Setelah rehat selama lebih dari 2 minggu, pagi ini Qiana telah kembali menyibukkan dirinya didapur. Suara spatula yang beradu dengan wajan seolah menjadi irama favorite Qiana dan menaklukkan panci beserta wajan sudah menjadi keahlian wanita itu.
"Qi menu untuk minggu depan sudah siap belum ?"
"Sudah ka." Jawab Qiana yang masih fokus pada masakan didepannya.
"Kalau list belanjaan untuk mang Ujang sudah siap juga belum ?" Tanya Anisa lagi
"Sudah juga ka, tapi belum Qiqi kasih ke mang Ujangnya."
"Ya sudah nanti sebelum berangkat antar catering, kamu kasih listnya ke kakak ya. Biar kakak saja yang kasih ke mang Ujang."
"Kakak baik banget deh, tau saja kalau Qiqi sedang membutuhkan bantuan." Ucap Qiana tersenyum lebar
"Hemmmm kalau ada maunya aja baru bilang kakak baik." Ucap Anisa menyindir adiknya dan yang disindir beringsut memeluk sang kakak.
"Sering-sering bantuin Qiqi ya ka."
"Yeeee malah melunjak dia." Qiana terkekeh geli melihat espresi marah yang dibuat-buat sang kakak. Kemudian merekapun tertawa bersama.
Pagi ini bukan Fatimah yang membantu kesibukan Qiana, tapi Anisa kakak satu-satunya yang dengan baik hati membantu segala keruwetan dapur berukuran sedang itu. Fatimah sedang tidak enak badan, karenanya Qiana meminta sang ibu untuk beristirahat saja dan dia meminta Anisa untuk membantunya.
Anisa memang jarang membantu kegiatan pagi Qiana, karena setiap pagi dia harus mengurus keperluan suami tercinta dan si kecil Hafis yang sudah mulai masuk PAUD. Kalau saja bisa membantu mungkin hanya proses packing karena kesibukan Anisa sudah beres pada saat proses packing berlangsung.
Segala keruwetan pagi ini berakhir ketika jam dinding menunjukkan pukul 09:50. Dengan cekatan Qiana menempel kertas bertulisan nama perusahaan di setiap plastik besar berisi catering pesanan pelanggan setia Qiana. Setelahnya dia mengambil handphone diatas meja makan. Dilihatnya pesan dari bik Asri.
Bik Asri : Assalamualaikum mba Qiqi, pak Aby nya sudah berangkat jam 07:30 mba, tapi ga sempat sarapan katanya buru-buru.
"Selalu saja ninggalin sarapan dan menomor duakan kesehatan. Padahal sehat itukan mahal." Gerutu Qiana sambil memanyunkan bibir tipisya.
Sudah satu minggu Qiana tidak berkunjung kerumah Aby. Terakhir kesana pada saat tahlilan 7 harian. Bukannya tidak mau berkunjung kerumah besar itu, tapi ketika Qiana kesana selalu saja Aby mengusirnya. Sakit rasanya ketika Aby mengusir dirinya. Begitu bencikan lelaki itu padanya sehingga dengan teganya dia selalu mengusir wanita yang nyatanya telah menjadi istri sahnya.
Karena Qiana tidak bisa datang kerumah Aby, dia meminta bik Asri untuk selalu melaporkan kegiatan Aby. Tugasnya sebagai istri yang tidak bisa dia lakukan membuatnya memantau dari kejauhan apa saja yang dilakukan suaminya. Aby sarapan apa, berangkat jam berapa, pulang jam berapa dan makan malam dimana. Tidak jarang Qiana juga menyusun menu sehat untuk Aby yang dia berikan kepada bik Asri.
Semua tugas yang seharusnya Qiana lakukan dia percayakan oleh wanita paruh baya itu. Walaupun Qiana tidak mencintai Aby tapi tidak memutus tugasnya sebagai seorang istri. Istri bayangan batin Qiana. Entah sampai kapan kehidupan rumah tangganya akan seperti ini, Qiana sendiri tidak berani bertanya kepada Aby karena sifat Aby yang begitu dingin. Jika nanti pada akhirnya Allah berkehandak untuk memutuskan ikatan mereka dengan perceraian, Qianapun akan ikhlas menerimanya, seikhlas dia menerima pernikahan tak diharapkan itu. Bukan karena dia senang tapi karena tidak ada yang bisa dia lakukan jika Allah sudah berkehendak.
Qiana hendak membersihkan dirinya ketika dia mendengar suara bel rumahnya berbunyi. Bergegas Qiana menuju sumber suara dan langsung membuka pintu lebar rumahnya. Betapa terkejutnya Qiana saat melihat sosok yang berdiri dihadapannya.
"Ka Aby ?" Ternyata seseorang yang menekan bel rumahnya adalah Aby, suaminya.
"Kamu tidak menyuruhku masuk ?" Tanya Aby saat Qiana masih menikmati keterkejutannya. Bagaimana tidak terkejut karena ini kali pertama Aby berkunjung kerumahnya dan lagi tanpa pemberitahuan.
"Ka Aby ngapain kesini ?" Bukannya mempersilahkan Aby masuk, Qiana malah balik bertanya.
"Apa aku tidak boleh datang kerumah istri ku ?" Ucap Aby lembut sembari menampikkan senyum manisnya.
Istri ku ? Apa Qiana tidak salah dengar. Untuk pertama kali lelaki itu menyebut Qiana sebagai istrinya. Dan tumber sekali Aby berkata sangat manis kepadanya. Ada apa dengan lelaki dihadapannya ini, apa Aby salah makan, apa ada yang salah dengan otak Aby. Batin Qiana terus bertanya-tanya.
"Bolehkah aku masuk Qi ?"
"Si . . Silahkan masuk ka." Jawab Qiana yang masih bingung. Mata Aby menyapu seluruh sudut ruangan sederhana nan rapi dihadapannya.
"Apa aku bisa bertemu dengan ibu mu ?"
"Ibu ? Untuk apa ?"
"Bisakah kamu tidak bertanya terus dan segera memanggil ibu mu!" Suara dingin Aby kembali muncul. Padahal baru saja dia bersifat manis pada Qiana.
"Echhh ada nak Aby. Ada apa nak mencari ibu ?" Tanya Fatimah yang sudah berada diantara mereka. Dan dengan sopan Aby langsung menyium punggung tangan Fatimah.
"Aby mau minta ijin sama ibu." Ucap Aby dengan nada yang kembali manis. Qiana masih tidak mengerti dengan perubahan sifat Aby hari ini. Sebentar manis sebentar dingin terus manis lagi. Gampang sekali berubah-ubah seperti bunglon. Qiana terus berbicara pada dirinya sendiri.
"Nak Aby mau minta izin apa ?"
"Aby datang kesini mau minta izin sama ibu untuk membawa Qiana tinggal dirumah Aby." Mata Qiana membulat sempurna, sungguh wanita itu sangat terkejut dengan perkataan Aby. Namun berbeda dengan Fatimah, wanita paruh baya itu malah tersenyum lebar.
"Nak Aby tidak perlu meminta izin kepada ibu karena sudah menjadi hak nak Aby untuk membawa Qiana."
"Tapi untuk apa ka Aby meminta Qiqi tinggal dirumah ka Aby ?"
"Apa yang kamu bicarakan Qiana. Nak Aby adalah suamimu maka sudah menjadi haknya untuk membawa mu tinggal dirumahnya."
"Tapi bu . . . "
"Qiana, nak Aby adalah suamimu dan sudah menjadi kewajiban bagimu untuk mengikuti suamimu." Aby tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan ibu Qiana, namun tidak dengan Qiana. Wanita itu terlihat sangat kesal dengan keputusan sang ibu.
"Jika diizinkan Aby akan membawa Qiana tinggal dirumah Aby sekarang juga." Lagi-lagi Qiana terkejut dengan perkataan Aby. Ada apa sebenarnya dengan suaminya ini. Tiba-tiba datang kerumahnya, bersifat manis dan kemudian meminta dia untuk tinggal dirumah mewahnya itu. Apakah Aby sudah mencintainya ? Dengan cepat Qiana menepis prasangkanya.
"Tentu ibu memberi izin."
"Ibu. . . ." Rengekan Qiana yang hanya dijawab dengan anggukan dari sang ibu.
"Bergegaslah merapikan pakaian mu, agar nak Aby tidak menunggumu terlalu lama." Ucap Fatimah seraya membelai pucuk kepala bungsunya.
"Lalu bagaimana dengan cateringan Qiana bu ?"
"Ka Nisa siap mengantar kok Qi." Anisa menjawab pertanyaan adiknya dengan semangat 45. Tidak sengaja Anisa menguping pembicaraan adik iparnya tadi dan betapa bahagianya dia ketika mengetahui bahwa Aby akan membawa adik kesayangannya untuk tinggal bersamanya. Hal yang seharusnya dilakukan Aby sejak awal.
"Tapi ka . . ."
"Sudah sana kemasi keperluan mu. Kasian Aby kalau harus menunggu lama."
Dengan langkah malas Qiana menuju kamarnya dan dengan berat hati wanita itu mengemasi keperluannya. Tidak banyak yang dia bawa karena fikirnya dia bisa kembali lagi kerumah ini untuk mengambil keperluan lainnya.
Setelah selesai mengemasi keperluannya, Qiana bergegas menuju kebawah dan dengan berat dia harus berpamitan dengan sang ibu. Qiana memeluk wanita itu dengan sangat erat dan air matanya mengalir ketika mendengar setiap nasehat yang ibunya sampaikan. Apakah ini terlalu berlebihan ? Padahal rumah Aby tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu 20 menit sudah sampai kerumah Qiana, tapi tetap saja Qiana merasa bersedih karena harus tinggal terpisah dengan ibunya.
Qiana dan Aby bergantian mencium punggung tangan Fatimah, kemudian mereka pamit meninggalkan rumah sederhana Qiana. Dengan sigap Aby memasukkan koper kecil berwarna hijau kedalam bagasi mobilnya. Qiana mengurungkan niatnya membuka pintu kursi belakang ketika Aby berkata dengan sangat dingin.
"Aku bukan supir, jadi duduklah didepan." Qiana memutar jengah bolah matanya dan diapun langsung menuju kursi depan.
Selama diperjalanan tidak ada satu katapun yang terucap diantara keduanya. Wajah Aby kembali dingin, sedingin es batu dan Qiana memilih menatap keluar jendela untuk melihat deretan bangunan yang telah dia hafal mati.
****
"Bik tolong tunjukkan kamar Qiana." Kamar ku ? Aby tidak bilang kamar kami ? Apa kami akan tidur dengan kamar terpisah? Qiana terus bertanya-tanya dalam hatinya hingga dia tidak sadar kalau dia dan bik Asri telah sampai dikamar yang dimaksud Aby.
"Ini kamar mba Qiqi." Ucap bik Asri seraya membuka pintu ruangan itu.
"Ini kamar mas Aby juga kan bik ?"
"Kamar pak Aby ada disebelah sana mba." Jawab bik Asri menunjuk ruangan yang berjarak tidak jauh dari kamar Qiana, hanya terpisah oleh 1 ruangan.
"Tapi bik . . . ."
"Saat mendengar mba Qiqi akan tinggal dirumah ini, bibik sangat bahagia. Dan bibik berharap kalau hubungan mba Qiqi dan pak Aby akan mencair dan lambat laun rasa cinta itu pasti akan tumbuh dihati pak Aby dan Mba Qiqi." Ucapan bik Asri seolah menjelaskan maksud dari kamar yang terpisah ini. Mungkin karena Aby belum mencintainya, tapi kalau benar begitu untuk apa Aby meminta dirinya tinggal dirumah ini.
Bik Asri telah kembali melanjutkan pekerjaannya. Dan Qiana melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar barunya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kamar tersebut sangat mewah dan rapi. Qiana menjatuhkan tubuhnya dipinggir ranjang. Qiana teringat ucapan ibunya ketika pamitan tadi.
"Jadilah istri yang baik untuk nak Aby. Dulu ketika kamu belum menikah surga mu ada ditelapak kaki ibu, namun sekarang surgamu ada ditelapak kaki suamimu. Ridho Allah Ridho suami mu. Berbaktilah kepada suamimu maka kebahagian akan kamu dapatkan"
“Mampukan aku menjadi istri yang baik untuk ka Aby ?” Pertanyaan itu yang memenuhi fikiran wanita cantik itu. Dilihatnya jam sudah menujukkan waktu dzuhur. Qiana beranjak dari posisinya dan melangkahkan kakinya kekamar mandi untuk berwudhu dan setelahnya dia langsung melaksanakan sholat wajib itu.
****
Qiana sedikit berlari menuruni anak tangga ketika melihat Aby yang telah rapi dengan style kemeja berwarna navy dan celana jeans.
"Ka Aby mau kemana ?" Tanya Qiana yang sudah berada disamping Aby dan tidak ada jawaban dari lelaki itu.
"Ka Aby pulang jam berapa ? nanti Qiqi akan memasak untuk makan malam kita."
"Kamu ga perlu masak karena aku akan makan diluar." Jawab Aby tanpa melihat ke lawan bicaranya.
"Tapi ka . . ."
"Bisa kamu tidak cerewet ? Aku mau pulang jam berapa atau makan dimana bukan urusan kamu. Kamu urus saja urusanmu sendiri." Ucap Aby setengah membentak, setelahnya Lelaki itu beranjak meninggalkan tubuh Qiana yang membeku. Hatinya ngilu mendengar ucapan lelaki yang telah menjadi suami sahnya.
"Kalau ka Aby sangat membenci Qiqi kenapa ka Aby membawa Qiqi kerumah ini ? Dan kalau ka Aby sangat membenci Qiqi kenapa tidak kakak ceraikan saja Qiqi ?" Qiana berucap keras dengan suara bergetar, namun Aby tatap berlalu seolah tidak mendengar kesedihan Qiana.
Wanita itu hanya mampu memandangi punggung Aby yang telah mengabaikannya. Dia fikir Aby telah berubah menjadi manis dan menerimanya sebagai istri, namun dia salah. Aby tidak berubah, Aby masih tetap dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Lalu untuk apa Aby membawanya kerumah ini ? Untuk apa Aby berucap sangat manis dirumahnya tadi ? Untuk apa Aby melakukan semua ini ? Cukup tinggalkan saja aku maka semuanya akan berakhir. Qiana menangis dalam diamnya dan ternyata bukan hanya wanita itu yang menangis, bik Asri yang meliha sifat dingin majikannya juga memitikkan air mata. Tidak ada yang bisa dilakukan wanita paruh baya itu. Hanya doa yang panjatkan, berharap agar kebahagiaan menghampiri pasangan muda itu.Jangan lupa Vote & koment ya ka
Happy reading 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemilik Hati Qiana
RomanceQiana adalah wanita yang sudah siap untuk menjalankan sunah Rasulullah & menjalankan ibadah terpanjang yang memberi banyak pahala, tapi kesiapannya itu tak kunjung menerima setiap lamaran yang ditujukan pada dirinya. Beberapa lamaran telah dia tolak...