Chapter 6. Maaf, Aku Seorang Perokok

33 0 0
                                    

Hiruk pikuk kota Malang mungkin tidak bisa mengalahkan kalutnya hari ketika itu. Pikiran sudah buntu bukan karena memikirkan tugas-tugas perkuliahan. Tapi ini cukup mengganggu, soal rumitnya hubungan asmara yang tak kunjung tuntas.

Ah, mungkin lagi cupet pikiranku ketika itu. Ketika masalah datang, aku hanya memilih ngelamun dan merenung sendiri di kamar. Aku lupa, bahwa aku punya Allah SWT yang seharusnya tempatku mengadu dan memohon jalan keluar saat itu. Karena sebesar apapun masalah kita, ada Tuhan yang Maha Besar. Segala persoalan yang kita hadapi pasti ada cara penyelesaiannya. 

Namun semua sudah terjadi. Keputusanku terlanjur pendek. Malam yang tidak seperti biasanya. Selepas isyak kuhabiskan waktuku pergi ke warung kopi bersama teman-teman. Main kartu remi (tanpa uang) dan sebatang demi sebatang rokok mengepul menemani canda tawa hingga waktu Subuh tiba. Begitu seterusnya.

Pada akhirnya aku mulai kecanduan. Semester tujuh adalah sejarah kali pertama aku menjadi seorang perokok. Tergabung di komunitas teman-teman perokok. Mulai berada di lingkungan warga yang jagongan sambil merokok.

Awal mula masih malu-malu, ngerasa tidak pantas dan sedikit canggung. Lama-kelamaan merokok di kantin kampus, di lingkungan fakultas, di depan dosen dan teman-teman se SMA sewaktu pulang pun sudah biasa.

Mungkin orang tuaku belum tahu. Karena aku sengaja menyembunyikannya. Keluargaku tidak ada yang merokok. Bapak dan kakakku bukanlah perokok. Setiap pulang ke rumah, aku tidak mungkin merokok di depan mereka. Serba dilema.

Sebenarnya banyak teman-temanku satu organisasi bahkan beberapa teman di kelas sudah mengingatkanku agar kembali tidak merokok. Tidak jarang di antara mereka berceramah di depanku. Menjelaskan bahwa merokok itu tidak baik lah, fatwanya haram lah, dan lain sebagainya. Lihat https://kesehatanmuslim.com/inilah-dalil-haramnya-rokok/

Bahkan perempuan yang meninggalkanku pun masih peduli kepadaku. Dia secara terang-terangan melarangku. Namun percuma saja, aku acuh. Pada akhirnya aku ditemukan oleh seorang wanita yang membuatku luluh.

Melalui dia aku mengerti bagaimana dampak positif dan negatif dari merokok. Meski sampai sekarang aku tetap setuju, jika merokok pun -walaupun dipandang buruk- pasti ada sisi baik (keuntungan) nya.

Banyak pemikir muncul dari kalangan perokok. Sebab perokok itu bukan semacam speedboat yang melesat cepat di permukaan, melainkan lebih dekat dengan sifat kapal selam. Ia bergerak pelan namun pasti di kedalaman. Makhluk-makhluk kapal selam itu terbiasa tenang, jernih mencermati setiap hal, sekaligus punya daya imajinasi tinggi. Maka kita tahu ada Einstein, misalnya. Pastilah ia menemukan Teori Relativitas, serta teori bahwa semesta berbentuk melengkung, saat ia leyeh-leyeh sambil kebal-kebul dengan pipa cangklongnya.

Ada juga Sartre, Albert Camus, Derrida, Sigmund Freud, yang semua-muanya menempa ngelmu tuma'ninah-nya lewat asap tembakau. Contoh lain? Ada Sukarno, Che Guevara, Winston Churcill, hingga John Kennedy. Atau para sastrawan-pemikir, mulai Rudyard Kipling, Hemingway, Mark Twain, Pablo Neruda, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, yang kesemua mereka pun menjalani metode yang sama. (mojok.co) *Bahkan para kyai salaf dan pengarang kitab-kitab klasik zaman dulu.

Sehingga dalam hal ini aku setuju bahwa merokok ada manfaatnya juga. Lihat saja, begitu mudahnya melebur bersama orang-orang cukup dengan menawarkan rokok atau meminjam korek. Mereka sering menikmati suara isapan rokok -apalagi yang kretek.

Bagiku, yang paling bermasalah itu kalau orang merokok sudah mengganggu orang lain. Misalnya di dalam kendaraan umum, di ruangan sempit yang banyak orang bukan perokok, atau pokoknya di tempat di mana yang tidak merokok jadi terganggu. Soal bahaya mah, ya udah yakin lah tiap orang sadar akan bahaya itu, jadi biarlah orang itu sendiri yang menanggungnya, jangan dibagi-bagi ke orang lain dengan merokok di tempat yang tidak semestinya.

Di posisi transisiku dari seorang perokok menuju "taubat" tidaklah mudah. Butuh proses yang sangat panjang. Mulai tahun 2015 - 2016 (kurang lebih setahun) aku berjuang untuk menjauhi asap tembakau. Selepas lulus kuliah, lingkungan tempatku bekerja juga dipenuhi para perokok berat.

Setiap makan di kantin, kerja sift 3 atau ambil jam lembur, pasti ditemani segelas kopi hitam. Dan banyak orang tahu, kopi hitam tanpa rokok pasti terasa hambar. Niatku semakin pudar. Terkikis oleh lingkungan yang tidak mendukung. Namun, dia pun selalu memantau. Tidak pernah capek mengingatkan, terus saja menagih janji.

Aku memang pernah berjanji untuk berhenti. Tapi semua pasti butuh yang namanya proses.  Hingga aku pun bisa menguranginya sedikit demi sedikit. Meski terkadang aku masih mencuri dan melanggar komitmenku sendiri. Saat mau merokok harus izin dulu. Sehari sekali, seminggu sekali, sebulan sekali, sampai tidak sama sekali.

Menjadi sering minta maaf kepada teman satu tongkrongan karena sudah tidak merokok lagi. Setiap mau ikut menghisap aku selalu teringat dua kalimat pamungkas darimu. 1. Milih aku atau rokokmu? 2. Aku melarangmu merokok karena ingin hidup lebih lama bersamamu. Oh Oh... []

SEBELUM KAU HALAL BAGIKU ✏Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang