[Versi lengkap dapat dibaca di aplikasi Dreame]
Kean pernah punya satu permintaan, sederhana, hanya sebatas ingin bahagia tanpa perlu dibayar luka setelahnya.
Namun, jika bahagia hanya milik mereka yang memiliki segalanya, lalu bagaimana dengan ia y...
Dua jam pelajaran pertama di kelas itu kosong. Guru pengajar yang kebetulan berhalangan hadir hanya meninggalkan beberapa lembar catatan dan tugas untuk dibawa pulang. Beberapa anak terlihat tekun menulis di bukunya, beberapa lagi sibuk bercengkerama, sisanya asyik membuat riuh suasana kelas dengan tawa.
Kean, sepertinya menjadi satu-satunya orang yang tidak masuk dalam tiga kategori di atas. Daripada mencari kesibukan lain untuk membunuh waktu yang pagi ini terasa begitu membosankan, dia justru hanya diam di bangkunya, tidak mau ambil pusing suasana sekitar. Buku di hadapannya pun masih tertutup rapat, tak terjamah. Cowok itu memilih tenggelam dalam pikirannya sendiri, menelusuri hari-hari yang harus ia jalani nanti.
Banyak hal terjadi tanpa dapat ia cegah. Tentang mereka yang pergi dan tak akan pernah kembali. Tentang rindu yang hanya mampu ia pendam sendiri. Juga tentang sakit ... yang tidak pernah menemukan jalan untuk ia bagi.
Kean menarik napas panjang lalu memejam, berusaha menghalau sesak yang dengan kurang ajar datang. Sampai panggilan lirih dari seseorang di sebelahnya berhasil membuat fokusnya buyar.
"Key, dicariin tuh!"
Kean refleks membuka mata dan langsung mengarahkan pandangannya ke depan, tepat ke arah pintu yang terbuka lebar. Sejenak ia membeku saat pekat irisnya bertemu dengan manik segelap malam milik sosok yang berdiri di sana. Seperti biasa, binar itu terlalu redup untuk Kean baca. Tidak ada luapan emosi di wajahnya, hanya luka dan perasaan kecewa yang selalu berhasil dia tutup sedemikian rupa. Satu hal yang tidak pernah Kean suka dari sosoknya. Karena dibalik dingin tatap itu, Kean tahu ada luka menganga yang bertambah lebar setiap harinya.
Mata itu masih mengunci Kean dari tempat ia berada, sebelum akhirnya pergerakan kecil dari pemuda itu membuat Kean segera bangkit untuk kemudian mengikutinya keluar kelas.
"Ciee.. nyariin. Kangen ya?" ujar Kean setelah pemuda di depannya menghentikan langkah.
Zafran, si pemilik manik segelap malam itu mendecih kemudian merogoh sesuatu dari dalam saku. Dia menarik tangan Kean dan meletakkan silinder bening berisi pil-pil kecil di sana dengan gerakan sedikit kasar.
"Nggak usah norak! Gue ke sini buat nganterin nyawa lo yang lo tinggal gitu aja di meja makan."
Kean memandangi benda di tangannya sekilas, kemudian mendongak menatap Zafran. Senyum tipisnya mengembang diikuti suara kekehan yang terdengar sumbang.
"Nyawa gue tuh buatan Tuhan, bukan barang ginian, tahu!"
Kean memang selalu seperti itu. Akan selalu berusaha bersikap seolah semua baik-baik saja. Seolah dengan tawa dunia akan berpusat kepadanya. Anak itu akan selalu mencoba terlihat ceria, karena memang hanya dengan cara itu dia bisa terlihat baik di hadapan semesta. Kean memang begitu dan Zafran benci itu.
Zafran menatap Kean tak suka. Mata tajamnya memincing, lalu suara beratnya kembali mengalun memecah hening.
"Nggak usah sok nasihatin orang kalo ngurus diri sendiri aja lo nggak bisa!" ujarnya datar, sementara Kean merengut sebal.
"Siapa bilang nggak bisa? Gue bisa kok,"
"Kalo bisa, itu barang nggak bakal sampe ketinggalan di meja dan bikin gue harus rela bakar kalori buat nyamperin lo ke sini."
"Yaudah, sih, namanya juga lupa. Lupa mah nggak ada obatnya."
"Terserah. Lain kali lebih teliti lagi dong, jangan teledor soal ginian! Ini bukan masalah sepele yang bisa lo anggap enteng."
Tanpa sadar, senyum di bibir Kean kembali mengembang. Kalimat Zafran membuat Kean merasa sedikit lega. Karena setidaknya, dia masih punya satu orang yang peduli padanya di saat semua orang bergerak meninggalkan. Masih ada yang bisa ia jadikan tumpuan ketika kaki tak sanggup lagi menopang.
Setidaknya ... Kean masih punya Zafran.
"Omong-omong, barang ini bisa ada sama lo, berarti tadi lo ke rumah? Lo pulang?" tanya Kean setelah beberapa saat terdiam.
Tatapannya kembali menjelajah manik kelam Zafran, berusaha mencari potongan luka yang masih rapat ia pendam. Kean ingin tahu apa yang sebenarnya pemuda itu rasakan. Kean ingin tahu apakah dia baik-baik saja atau justru merasa sebaliknya. Kean ingin tahu tanpa ia perlu bertanya.
"Gue pulang buat ambil baju doang. Udah ya, gue balik kelas." Zafran hampir berbalik, namun tangan Kean lebih sigap menahan pundaknya. Kemudian lirih suaranya terdengar dan kalimat yang ia gumamkan berhasil menyeret Zafran kembali pada luka.
"Udah dua minggu semenjak kepergian Papa. Lo masih belum mau pulang?"
Zafran menarik napas panjang. Sejenak ia memejam untuk meredam ngilu yang menjalar saat sosok itu kembali masuk ke dalam obrolan. Rasanya bahkan masih sama. Menyakitkan. Zafran belum bisa melupakan bagaimana sosok yang selama ini selalu ia jadikan tumpuan itu pergi dan tidak akan pernah pulang. Sederhananya, Zafran belum bisa menerima kenyataan.
Pemuda itu menatap Kean sekilas sebelum akhirnya menepis tangannya pelan.
"Gue butuh waktu, Key. Gue harap lo ngerti."
Setelahnya Zafran berbalik, menjauh dari tempat Kean berpijak dan membiarkan tubuhnya hilang ditelan jarak. Menyisakan Kean yang masih memaku di tempat dengan pandangan tertuju ke arah sosok itu lenyap.
Senyum getirnya menguar, lalu bibir itu kembali terbuka pelan, membisikkan kata tepat saat binar di matanya memudar.
"Dan gue butuh lo, kak."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.