Angin Pembawa Rasa |2|

19 2 0
                                    

Fitri.

Oh, tentu, sudah Indila duga itu pasti Fitri. Dia yang diam-diam menyukai Dafiq, dan juga pernah bertukar pesan dengan lelaki itu. Semua Indila ketahui, dan dia pernah membahas soal itu kepada Dafiq, tapi nampaknya yang dilakukannya hanya meminta maaf. Sudah. Itu saja.

Dari kejauhan, Indila hanya bisa menatap mereka berdua mengobrol, dengan wajah yang kesal. Keduanya tampak sangat fasih dalam berbicara dan bercanda, mereka juga saling menyentuh satu sama lain, entah hanya mencolek atau memukul.

Ketiga teman Indila juga menatap kejadian itu tetapi dengan wajah yang datar sambil memakan makanan mereka.

"Jijik, cuy."

"GTM banget, sumpah!"

"Duhhh, gemes gue."

Indila memejamkan matanya dan menunduk.

"Lu sih, La, pacaran diem-diem gini. Jadinya kan orang-orang pada gak tau dia uda punya apa kagak," kata Lola.

Si gadis berambut hitam itu hanya tersenyum, dengan raut wajah sedih."Abis... mau gimana lagi? Lu kan tau, gua kan paling gak suka kalo semua orang tau gua pacaran."

Bola mata Lola berputar."Ribet amat dah! Mending kaya gua jomblo, kan enak, ga banyak problem."

"Yayaya," kata Indila, kesal.

Hanan yang dari tadi ada di dekat Dafiq cuma diam saja saat Fitri datang, tidak mengutarakan satu kata pun, ia hanya melihat mereka berdua bercakap sambil duduk memakan mie ayamnya. Selama cowok itu makan, ia seperti merasakan ada yang memandanginya, ia kemudian menoleh.

Indila segera mengarahkan pandangannya ke bawah. Mampus, tercyduk gua, pikirnya dalam hati, haduh malu gue.

Raut muka Hanan penuh tanda tanya. Tanpa memikir panjang, ia langsung menoel Dafiq yang sedang berdiri, menyuruhnya untuk mendekat."Weh, itu cewek lu. Masa lu ngobrol sama cewek lain di depan dia sih?"

Dafiq melihat Indila yang lagi berdiri sedang merapikan seragamnya."Ya elah, orang cuma ngobrol doang kok. Emangnya enggak boleh gitu kalo gua punya temen cewek?"

Saat itu, Hanan berhenti memasukkan mie ke dalam mulutnya dan menatap Dafiq dengan tajam."Bukan gitu bro, boleh sih boleh ya punya temen cewek, tapi kan, itu ada cewek lo bro depan mata. Masa iya lu ngediemin dia dan lu enak-enak aja ngobrol sama si Fitri. Lu pacar si Indila atau si Fitri?"

Kemudian Dafiq lebih mendekat dan berbisik di telinga Hanan."Kalo gua mau dua-duanya gimana?"

"Gila lu!" ketus Hanan, tertawa,"Dasar playboy!"

Indila yang dari tadi memperhatikan mereka berdua berbicara, mengangkat satu alisnya."Itu mereka pada ngomongin apa sih? Kayak yang asik banget," tanyanya.

"Gak tau. Ke kelas aja yuk, udah mau bel tuh," kata Rani. "Ih, cepetan, sekarang kan pelajaran Matematika. Lu sendiri kan tau Bu Anisa gimana orangnya."

"Ah, iya iya iya." Mereka berempat pergi meninggalkan kantin.

Dafiq yang diam-diam memperhatikan Indila menjadi kesal. Apakah tidak ada usaha bagi perempuan itu untuk mendekati dirinya? Sepanjang sisa waktu istirahat berjalan, hanya pertanyaan itu saja yang mengelilingi pikirannya. Ia menjadi bad mood dan malas untuk melakukan apapun. Untung ada Fitri, pikirnya.

Indila, dengan sepenuh kemampuannya, mencoba mengangkat kakinya satu per satu demi menaiki tangga. Entah kenapa ia menjadi kurang semangat. Apa itu karena ia tidak makan apapun ketika istirahat? Atau karena ia sudah lelah melihat Fitri dekat dengan Dafiq mulu? Jawabannya: entahlah. Perempuan itu tidak tau harus berbuat apa lagi, tidak tau harus bagaimana lagi. Karena semuanya serasa melelahkan. Ia juga tidak tau mengapa ia merasa seperti itu. Jika ini semua akibat memikirkan Dafiq dan bagaimana kelakuannya sangat mempengaruhi dirinya, ia takut menjadi gila, karena kenyataannya wajah Dafiq dan Fitri yang terlukis sempurna seperti karya seni selalu menghiasi sudut-sudut kepalanya. Aku enggak mau jadi gila hanya karena seorang laki-laki, pikirnya.

Angin Pembawa RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang