RETAK #06

784 26 20
                                    

RETAK #06
-Terciptanya kenangan baru-

"Nyatanya, kenangan itu telah menjadi rekognisi nyata dalam ingatan mereka, bukan hanya sebuah ilusi yang mungkin masih bisa direkayasa"

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Ruangan itu masih saja sunyi-senyap. Meninggalkan ruas-ruas tajam tak kasat mata yang kini mulai menembus dinding hati mereka secara perlahan. Menciptakan sayatan tipis yang terasa begitu pedih di dalam jiwa. Kenangan itu ... kembali bermunculan tanpa mau memberi jeda dalam renungan, memberikan impresi yang teramat dalam pada ketiganya. Terasa begitu pahit nan manis secara bersamaan.

Teramat ingin mereka melupakan kenangan menyedihkan itu namun, sayangnya kasih sayang yang telah mengakar kuat dalam batin mereka mampu memupuskan keinginan maupun harapan itu hingga menjadi ribuan kepingan.

"Mengapa Kak Ken mengatakan itu? Apa bukti jikalau Ayah menjadikan kita sebagai robotnya?" tanya Mike dengan alis yang bertaut, ada perasaan kesal yang menelisik masuk kala mendengar kakaknya yang secara tak langsung menghina sang ayah. Karena, bagi Mike seburuk-buruknya seorang ayah, ia akan tetap menyayanginya apapun keadaannya.

"Lo masih terlalu kecil untuk mengerti itu, Mike. Lihatlah Jaydan! Dia masih saja terdiam karena, dia mengerti apa yang telah ayah perbuat. Perbuatan yang selama ini hanya beberapa orang saja yang mengetahuinya. Tunggu saja! Sebentar lagi ayah akan memperlihatkan sosok dirinya yang sebenarnya sama lo."

"Ayah bukan orang yang seperti itu!" ujar Mike dengan suara yang agak meninggi. Melupakan sosok yang kini menjadi lawan bicaranya adalah kakaknya, ia terlanjur kesal dan marah akan ucapan kakaknya yang seakan menghina sang ayah.

"Lalu, sekarang gue tanya apa alasan lo ninggalin rumah dengan memilih sekolah asrama, hmm? Jika bukan untuk menghindari Pak Tua itu?"
Terdiam, membisu. Ruangan itu kembali hening untuk beberapa saat. Untaian kata yang akan Mike lontarkan kembali terendam. Bibirnya mendadak kaku, hatinya kembali pilu kala mengingat apa yang menjadi alasannya meninggalkan rumah. Ia tak membenci ayahnya. Sungguh. Ia hanya merasa kesal pada ayahnya.

Saat itu, pikirannya kacau. Ia tak dapat berpikir jernih. Rasa egois lebih unggul dibanding afeksinya. Ia lebih mementingkan dirinya, mementingkan keputusannya yang ternyata mulai ia sesali.

Seharusnya, ia bisa mengendalikan emosi dan menahan segala bentakan yang terasa tumpah ruah dalam mindanya-ingin segera tuk dikeluarkan. Ia tak sempat memikirkan hati sang ayah yang mungkin saja sama pedih dengannya kala melihat ia dengan rasa kemarahan yang dalam, meninggalkan rumah tanpa mengucap sepatah kata.

Keras kepala, egois, tak berperasaan. Itulah dirinya. Ia-Mike- dengan segala keburukannya.

Mike masih terdiam, membiarkan bibirnya terbungkam dengan luka lara yang kembali membara. Semua netra berpusat padanya, seolah menyudutkannya dengan berbagai asumsi yang terasa menyakitkan. Ia ingin kembali, namun tak cakap. Semua sudah terlanjur, tak ada jalan kembali untuknya, lingkaran hitam telah meluluh-lantahkannya hingga habis tak bersisa. Ia terlambat.

Tak banyak yang bisa ia lakukan, hanya mampu menjalani hidupnya dan mulai menata kembali jalan pulangnya, yang mungkin saja berbeda dari jalan awal yang membawanya pergi hingga sejauh ini dan tersesat. Tersesat dalam rasa sesal dan kegelapan yang membutakan.

"Mike?" Jaydan bersuara, memecah keheningan yang terasa menyesakkan.

Tak ada sahutan. Mike masih terbungkam dengan mata yang menatap ke bawah dan tangan yang saling meremas satu sama lain. Jaydan tahu, adiknya jauh dari kata baik-baik saja. Laki-laki itu tentu tahu jika Mike masih saja berlarut dalam kubangan kepedihan yang menyesatkan. Yang entah kapan akhirnya.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang