RETAK #03

955 37 11
                                    

—Siapa dia?—

“Setiap orang pasti memiliki penopang tersendiri di saat seseorang itu berada di titik terlemahnya entah itu berupa kenangan ataupun dukungan yang mampu membuatnya bisa bertahan hingga sejauh ini.” —Alvina Renatta.

Alvina mengerjapkan kedua mata jernihnya kala dirasa sinar matahari mengusik pupil matanya. Gadis itu merasakan pusing yang teramat di kepalanya, badannya pun terasa remuk  akibat tertidur di atas lantai. Sejenak sekelibat bayangan tentang kejadian kemarin malam terlintas begitu saja dalam pikirannya. Hati gadis itu kembali sakit kala ucapan pedas sang mama kembali terngiang di telinganya, ingin rasanya gadis itu kembali menangis.

Alvina akan bangkit dari duduknya namun, na'as tangan gadis itu terkena pecahan kaca vas yang membuat tangannya mengeluarkan darah dan membuat gadis itu sedikit meringis kesakitan. Alvina melihat sekelilingnya, sejauh matanya memandang yang ia temui hanyalah pecahan kaca yang tercecer.

Tak memedulikan tangannya yang mengeluarkan darah, gadis itu mengambil sapu yang letaknya tak begitu jauh dari tempatnya berada dan mulai membersihkan beberapa pecahan kaca, sebelum terdapat korban selain dirinya.

"Aku harus bergegas jika tak ingin terlambat," gumam Alvina. Gadis itu mempercepat gerakannya.

Setelah melihat ruang tamunya kembali bersih, Alvina bergegas mengambil tas dan masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri.
Di dalam kamar mandi, Alvina menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah gadis itu tampak sedikit pucat, matanya sedikit bengkak akibat terlalu banyak menangis.

Alvina menguncrit rambut ikalnya dengan perlahan namun, ringisan kembali ke luar dari bibir tipisnya. Ia kembali teringat tangannya yang terkena pecahan kaca belum sempat ia obati.

Gadis itu mengambil kotak P3K dan mulai mengobati tangannya. Perlahan, Alvina mengambil pecahan kaca yang masuk sedikit dalam menembus kulitnya, sebelum membalut kan perban ke tangannya.

"Alvina kuat. Alvina kuat. Ini gak sakit, kok, Alvina kan anak kuat." Alvina bergumam menyemangati dirinya. Dalam benak gadis itu kembali terbayang wajah sang papa yang tersenyum dengan tangan yang mengepal, menyemangatinya. Bahkan suara papanya bisa gadis itu dengar seolah papanya sedang ada di dekatnya.

'Anak Papa kuat. Alvina harus bisa jadi anak yang kuat! Alvina bisa, pasti bisa. Papa percaya padamu, sayang. Kau pasti bisa melindungi Mama jika seandainya Papa pergi. Apapun yang kamu lakukan, Papa akan selalu bangga sama kamu, Alvina.'

Setetes air mata terjatuh, bibir Alvina bergetar menahan tangis saat ingatannya melayang pada kejadian di mana papanya tiada, demi melindungi dirinya dan mama.

"Alvina kangen Papa," gumam Alvina. Air mata kembali jatuh membasahi wajahnya yang semakin pucat.

Alvina menghapus air mata yang masih mengalir di wajahnya, kepala gadis itu ia gerakkan ke kanan dan ke kiri, berusaha menghapus bayangan sang papa yang mungkin akan membuatnya menangis kembali. Ia sudah berjanji pada papanya untuk tak menangis lagi.

Alvina mulai membasuh tubuhnya secepat mungkin. Tak ada waktu bagi gadis itu untuk bersantai. Ia harus cepat jika tidak ia akan terlambat.

Alvina masuk ke kamar mamanya, ia melihat sang mama yang masih tertidur pulas. Alvina mendekati mamanya, mengambil tangan wanita itu dan mengecupnya. "Alvina berangkat sekolah dulu ya, Ma."

Alvina meninggalkan kamar sang mama, meninggalkan sosok yang kini meringkuk dan mulai meneteskan cairan bening. Gadis itu bergegas menuju penghujung komplek rumahnya untuk menghadang bis yang akan mengantarnya ke sekolah.

—RETAK—

Alvina merasakan ponsel yang ada di dalam sakunya bergetar, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya. Dari seseorang yang tak dikenal, membuat kening gadis itu mengerut.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang