Lembar Keempat

12.3K 947 91
                                    

Suasana meja makan pagi ini tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Sepi ... tanpa hangat canda yang biasa mengisi. Hanya saja, kali ini Kean tidak sendiri. Di sana, di seberang meja, kakaknya baru saja meletakkan sepiring omelet dan mendorongnya tepat ke hadapan Kean yang sejak tadi hanya memerhatikan bagaimana pemuda itu bekerja.

Kean tersenyum saat lagi-lagi Zafran menyodorkan segelas susu coklat ke depannya. Lalu dia sendiri duduk setelah menuang air putih ke dalam gelas. Zafran tidak suka susu. Tidak suka teh. Tidak suka kopi. Pokoknya, dia tidak suka minuman yang memiliki rasa--kecuali soda. Berbeda dengan Kean yang maniak manis dan segala macam minuman berperisa. Perlu digaris bawahi, Kean dan Zafran memang selalu bertentangan dalam hal selera.

"Hari ini gue nebeng lo, ya?"

Zafran hanya melirik sekilas ke arah Kean dan kembali sibuk menuang nasi ke piringnya.

"Gue bawa motor."

Satu lagi, Kean tidak suka naik motor. Dan Zafran tidak bodoh untuk membawa anak itu pergi bersamanya. Namun, jawaban Kean selanjutnya justru membuat Zafran mengernyit tak percaya.

"Nggak apa-apa. Gue juga lagi nggak pengin naik mobil."

"Kalau alasan lo mau nebeng gue karena takut gue kabur lagi, tenang aja, lo boleh ngikutin gue di belakang."

Kean terkekeh, tapi kemudian dia meredupkan pandangannya. "Sebenernya bukan itu."

"Terus?"

"Gue mau biasain diri naik motor. Sekarang udah nggak ada papa, kita harus hemat, sebisa mungkin ngurangin pengeluaran, jadi ... gue pikir mobil harus dijual."

Zafran sontak menghentikan kegiatan dan menatap Kean tajam. Dalam hal apapun, Kean selalu bisa bersikap lebih dewasa darinya, tapi untuk keputusan yang satu ini, Zafran jelas tak bisa menerima. Cowok itu menggeleng tegas sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.

"Harta papa masih banyak, lo nggak perlu takut. Nggak usah jual mobil, lo butuh itu. Kalaupun nanti kita kekurangan duit, gue bisa kerja."

Kean bisa menangkap kesungguhan dalam nada bicara kakaknya. Tanpa dijelaskan pun, dia tahu Zafran pasti akan melakukan apapun untuk menghidupi mereka berdua. Tapi, yang menjadi permasalahan sekarang adalah mereka hanya dua bocah belia yang hidup sebatang kara. Tentu saja, masa depan mereka yang panjang memerlukan biaya yang tak sedikit jumlahnya. Disamping bekerja, tentu mereka harus bisa menghemat pengeluaran. Lagipula, mobil mereka itu keluaran perusahaan ternama yang jika dijual pasti akan menuai harga luar biasa. Dengan uang itu, Kean yakin setidaknya mereka bisa menabung untuk masa depan.

"Biaya hidup kita ke depannya nggak sedikit, kak. Harta papa emang banyak, tapi kalau dipake terus menerus tanpa ada pemasukan lama-lama pasti habis. Gue tau lo bisa kerja, gue juga, tapi kita tetep harus hemat. Lo harus inget kalau sekarang keadaan udah beda. Kita nggak bisa hidup kaya dulu lagi."

Zafran diam setelah kalimat Kean terlontar. Berpikir, dan berakhir pada kenyataan bahwa adiknya memang selalu benar. Bahwa sebaik apapun kita merencanakan, kehidupan tak selalu bisa berjalan sesuai dengan keinginan. Tidak ada yang bisa menebak hari-hari ke depan, juga badai apa lagi yang akan datang, jadi mengantisipasi segalanya mulai dari sekarang adalah pilihan yang paling benar, seperti kata Kean.

Namun, di saat Zafran mulai yakin dengan pemikirannya, satu fakta itu lagi-lagi membuat dirinya gusar.

"Tapi kalo mobil dijual, elo gimana?"

"Angkutan umum banyak. Gue bisa naik bus. Atau nebeng lo terus, mungkin? Itu juga kalo lo nggak ada jadwal antar-jemput gebetan, sih." Kean mengakhiri kalimatnya dengan kekehan. Sementara Zafran mendelik tajam. Ingatlah bahwa Zafran itu jomblo abadi meski memiliki tampang yang mumpuni. Jadi, disindir soal gebetan jelas membuat harga diri cowok itu terlukai.

Tentang KeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang