BAB 1.2

799 6 0
                                    

Honor berada di kedalaman ruang bawah tanah di gedung utama Akademi Asosiasi, membaca teks bergambar dari abad ke empat belas tentang Amadeus Berg, pemburu dan penjelajah legendaris, saat ponselnya berbunyi. Tersentak dengan suara yang tiba-tiba itu, ia merenggutnya dari tempat ia meletakkannya di meja sebelah kunci-kuncinya. "Sara?" katanya, mengenali nomor yang muncul di layar sebagai nomor ponsel pribadi sang Direktur Asosiasi.

"Honor." singkat. Tidak ada basa-basi. Itulah Sara. "Kau ada dimana?"

"Seksi buku-buku langka di perpustakaan Akademi." Dilengkapi oleh penerangan remang-remang yang disesuaikan dengan usia buku-buku yang disimpan disana dan dengan suhu udara yang tepat, tempat itu menjadi tempat perlindungan, jarang dikunjungi orang.

"Bagus. Kau tidak terlalu jauh." Suara kertas yang bergemersik. "Tower membutuhkan bantuan dan kau sangat bisa diandalkan. Kalau kau..."

Honor tidak mendengarkan kelanjutan kata-kata sang direktur karena telinganya sudah ditulikan oleh aliran darah yang membahana, wajahnya memanas sampai kulitnya terasa seperti akan mengelupas saking panasnya, memaparkan dagingnya di tengah udara yang kejam. "Sara," tukasnya, jemarinya mencengkeram pingir meja, tulangnya terlihat putih dibalik kulit yang sebelumnya berwarna cokelat muda karena sinar matahari, tapi sekarang kusam, pucat. "kau tahu aku tidak bisa." Kengeriannya lebih besar dari kepingan harga diri yang masih tersisa.

"ya, kau bisa." Nada suara Sara lembut tapi tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu mengubur diri di Akademi selamanya."

Tangan Honor meremas ponsel, jantungnya berdebar dengan begitu cepat dan kencang hingga terasa menyakitkan. "Dan bagaimana kalau aku ingin terkubur?" tanyanya, menemukan tekad untuk melawan dengan ketakutan besar yang sama dengan ketakutan yang membuat keringat membasahi punggungnya.

"Berarti aku harus bersikap kejam dan mengingatkanmu bahwa kau masih dikontrak sebagai pemburu aktif."

Lutut Honor terasa lemas, membuatnya ambruk ke sebuah kursi. Asosiasi adalah satu-satunya rumah yang ia kenal, rekan-rekan pemburunya adalah keluarganya. "Aku ini instruktur." Itulah jalan terakhir yang ia miliki untuk keluar dari semua ini.

"Bukan, kau bukan instruktur." bantahan yang tetap saja kejam meskipun disampaikan dengan suara yang lembut. "Kau belum mengajar satu kelas pun selama berbulan-bulan berada disana."

"Aku akan..."

"Honor." Sepatah kata final.

Honor mengepalkan tangan diatas meja, menerawang memandangi naskah bergambar berwarna biru terang dan merah menyala yang sudah ia jatuhkan dengan ceroboh ke atas kayu yang dipoles. "Beritahukan detailnya."

Sara menghela napas. "Sebagian dari diriku ingin membungkusmu dengan kapas dan menjagamu di tempat yang aman dan hangat dimaa tidak ada satu hal pun yang dapat menyakitimu." katanya dengan semangat yang menunjukkan hati yang lembut dibalik penampilan yang terkesan garang. "tapi bagian lain dari diriku tahu itu sama saja dengan melumpuhkanmu dan aki tidak mau melakukannya."

Honor tersentak, bukan karena kata-kata itu kasar, melinkan karena kata-kata itu benar. Ia tidak utuh, sudah tidak utuh selama sepuluh bulan belakangan ini. "Aku tidak tahu apakah aku masih memiliki sisa kemampuan yang bisa dikerahkan, Sara." Terkadang ia tidak yakin ia sudah keluar dari lubang menjijikkan yang dikotori oleh darah, keringat dan... Cairan tubuh yang lainnya itu, bahwa kehidupannya yang sekarang bukanlah suatu ilusi yang diciptakan oleh otak yang rusak.

Kemudian Sara bicara dengan kata-katanya yang setajam silet menjadi penegas yang dinantikan bahwa ini nyata. Karena tentunya kalau Honor menciptakan suatu fantasi sebagai pelarian dari realita yang brutal, ia tidak mungkin membuat Direktur Asosiasi sekejam ini!

"Ransom dan Ashwini mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengeluarkanmu bukan supaya kau bisa membalikkan badan dan menyerah." Suatu pengingat akan tangan-tangan yang telah membuka ikatan Honor, lengan-lengan yang telah mengangkatnya keluar ke cahaya yang menyilaukan. "Temukan sobekan-sobekannya dan jahitlah dirimu kembali."

Perut Honor terasa mulas sekarang, tangannya yang bebas mengepal dan membuka secara naluriah. "Apa ini bagian dimana aku harus memberi hormat dan berkata, ya, Sir?" Kata-katanya bukan dimaksudkan untuk menyindir, karena ia ingat terbangun berkali-kali di rumah sakit dan melihat Sara duduk di sebelahnya, kekuatan protektif yang buas.

"Bukan." jawab sang direktur. "Kau harus mengatakan bahwa kau akan menyeret bokongmu ke taksi. Ini baru jam setengah sembilan, jadi kau tidak akan mendapat kesulitan untuk mendapatkannya."

Hawa dingin merambat di punggung Honor, keringat berkilauan di atas bibirnya. "Apa aku harus menemui seorang malaikat?" Tolong katakan ya, ia memohon dalam hati. Tolong.

"Bukan, kau harus menemui Dmitri."

Bayangan seorang pria dengan kulit berwarna madu gelap dan wajah yang terkesan kejam karena keindahannya. "Dia seorang vampir." kata-kata itu nyaris dibisikkan tanpa suara. Sang Vampir, kalau sudah menyangkut kota ini, bahkan negara ini.

Sara tidak berkata apa- apa selama beberapa saat. Ketika ia berbicara, ia mengajukan sebuah pertanyaan yang mengusik. "Apa kau bahagia, Honor?"

Bahagia? Honor sudah tidak tahu lagi apa itu kebahagiaan, mungkin ia tidak pernah mengetahuinya, walaupun ia merasa sudah mempelajari sesuatu tentangnya dengan memperhatikan para anak kandung di rumah asuh yang ia tinggali setelah meninggalkan panti asuhan pada usia lima tahun. Sekarang... "Aku hidup."

"Apa itu cukup?"

Honor membuka jemarinya yang dikepalkan dengan susah payah, melihat bulan sabit yang terbentuk di telapak tangannya, merah dan sarat akan amarah. Asosiasi sudah membayar seorang psikolog, akan terus membayarnya selama ia membutuhkannya. Honor sudah menjalani tiga sesi sebelum menyadari ia tidak akan mengungkapkan apa-apa kepada wanita baik dan penyabar yang sudah bisa menghadapi pemburu itu.

Ia malah berusaha untuk tetap terjaga, berusaha untuk tidak mengingat.

Taring ditancapkan ke payudaranya, paha dalamnya, lehernya, tubuh-tubuh yang sudah tergugah digesekkan tubuhnya, sementar ia merengek dan memohon.

Awalnya ia kuat, bertekad untuk bertahan dan mencincang bajingan-bajingan itu.

Tapi mereka menyekapnya selama dua bulan.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan kepada seorang pemburu, kepada seorang wanita, dalam waktu dua bulan.

"Honor?" suara Sara sarat akan kecemasan. "Dengar, biar kucari orang lain saja. Aku tidak mau mendesakmu seperti ini."

Penangguhan hukuman. Tapi tampaknya harga diri Honor masih tersisa--karena ia mendapati mulutnya terbuka, kata-kata berhamburan keluar di luar kesadarannya. "Aku akan berangkat sepuluh menit lagi."

Setelah memutuskan telepon barulah Honor menyadari bahwa ia sudah mengambil sebuah pena... Dan menulis nama Dmitri berkali-kali dalam buku bloknot yang ia gunakan untuk mencatat. Jemarinya mengejang melepaskan pena itu.

Terulang lagi.

Archangel's Blade (Guild Hunter, #4)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang