Lembar Kedua

13.2K 1K 26
                                        

Zafran, tidak pernah mengira hidupnya akan diputar pada titik terendah. Segalanya berubah. Ketenangan yang dulu selalu didapatnya sekarang lenyap, berganti resah yang selalu mengekor kemanapun ia melangkah.

Semua bermula sejak Papa berpulang. Papa ... yang selalu menjadi kekuatan bagi ia dan Kean. Sosok luar biasa yang selalu Zafran banggakan. Papa adalah satu-satunya yang mereka punya setelah Mama lebih dulu berpulang ketika melahirkan Kean. Wajar, jika kepergian Papa cukup membuat jiwa Zafran terguncang.

Sekilas, pemuda tujuh belas tahun itu memang terlihat tenang. Dukanya tersamarkan dengan wajah datar yang selalu menjadi topeng andalan. Namun, jauh di dalam hatinya, pemuda itu hancur berantakan. Wajar, karena Zafran memang terbiasa menggantungkan hidup pada Papa. Wajar, karena dibandingkan Kean, Zafran memang lebih dekat dengan mendiang.

Dan segalanya tak lagi sama sejak Papa tiada. Tidak ada yang baik-baik saja dengan itu semua, baik Kean maupun dirinya. Zafran tahu Kean tidak kalah hancur. Hanya saja, Zafran memang butuh lebih banyak waktu untuk belajar terbiasa. Terbiasa menerima kenyataan bahwa sekarang, di dunia yang keras ini, hanya tersisa mereka berdua.

"Minum, Zaf."

Zafran refleks mendongak dan dengan sigap menangkap satu kaleng soda yang dilempar ke arahnya. Sendy, melenggang di hadapannya lalu duduk di bibir jendela yang dibiarkan terbuka.

Salah satu perubahan besar yang terjadi sejak kepergian Papa adalah Zafran yang jadi lebih suka menginap di rumah teman-temannya daripada tinggal di rumahnya sendiri. Seperti dua minggu ini, Zafran memilih menginap di rumah Sendy yang orang tuanya selalu sibuk melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Meninggalkan Kean di rumah dengan belenggu rasa sepi yang sangat Zafran benci. Bukannya Zafran tak peduli, hanya saja ... dia butuh lebih banyak waktu untuk menata hati.

"Malem ini lo masih nginep sini, kan?" tanya Sendy. Zafran mengangguk singkat kemudian membiarkan dingin soda itu meluruhkan dahaganya.

 "Lo nggak keberatan, kan?"

 "Ya nggak, sih. Santai aja. Lo boleh tinggal di sini sampai kapanpun lo mau."

 "Thanks."

Sendy membalasnya dengan senyuman, walau masih ada satu hal yang membuat perasaan cowok itu tak nyaman. Dia meneguk sodanya lagi, matanya masih menatap Zafran namun pikirannya justru terlempar pada sosok lain di seberang. Sosok yang tak terlalu dekat ia kenal, tapi ia ketahui betul betapa besar perannya dalam hidup Zafran.

"Masalahnya, adek lo emang nggak nyariin?"

"Dia tau gue nginep sini kok."

"Dia nggak nyuruh lo pulang?"

"Nyuruh. Tapi masih gue diemin. Lagian tanpa dia suruh juga gue bakal pulang kok ntar." Zafran memberi jeda, kemudian melanjutkan dengan suara pelan, "kalau gue udah bisa nerima kenyataan."

Sendy baru akan kembali bersuara saat ponsel Zafran yang tergeletak di ranjang berdering kencang. Zafran meraihnya, membaca sekilas nama yang tertera di sana sebelum akhirnya memutuskan untuk menggeser tanda warna hijau di layar.

"Ya. Kenapa, Pak?"

Pak Rudi, satpam rumahnya itu terdengar resah begitu Zafran selesai berucap. Zafran sontak menegakkan badan, bersiap mendengar setiap kalimat yang akan Pak Rudi sampaikan.

"Maaf, mas Zafran. Saya cuma mau mastiin, mas Kean lagi sama mas Zafran apa nggak, ya?"

Mendengar nama Kean disebut, Zafran semakin mempertajam pendengarannya. "Nggak tuh, Pak. Saya lagi sama Sendy. Kenapa emang? Dia belum pulang?"

Tentang KeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang