Dini hari. Suara lalu lalang di luar sudah tak terdengar lagi. Sunyi.
Irene sudah tertidur sejak satu jam yang lalu. Meninggalkanku sendiri, menggenggam tangan Irene sembari menatap nanar langit-langit pucat ruang rawat inap ini.
Aku sama sekali tak merasakan kantuk. Keadaan Irene akhir-akhir ini sungguh membebani pikiranku, membuatku kalut.
Sejak pingsan di sekolah tempo hari, keadaan Irene tak kunjung membaik. Ia selalu mengeluhkan kepalanya yang makin sakit. Sangat sakit hingga tak jarang ia menangis—lebih parah lagi, sampai ia tak sadarkan diri.
Aku mengalihkan pandanganku menuju Irene yang sedang tertidur. Kulihat dahinya sedikit berkerut.
Bahkan disaat terlelap pun Irene harus tetap bergelut dengan rasa sakit.
Pikiranku mengawang lagi. Segala skenario—dari yang baik hingga yang terburuk—berkecamuk. Hatiku selalu berharap Irene akan segera sembuh seperti sedia kala. Akan tetapi di salah satu sudut kecil akal sehatku, terselip rasa takut.
Bagaimana jika Irene akan tetap seperti ini dalam waktu yang lama? Apakah aku tega melihatnya? Bagaimana jika akhirnya Irene kalah dan pergi untuk selamanya? Bagaimana...
Tanpa kusadari air mata sudah menetes di pipiku. Tidak, aku tak boleh menangis. Irene bilang ia akan makin merasa sakit jika melihatku menangis.
Aku sedang menghapus kasar air mataku dan menghirup napas dalam-dalam ketika tiba-tiba suara serak Irene menggetarkan gendang telingaku.
"Kau belum tidur?"
"Belum. Kau tidur lagi saja, sebentar lagi aku juga akan tidur," jawabku sambil tersenyum, berusaha menutupi kesedihanku.
"Sebaiknya kau tidur sekarang saja. Matamu sudah sangat merah,"
Oh, sial. Sepertinya aku terlalu kasar saat menggosok mataku tadi.
"Tidurlah di sampingku. Kasur ini terlalu besar untuk kutempati sendiri," Irene menepuk bagian kasur di sebelahnya, yang kelihatannya memang masih cukup untuk kutiduri.
Aku menuruti perkataannya. Setelah aku memposisikan diriku dengan nyaman, Irene segera memelukku erat.
"Apa kau merasa sakit lagi?" bisikku pelan sembari mengelus rambut dan punggungnya.
"Tidak. Aku baik-baik saja," jawabnya lirih.
"Syukurlah. Sekarang tidurlah lagi. Malam masih sangat panjang,"
Irene sudah tak menjawab lagi. Kupikir ia sudah tidur.
Aku pun juga mulai merasakan kantuk. Sebelum mataku benar-benar terpejam, kurengkuh tubuh mungil Irene dalam pelukanku hingga tak ada jarak tersisa di antara kami.
"Good night, sayangku,"
Aku mengecup bibirnya sebelum akhirnya aku terbuai ke alam mimpi.
Tanpa kusadari, ternyata Irene masih terjaga.
Di tengah sunyinya malam, di dalam dekapanku yang tertidur pulas, bahu Irene bergetar.
Irene menangis.
"Maafkan aku... kau pasti sangat menderita melihat keadaanku..."
🍀🍀🍀
aku stress uts ama laporan numpuk hhhh☠☠☠
![](https://img.wattpad.com/cover/158425788-288-k232126.jpg)