[10] D-19

106 25 6
                                    

Semuanya belum berakhir. Irene masih harus menjalani serangkaian kemoterapi untuk mematikan sel kanker yang tak bisa dijangkau oleh pisau operasi.

Setelah kemarin menjalani kemoterapi yang pertama, efek dari kemoterapi itu sudah mulai terlihat. Rambut Irene mulai rontok—walaupun belum terlalu banyak, sekujur tubuhnya sakit, dan ia juga masih sering mual dan muntah.

Walaupun Irene diam saja, tapi aku yakin bahwa dia pasti merasa sedih. Sedari dulu Irene sangat menjaga rambut panjangnya, aku bahkan masih ingat ketika Irene merajuk selama satu minggu karena potongan rambutnya sedikit lebih pendek dari yang ia harapkan.

"Pasti saat ini aku terlihat sangat jelek, ya?"

Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari bibir Irene sembari ia memelukku erat.

"Tidak. Kau tetap cantik seperti biasanya—

"Kau berbohong." Irene tersenyum kecut.

Aku melepas pelukan kami lalu menatap Irene lekat-lekat.

"Ya, kau jelek."

Sekelebat tersirat kekecewaan di raut wajah Irene.

"Kau terlihat jelek kalau sedih begini. Hey, Irene, dengarkan aku." kataku sembari mengelus pipinya.

"Bagiku tak ada bedanya antara saat kau sehat maupun sakit. Asalkan kau tetap bahagia dan tersenyum, kau akan selalu terlihat cantik di mataku, percayalah,"

"Benarkah?" binar bahagia terpancar dari kedua matanya—mata itu, pusat dari seluruh alam semestaku.

Aku mengangguk.

Setelahnya, Irene menghambur ke pelukanku. Membisikkan kata cinta, menuturkan sabda rindu.

Hingga akhirnya bibir kami menyatu, memagut. Saling menyalurkan puja dan rasa cinta yang tak akan terungkap hanya oleh kata-kata.

☘☘☘


100 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang