beberapa bagian yang robek dan terkoyak. Laki-laki itu mendorong tubuh seorang gadis yang tadinya berada dalam kungkungannya, membuat gadis itu tersungkur.

Laki-laki itu berjalan dengan angkuhnya, mencoba mendekati gadis yang barusan ia dorong.

“Aldrich! Lo pegang kedua tangan gadis itu! Kayanya nih anak perlu dikasih pelajaran biar dia gak ngelunjak.” Laki-laki dengan name tag Alvin itu mencengkram erat dagu Alvina dengan tangannya.

“Kayanya lo bakal tampak menarik kalau digilir temen-temen gue. Itu juga bisa lo jadiin pelajaran yang paling berharga juga, kan?” Alvin terkekeh melihat wajah Alvina yang dialiri air mata. Gadis itu menggelengkan kepalanya, mencoba menghalau tangan Alvin yang semakin meremas kasar dagunya.

“Lep ... pasin ... ak ... aku,” ujar Alvina terbata-bata, tak lupa dengan sesenggukan akibat dirinya yang terus menangis.

“Lo minta gue lepasin setelah apa yang lo lakuin ke gue? Jangan harap.” Alvina terus menangis. Kini, beberapa kancing baju seragamnya telah tanggal. Tangisnya semakin kencang saat tangan Alvin mulai meraba bagian tubuhnya. Alvina menutup matanya dengan hati yang tak luput merapalkan doa.

Gadis itu merasa pegangan yang ada di tangannya menghilang bersamaan dengan tangan Alvin yang meraba bagian tubuhnya. Tubuh gadis itu langsung merosot jatuh di atas lantai berdebu. Alvina segera memeluk lututnya dan menenggelamkan kepalanya bersama dengan tangisnya yang tak kunjung berhenti.

“Sial!!” umpat Alvin. Laki-laki itu mengelap darah yang ke luar dari hidung dan bibirnya. Matanya menatap nyalang pada sosok yang tadi menghajarnya.

“Lo cari mati sama gue, hah?” teriak Aldrich yang memegangi rusuknya. Laki-laki itu tampak kesakitan.

Laki-laki dengan topi bewarna hitam polos itu pun mengelak saat Alvin akan menyerangnya. Bertubi-tubi Alvin memukul laki-laki itu namun, tak ada satupun pukulannya yang mengenai laki-laki itu.

Alvin mulai lengah, dan ....
Bugh

Laki-laki bertopi itu menendang wajah Alvin hingga terdengar bunyi bergemeletuk yang mungkin berasal dari tulang tengkorak Alvin yang bergeser. Darah mengucur deras dari hidung Alvin. Laki-laki itu meringis kesakitan untuk beberapa saat.

Laki-laki bertopi itu terjatuh saat ia merasakan sebuah pukulan yang mengenai punggungnya. Mata tajamnya langsung bersibubruk dengan Aldrich yang berdiri menjulang di hadapannya dengan tangan yang memegang sebuah balok kayu.

“Ahh! Ini semua gara-gara lo!” Aldrich mengarahkan balok kayu itu pada tubuh ringkih Alvina.

Laki-laki bertopi itu segera menghalau balok kayu yang akan mengenai tubuh Alvina, menghajar Aldrich dengan membabi-buta hingga suara yang terdengar tak asing mengagetkan mereka berdua.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya Pak Jordi dengan mata yang menelisik ke seluruh penjuru ruangan sebelum matanya terbelalak saat melihat sosok Alvin yang memejamkan mata, dengan darah yang masih mengalir dari lubang hidungnya.

Pak Jordi segera menelpon ambulance dengan ponsel pintarnya. Pria paruh baya dengan beberapa helai rambut yang mulai memutih itu berusaha untuk menghentikan pendarahan yang ada di hidung Alvin, sebelum lelaki itu kehilangan lebih banyak darah.

“Bisakah kalian berdua menjelaskan kejadian ini di kantor polisi?” tanya pria paruh baya yang mengenakan baju kepolisian lengkap. Sosok polisi yang tadinya memberi amanah di saat upacara berlangsung. Polisi itu menatap Aldrich dan laki-laki bertopi itu bergantian.

Laki-laki bertopi hitam itu berjalan mendekati tubuh Alvina yang bergetar. Ia melepaskan hoodie abu-abu yang membungkus tubuh tegapnya dan memakaikannya pada tubuh Alvina dengan hati-hati. Alvina menatap sosok yang ada di hadapannya dengan air mata yang masih mengalir membasahi pipi putihnya.

Laki-laki bertopi itu menangkup wajah Alvina dengan lembut, menghapus air mata itu dengan jarinya. “Gue gak suka lihat cewek nangis,” ujar Jaydan dengan suaranya yang dalam dan mengintimidasi.
Jari laki-laki bertopi itu terlepas dari wajah Alvina seiring kuatnya tarikan di tangannya, membawa tubuhnya menjauhi tubuh Alvina yang membeku dengan mata tak berkedip.

“Jaydan Darryl Pradipta!! Apa yang kamu lakukan pada Alvin? Bagaimana kalau laki-laki itu mati?” tanya Bu Mina, menginterogasi laki-laki bertopi yang ia panggil Jaydan.

“Tinggal dikubur, Bu,” ujar Jaydan tak acuh membuat Bu Mina mendengus dan memilih menghampiri Alvina yang masih terdiam membeku di tempatnya.

Alvina menatap punggung tegap seseorang yang telah menolongnya itu dengan senyuman yang terbit menghiasi wajahnya.

“Jadi nama laki-laki itu Jaydan Darryl Pradipta?” gumam Alvina perlahan sebelum tubuhnya ikut digiring Bu Mina untuk dimintai banyak keterangan di kantor polisi.
.
.
.

🐼🐼🐼

Hallo, guys.
Long time no see
Udah lama juga aku gak nongol di dunia orange 😆😆 Ada yang kangen gak ya? /plak.
Kali ini aku bawain cerita baru, semoga suka ya...
Dah itu aja.
See you, guys.

🐼🐼🐼

With love,

RNgarda ❤

30 Agustus 2018
15.18 WIB

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang