Aku berniat untuk pulang dan berjalan melewati koridor saat kulihat ada kerumunan ditengah-tengah lapangan basket. Mulanya aku tidak berniat melihat apa yang membuat orang-orang heboh itu. Karena aku yakin itu pasti perkelahian antar mahasiswa dengan sebab yang amat sangat tidak penting.
"Hey, Bowman!" aku menoleh dan mendapati seorang pemuda asing yang tak kukenal sedang memanggil nama belakangku dengan raut wajah cemas. "Kekasihmu berkelahi dengan Collins!"
Collins? Dahiku mengkerut, berusaha mengingat ingat lagi siapa Collins yang dimaksud. Beberapa detik setelahnya, otakku yang mendadak bergerak sangat lambat ini akhirnya mengerti siapa Collins. Tubuhku menegang seketika. Aku sudah berniat untuk pulang sesegera mungkin . . .
. . . namun, siapa yang ia maksud dengan kekasihku?
Kepalaku makin pening memikirkan ini.
Kekasihku?
Sejak kapan aku memiliki seorang kekasih?
Aku sendiri tidak tahu aku memiliki seorang kekasih, namun pemuda asing tadi tahu siapa kekasihku?
Akhirnya, rasa penasaran mendorongku untuk mendekat dan menembus kerumunan orang yang bersorak keras layaknya penonton perkelahian pada umumnya. Begitu sampai di tengah-tengah keramaian, aku langsung terperanjat.
Ian?
Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang ini.
Ian dengan membabi buta memukuli Collins dan Collins tidak mau kalah membalas pukulan Ian dengan sadisnya. Tidak ada satupun orang yang mau melerai pria-pria bertubuh besar ini. Mataku menjelajah mencari keberadaan Tommy atau Sidney di antara kerumunan. Namun, nihil. Kedua orang itu memang tidak tahu sahabatnya disini sedang adu pukul dengan Collins.
Collins. Sebenarnya, aku senang melihat pria jahanam itu kini tidak berdaya di bawah kungkungan lutut Ian, menerima bogem-bogem mentah dari tangan Ian.
Namun, kesadaran akan konsekuensi dari perkelahian ini membuatku refleks mengambil tindakan untuk menarik Ian dari atas tubuh Collins. Ian baru saja akan memukulku karena berani menghalanginya memukuli Collins. Namun, begitu ia melihatku, tangannya hanya mengambang di udara dengan nafas yang masih tersengal-sengal. Bahunya yang tegang akhirnya bisa rileks. Pria itu langsung bangkit dari atas Collins yang kini mengusap ujung bibirnya yang mengeluarkan darah, dan meludahkan air ludahnya yang bercampur darah ke tanah.
"Dia bagian dari perjanjian. Jauhi dia, kau brengsek!" ancam pria itu sebelum pergi meninggalkan Collins yang langsung ditolong teman-temannya.
Aku sempat melihat Collins mengedipkan sebelah matanya padaku membuatku bergidik ngeri. Tanpa ba bi bu, aku langsung berlari menyusul Ian yang menghilang begitu saja secepat kilat. Kuedarkan pandanganku ke segala arah dan akhirnya melihatnya berjalan masuk ke dalam toilet pria.
Aku berjalan cepat menuju pintu masuk toilet pria dan menunggunya diluar. Tak selang beberapa lama, ia keluar dan melewatiku begitu saja seolah aku ini tanaman hias yang sama sekali tidak penting baginya. Mungkin aku tidak penting. Tapi, haruskah ia begitu pada seseorang yang baru saja menyelamatkan nyawanya dari bahaya gegar otak atau semacamnya? Dan bisa-bisanya pria asing tadi menyebut Ian kekasihku. Setan apa yang merasuki pikiranku sampai aku menjadi kekasih pria es itu?
Kutepis monolog konyol yang secara kurang ajar masuk ke dalam pikiranku dan langsung mengejar langkahnya yang panjang-panjang itu sebelum aku kehilangannya lagi.
"Ian. Tunggu sebentar." Seruku. Kuputuskan untuk berhenti mengikutinya karena jalannya yang cepat sekali. Nafasku hampir habis karenanya.
Syukurlah saat mendengar seruanku, Ian langsung berhenti melangkah. Aku memanfaatkan momentum ini dengan sebaik mungkin untuk segera berlari mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello. I'm Coraline.
Mystery / Thriller"Kau punya cukup nyali untuk seorang wanita, Coraline." Coraline tersenyum sinis. "Tentu saja, aku bukan pengecut sepertimu." "Aku bahkan tidak yakin kau dapat menembakku dengan senjata kecilmu itu." "Benarkah?" Coraline mengedikkan bahunya santai...