RETAK #02

1.1K 42 12
                                    

--Terulang Kembali--

Tak seharusnya aku terlahir di dunia jika pada akhirnya semua orang hanya mampu membenci dan mencaciku.” Alvina Renatta.

Prank

Alvina merasa tubuhnya terpental sedikit jauh. Mata gadis itu terbelalak melihat Jaydan yang menahan sakit dengan darah dari punggungnya yang merembes ke luar melalui baju putihnya. Alvina segera bangkit, melupakan luka dan darah yang mengucur dari lututnya yang terluka. Mengabaikan rasa perih di lututnya karena dipaksa berlari.

Gadis itu segera berjongkok di hadapan tubuh Jaydan yang terus mengeluarkan darah. Mata laki-laki itu terlihat menahan rasa sakit.

“Jaydan, tetap buka mata kamu. Yang lainnya tolong panggil ambulans, kumohon,” ujar Alvina dengan tangan yang menutupi luka Jaydan, berusaha menghentikan pendarahan yang dialami laki-laki itu di punggung. Alvina merasakan matanya terasa memanas, siap menumpahkan setetes cairan bening.

Pak Tito yang berada tak jauh dari lokasi kejadian segera menghampiri tubuh Jaydan yang berada di pangkuan Alvina, membelah kerumunan dan segera menolong Jaydan ketika sirine ambulans terdengar.

Tubuh Jaydan diangkut dengan brankar memasuki ambulans. Alvina akan ikut mengantar Jaydan ke rumah sakit namun, Pak Tito tak mengijinkannya untuk ikut ke rumah sakit. Guru berusia kepala lima itu pun menginterogasi Alvina dengan banyaknya pertanyaan yang hanya dijawab gadis itu dengan diam.

“Apa yang terjadi, Alf? Mengapa punggung Jaydan bisa terkena kaca?” tanya Pak Tito pada Alvina yang masih membeku. Tatapan gadis itu mengantar kepergian ambulans yang membawa pergi tubuh Jaydan hingga ambulans itu tak terlihat kembali.

RETAK

Di sini lah sekarang Alvina berada. Duduk di ruangan bernuansa putih dengan tubuh Jaydan yang terbaring lemah di atas ranjang, dengan alat bantu pernapasan yang berada di hidung laki-laki itu. Alvina menatap wajah Jaydan yang tampak polos. Setelah, kaca yang menancap di punggung Jaydan dikeluarkan, laki-laki itu tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius yang diberikan dokter selama pencabutan kaca berlangsung.

“Nih, minum. Daritadi bengong mulu. Kenapa, sih?” tanya Arnold dengan memberikan sebotol air mineral ke tangan Alvina.

Alvina meminum air mineral yang diberikan Arnold padanya, menyisakannya setengah. Mata jernih Alvina menatap ke arah Arnold yang memandangnya dengan senyuman manis yang selalu melekat di wajah tampannya.

“Seharusnya yang terbaring di sana itu aku bukan dia,” ujar Alvina setengah berbisik. Arnold semakin melebarkan senyum manisnya, mencoba menenangkan gadis itu.

“Sekali-kali tuh cecurut perlu dikasih pelajaran biar gak cuek-cuek amat jadi anak!” Arnold mengerlingkan matanya, “siapa tahu habis masuk rumah sakit tuh anak tobat nantinya.”

Alvina hanya tersenyum menanggapi sifat Arnold yang menurutnya tak pernah serius. Namun, justru dengan sifat Arnold yang begitu lah rasa cemas yang melanda Alvina berkurang.

“Makasih, ya,” ujar Alvina tulus. Arnold hanya mengangguk dengan tangan yang mengacak rambut Alvina.

“Lo udah makan belum, Vin? Kalau belum, mau makan di kantin bareng gue, gak?”

“Kita beli makanan terus dibawa ke sini aja gimana?”Arnold tampak berpikir sebelum menyetujui perkataan Alvina.

Alvina menatap ke arah Jaydan yang masih memejamkan mata sebelum dirinya mengikuti Arnold yang sudah mendahuluinya. Entah kenapa, Alvina merasa ada perasaan aneh yang melingkupi dirinya selama ia meninggalkan Jaydan sendirian. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan tempat di mana Jaydan dirawat, Alvina melihat seseorang berpakaian hitam tengah menatap ke arahnya atau mungkin … ke arah tempat Jaydan dirawat dengan seringaian yang menghiasi wajahnya.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang