Lembar Ketiga

10.9K 966 20
                                    

Dingin ruang itu menjadi hal pertama yang menyambut kepulangan Zafran. Sejenak, kakinya berhenti setelah selangkah melewati pintu. Dia membeku, membiarkan pandangannya menyapu sekeliling.

Hampa. Tak ada lagi hangat sapa yang biasanya selalu menyambut hadirnya. Tak ada tawa yang seolah menariknya untuk melakukan hal serupa. Tidak ada Papa ... yang selalu menemaninya berbagi cerita. Sesak itu kian nyata dan Zafran mulai tertikam oleh siksanya. Dia rindu, sayang ... rindunya tak akan pernah tertuju.

"Kak?"

Suara Kean disusul tepukan pelan di pundaknya membuat Zafran tersadar. Dia mengerjap lalu beralih pada Kean yang menatapnya heran.

"Kenapa?"

 Zafran menggeleng singkat. Tidak ingin membawa pikiran barusan ke dalam perbincangan yang lebih panjang. Lebih dari itu, dia tak ingin kembali berdebat dengan Kean.

"Nggak. Lo masuk aja duluan, mandi, habis itu langsung istirahat."

Bukannya beranjak, Kean justru memincingkan mata. "Lo ... nggak lagi ngerencanain buat kabur lagi, kan?"

"Kalau lo masih curigaan gini, mungkin gue bakal bener-bener berubah pikiran."

Kean hanya menanggapi jawaban Zafran dengan kekehan. Meski dikatakan dengan tampang datar dan nada tajam yang selalu jadi andalan, Kean tahu kakaknya tidak akan serius bertindak demikian. Yah, kecuali jika dia bertingkah menyebalkan atau membuat kesalahan fatal yang tidak bisa Zafran maafkan.

"Gue udah suruh Pak Rudi kunci semua pintu dan stand by 24 jam. Jaga-jaga kalau lo beneran mau minggat lagi tanpa bilang-bilang."

"Kalau gue mau, gue bisa aja keluar dari rumah ini dengan gampang. Gue selalu lebih licik dari lo, Key ... gue ingetin kalau lo lupa."

Kali ini Kean melepas tawa, sementara matanya mengikuti punggung Zafran yang bergerak menuju dapur. Kean ingat, ini adalah tawa pertamanya semenjak kepergian papa.

"Terserah. Tapi karena lo udah bilang gitu, gue bakal lebih waspasa." sahut Kean sebelum akhirnya berlalu, menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Meninggalkan Zafran sendiri di sana yang diam-dian mengubah pandangannya menjadi hampa.

Dia menuang air putih ke dalam gelas, meneguknya hingga tandas kemudian kembali diam. Samar, telinganya menangkap suara pintu kamar Kean yang ditutup pelan, lalu semua hening di detik-detik selanjutnya. Tak ada suara. Sedang Zafran masih membeku di sana, berusaha meredam pedih yang menikamnya melalui setiap ingatan tentang papa.

🍁🍁🍁

Tengah malam, Kean mendorong pelan pintu kamar Zafran. Dia melongokkan kepalanya ke dalam dan langsung menangkap sosok Zafran yang masih terjaga di atas ranjang. Kean tersenyum singkat kemudian melangkah masuk tanpa persetujuan. Dia sudah menduga sejak awal, kakaknya itu pasti baru akan tidur setengah lewat tengah malam.

"Kak,"

Zafran sontak mengangkat pandang, menatap heran Kean yang berjalan mendekat lalu melompat ke sisinya.

"Belum tidur lo? Tumben,"

Kean menarik satu bantal di belakang punggung Zafran lalu berbaring nyaman. Dia memerhatikan kakaknya yang masih sibuk menatap layar ponsel sambil sesekali melontar umpatan. Perlu digaris bawahi, Zafran itu bukan orang yang serius, tapi dia bisa menjadi sepuluh kali lebih serius saat dihadapkan dengan game.

"Belum ngantuk." jawab Kean. Dia sedikit mencuri pandang pada permainan di layar ponsel Zafran dan setelah memastikan dirinya tak tertarik untuk melihat lebih jauh, dia kembali membaringkan tubuhnya, membiarkan Zafran tenggelam dalam kesibukannya sendiri.

Tentang KeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang