[12] D-8

128 25 7
                                    

Sudah dua hari Irene kembali masuk sekolah, walapun ia masih harus mengenakan masker setiap saat untuk menghindari penularan penyakit yang bisa memperparah keadaannya.

Sayang sekali, paras cantiknya harus tersembunyi di balik masker itu.

Meski begitu Irene tetap terlihat senang, katanya ia sangat merindukan sekolah. Ia bahkan membuatkanku bekal yang lucu.

Aku terus menerus menatap bekal pemberian Irene

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku terus menerus menatap bekal pemberian Irene. Tiap bagiannya dibentuk dengan sangat teliti, aku jadi tak tega untuk memakannya.

Aku bisa merasakan kasih sayang Irene melalui bekal itu. Ah, baru berpacaran saja sudah sebahagia ini. Bagaimana kalau sudah menikah, ya?

Pasti Irene akan melimpahkan semua kasih sayangnya untukku. Menyambut pagiku dengan senyumnya yang manis, membuat masakan yang lezat untukku, memakaikan dasi saat aku akan berangkat kerja, memijit bahuku bila aku kelelahan. Dan bila malam telah tiba, Irene dan aku akan—

Ah, aku jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu di rumah Irene.

Ciuman lembut yang makin lama makin menuntut, dari bibir manis Irene hingga turun menuju pusat kenikmatannya.

Bibir manis Irene yang mendesah pelan hingga meneriakkan namaku, dan saat akhirnya Irene dan aku bersatu—

"Bekal itu untuk dimakan, bukan dipandang" Jackson—teman sebangkuku—membuyarkan lamunanku dengan menepuk bahuku pelan. Aku hanya terkekeh pelan menanggapinya.

"Aku tak tega untuk memakannya. Lihatlah, lucu sekali, bukan?"

"Kau sudah memamerkan bekal itu ke seluruh penghuni kelas," Jackson tertawa, membuatku mau tak mau ikut tertawa.

"Kau pasti sangat mencintai Irene, ya?" Jackson bertanya setelah tawa kami berdua mereda.

"Ya," jawabku. "Demi semesta dan seluruh keindahannya. Aku sungguh-sungguh mencintainya,"

"Baiklah, baiklah... Aku percaya. Sekarang makanlah bekalmu, jam istirahat hampir berakhir,"

Aku sudah bersiap menyendok nasi ketika tiba-tiba seseorang berlari menghampiriku. Dia adalah Wendy, teman sekelas Irene.

Dengan napas yang masih terengah-engah ia menarikku pergi.

"Wendy! Ada apa? Mengapa kau menarikku begini?"

Wendy makin mempercepat langkahnya.

"Irene mengalami kejang dan kini ia tak sadarkan diri,"

☘☘☘




gatau kenapa tapi aku ngerasa kurang sreg ama diksi di chapter ini :((( kayaknya aku harus mulai banyak baca lagi deh

100 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang