Handoko sedang menonton tayangan sepak bola di televisi saat Neia keluar dari kamar usai mandi dan berpakaian. Sesaat, Neia merasa heran, sebab Handoko hanya akan menonton pertandingan Persija dan Timnas Indonesia. Sampai kemudian Neia melihat kedua mata pria itu tertutup dan mulutnya sedikit terbuka.
Mematikan televisi, Neia tak lantas membangunkan Handoko. Dengkuran pria itu menyuarakan kelelahan. Lelah fisik dan pikiran membuat Handoko mudah tertidur, bahkan dalam posisi duduk sekalipun. Sambil menunggu Handoko terbangun, Neia mencuci peralatan makan kotor yang masih teronggok di bak cuci piring.
Perasaannya masih tak keruan. Berawal dari saat ia melihat Handoko datang ke restoran bersama Ares dan beberapa orang rekan kerjanya tadi siang. Neia terus membatin. Dari sekian banyak orang dan perusahaan di Jakarta, kenapa kedua pria itu harus dipertemukan? Pertemuannya dengan Ares di apartemen ini saja sudah menjadi kejutan besar yang membuat hari-harinya diliputi kegelisahan.
Segala usaha yang Neia lakukan untuk menjalani hidup baru rasanya sia-sia saja ketika ia kembali melihat wajah Ares pekan lalu. Tujuh tahun yang lalu, ia meninggalkan Ares demi kebaikan mereka berdua. Tujuh tahun kemudian, mereka bertemu lagi, dan perasaan-perasaan itu kembali menghantui Neia. Pada awalnya, keberadaan Astrid sempat membuat Neia merasa lega. Namun, semakin sering bertemu Ares, Neia khawatir perasaan itu masih tersisa. Tak hanya di dasar hati Ares, tapi juga di relung hatinya sendiri.
“Hei, I miss you.” Tiba-tiba seseorang memeluk Neia dari belakang. “So much.”
Neia menjatuhkan gelas yang sedang dicucinya. Untungnya tidak sampai pecah. “Mas! Ngagetin aja!”
Handoko tersenyum. Ia mengeratkan pelukannya sambil menciumi leher Neia.
“Mas, stop! Aku lagi nyuci piring.” Neia menggeliat-geliat, berusaha melepaskan pelukan Handoko.
“Saya kangen banget sama kamu, Sayang,” ujar Handoko setengah berbisik. “Memangnya kamu nggak kangen sama saya?”
“Iya, iya, kangen, Mas.” Terakhir kali mereka bertemu sekitar sebulan yang lalu. Kesibukan Handoko di kantor dan di rumah membuat mereka sulit bertemu. Namun, Neia tak yakin apakah dirinya pernah benar-benar merasa rindu terhadap pria itu. “Tapi tolong dong, Mas lepasin aku dulu sampai aku selesai cuci gelas dan piring.”
“Oke.” Handoko menuruti permintaan Neia. Namun, sesaat setelah melepaskan pelukannya, ia berhasil mencuri ciuman dari bibir Neia.
Ini bukan kali pertama Handoko melakukannya dan Neia akan menganggapnya wajar. Namun, kali ini ia merasa terhina, bahkan seperti dilecehkan. Bayangan Ares meruang di kepalanya, seakan sedang mengawasinya, dan kemudian memperingatkannya tentang hal-hal yang benar dan salah.
Mengingat pembicaraan mereka selama perjalanan pulang satu jam yang lalu, Neia bisa menyimpulkan bahwa Ares sudah mengetahuinya. Baginya, tak ada pria yang lebih peka daripada seorang Ares Mahesa. Sejak dulu, Ares selalu tahu apa yang terjadi antara Neia dengan pria-pria yang dekat dengannya, padahal Neia tak pernah menceritakannya. Kepekaan seorang pria yang tengah jatuh cinta ditambah intuisi seorang penulis novel membawa Ares selangkah lebih maju dari seorang cenayang, jika itu menyangkut soal Neia.
“Mas sudah janji kan, nggak akan bertingkah macam-macam kalau kita sedang berada di tempat umum!” tuntut Neia, usai mencuci semua peralatan makan kotornya.
“Ya,” angguk Handoko. “Lalu?”
“Tadi siang, Mas sudah keterlaluan. Melewati batas.”
“Oh ya? Di bagian mana?” Handoko mengerutkan dahi. “Seingat saya, tadi saya nggak berbuat macam-macam. Saya hanya menyapa kamu dan sedikit berbasa-basi menanyakan bos kamu yang tak lain adalah sahabat saya. Masih wajar, kan?!”
Neia mendesah. Bahkan, gelagat sesederhana itu saja bisa dideteksi Ares sebagai sebuah hubungan rahasia, dan Neia tak sanggup menyanggahnya. Ia berharap, hanya Ares satu-satunya manusia di dunia yang memiliki kemampuan semacam itu.
“Tetep aja, Mas. Itu bisa menimbulkan kecurigaan orang-orang.”
“Orang-orang? Siapa? Karyawan restoran? Atas dasar apa mereka mencurigai kita sebagai pasangan?”
“Mas nggak tahu saja, beberapa orang dari mereka suka bergosip. Waktu pertama kali kerja di sana, aku pernah digosipkan sebagai simpanan Pak Ferry sahabat Mas.”
“Siapa yang bilang begitu? Nanti saya laporkan ke si Ferry biar dipecat saja.”
“Mas nggak perlu tahu siapa orangnya, dan nggak perlu repot-repot ngelakuin hal itu!” tegas Neia. “Mas hanya cukup bersikap wajar, biasa saja, dan tidak memancing kecurigaan orang-orang di sana dan di tempat umum lainnya.”
Selama beberapa saat, Handoko terdiam. Meski merasa sedikit aneh dengan ketakutan Neia yang berlebihan, Handoko lantas merenungkannya dan menyadari sisi benarnya. “Oke. Saya janji akan lebih berhati-hati lagi saat berada di tempat umum.”
“Lagian kenapa sih, Mas harus makan siang di Rona Resto?”
“Seingat saya, ini bukan pertama kalinya saya makan di Rona Resto. Dan kamu nggak pernah sepanik ini.”
Neia mulai frustrasi. “Aku cuma... menghindari... Mas ngerti, kan?!”
“Kamu tidak perlu khawatir, Sayang,” ujar Handoko tenang. “Setiap kali saya melakukan sesuatu, itu selalu melalui perencanaan yang matang. Saya menempatkan kamu di Rona Resto dengan berbagai alasan yang paling baik dan aman. Begitu juga dengan kedatangan saya tadi siang. Pagi ini Miranda pergi ke Singapura untuk menjenguk sahabatnya yang mengalami kecelakaan. Anak-anak saya juga nggak mungkin berkeliaran di mal saat jam makan siang.”
Tentu saja bukan istri dan anak-anak Handoko yang dicemaskan Neia, tetapi Ares. “Kenapa Mas nggak ngasih kabar kalau Mas bakal makan siang di sana?”
“Kenapa saya harus ngasih kabar dulu? Biasanya juga nggak kayak gitu. Baru kali ini kamu komplain soal ini.”
‘Supaya aku bisa bersembunyi dari Ares!’ jawab batin Neia. “Pokoknya, lain kali Mas harus bilang-bilang dulu kalau mau makan di sana. Oke?”
“Iya, iya, oke.” Handoko menyerah. “Apa lagi?”
Neia menggeleng. Kalau saja ia bisa mengusir Handoko malam ini, ia pasti sudah melakukannya.
“Kamu tahu, nggak, sebesar apa rindu saya sama kamu?” Handoko mendekatkan tubuhnya pada Neia. Meski usianya sudah berkepala lima, tubuhnya masih terlihat bugar dan menarik. Ia masih rutin berolah raga di gym setidaknya dua kali dalam seminggu. “Lebih besar dari yang bisa kamu bayangkan.”
Kali ini, Neia tak bisa menolak pelukan hangat dan ciuman panas Handoko yang penuh kerinduan. Satu-satunya hal yang menyelamatkannya adalah kenyataan bahwa ia sedang datang bulan.
*
“Lo kesambet setan apartemen baru?” reaksi spontan Bram saat mendengar gagasan bodoh Ares untuk mundur dari proyek iklan laptop itu. “Susah payah usaha tim marketing kita buat ngegaet klien besar kayak mereka bakal lo sia-siakan begitu aja?”
“Proyek ini bakal tetep kalian kerjain. Tanpa gue.”
“Kasih gue alasan yang masuk akal, Res!”
Sesaat Ares terdiam. Ia tahu Bram takkan memahami kegelisahannya, apalagi menerima alasannya. Kemarin, Ares menemui Neia di restoran saat Neia sedang break, mengajaknya berbincang di sebuah kedai kopi. Ia mengonfirmasi kebenaran atas dugaannya tentang hubungan terlarang antara Neia dan Handoko. Neia tak bisa berkelit, dan akhirnya membenarkan dugaan Ares.
“Udah berapa lama kamu berhubungan dengan dia?” tanya Ares kala itu.
“Hampir dua tahun,” jawab Neia, lirih.
Leher Ares serasa dicekik, dan jantungnya bagai diremas-remas. “Kenapa, Nei? Kenapa...?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kupikir kamu sudah berubah. Ternyata malah semakin parah.” Ares terkenang kembali kisah masa lalu Neia. Setelah beberapa minggu melakukan pendekatan dengan Neia pada masa itu, Ares tahu bahwa Neia lebih tertarik pada pria matang yang usianya cukup terpaut jauh dengannya.
Dulu, Neia pernah berhubungan dengan seorang pria berusia akhir tiga puluhan pemilik distro. Namun, hubungan mereka tidak berjalan ke mana-mana karena beda agama. Mereka pun putus setelah hampir setahun berpacaran. Si pemilik distro menikah dengan wanita yang seiman. Setelah itu, Neia berbuhungan dengan duda beranak satu, PNS di bidang keuangan dan perpajakan. Hubungan mereka hanya berjalan tiga bulan. Neia mengakhirinya setelah mengetahui si duda punya dua selingkuhan.
Lepas dari si duda, Neia berkencan dengan seorang pengusaha properti berusia empat puluhan. Enam bulan kemudian, si pengusaha mengakhiri hubungan mereka karena ketahuan istrinya. Tak lama setelahnya, Neia berkenalan dengan pria asal Indonesia yang tinggal dan bekerja di pertambangan minyak di Malaysia. Neia pergi menemui pria berusia akhir empat puluhan itu dan kemudian menetap di sana. Meninggalkan Ares dan semua kenangan mereka.
Kini, Neia menjalin hubungan terlarang dengan Handoko, direktur perusahaan alat elektronik, berusia awal lima puluhan, beristri dan memiliki dua orang putri, dan sialnya lagi ia merupakan klien potensial bagi perusahaan tempat Ares bekerja.
“Kamu nggak berhak nge-judge aku, Res. Ini sama sekali bukan urusasnmu!” sergah Neia.
“Kamu nggak akan bahagia dengan menjalani hidup seperti ini, Nei.”
“Sejak dulu, aku nggak pernah hidup bahagia.”
“Salah. Kamu pernah bahagia saat kita bersama-sama dulu.”
“Kamu keliru, Res. Yang bahagia itu cuma kamu. Sedangkan aku...? Sejak awal, aku nggak pernah punya perasaan apa-apa sama kamu. Kamu cuma bocah, anak ingusan yang nggak tahu apa-apa soal kehidupan.”
Kata-kata itu masih dan selalu terdengar menyakitkan bagi Ares. “Kalau kamu nggak pernah bahagia saat kita bersama-sama, pasti kamu nggak mau lagi bertemu denganku setelah kamu membentakku dengan sebutan psikopat pada malam itu. Pasti kamu nggak pernah sudi menemaniku jalan-jalan di hari libur. Pasti kamu nggak akan bersedia kutemani saat bekerja, pergi ke tempat-tempat yang kamu inginkan, makan makanan yang kamu idamkan, membeli barang-barang kebutuhan keluargamu, hingga saat mencari keberadaan si PNS yang mengkhianatimu itu.”
“Kamu hebat dalam urusan mengingat-ingat kenangan masa lalu.” Neia bertepuk tangan dengan sinis. “Sejak dulu, kamu memang hebat dalam beberapa hal, kecuali memahami kehidupan.”
“Secara usia, aku hanya setahun lebih muda dari kamu, Nei. Pengalaman hidup kita rasanya nggak jauh beda. Dan sudah berkali-kali aku bilang bahwa kedewasaan dan kematangan seseorang nggak dilihat dari berapa usianya, tapi dari bagaimana cara dia bertindak.”
“Menurutmu, tindakan kamu waktu itu sudah cukup mencerminkan pria dewasa yang paham soal kehidupan?”
“Tergantung sudut pandangmu dalam menilainya, Nei. Kalau kamu menilai kedewasaan dan kematangan seorang pria berdasarkan angka, mungkin jawabannya tidak. Kamu tidak pernah menganggapku sebagai pria dewasa hanya karena usiaku lebih muda, dan saat itu aku cuma seorang mahasiswa kere yang nggak punya penghasilan. Begitu, kan?!”
Neia terdiam.
“Sudahlah, Nei. Cukup. Berhenti merendahkan dirimu sendiri seperti ini.”
“Apa maksud kamu?”
“Aku tahu, sebenarnya kamu bukan cewek matre. Kamu melakukan semua ini karena tuntutan keluarga...”
“Cukup, Ares!” potong Neia dengan tegas. “Jangan sangkut pautkan semua ini dengan keluargaku. Dan berhentilah menguliahiku seakan kamu lebih memahamiku dibanding diriku sendiri. Urus saja urusanmu sendiri. Jangan mencampuri kehidupanku lagi!”
“Aku hanya ingin melihat kamu bahagia, Nei. Nggak lebih.”
“Meskipun aku nggak bahagia, percayalah, hidupku nggak semenyedihkan yang kamu kira.” Neia bangkit dari kursi kedai kopi tempat mereka bertemu sore itu, lalu pergi meninggalkan Ares setelah berkata, “Aku percaya, kamu nggak akan bilang apa-apa soal kita kepada Mas Handoko.”
Membayangkan wajah pria itu saja sudah membuat Ares muak dan murka. Ares tak mungkin bisa bekerja sama dengan seseorang yang ia benci. Meskipun mereka akan jarang bertatap muka, tetap saja ketika mengerjakan proyek itu, Ares akan teringat pada sosok pria menjijikkan itu. Alih-alih memberikan yang terbaik, Ares malah ingin menghancurkan perusahaan Handoko.
Lantas, alasan seperti apa yang harus Ares sampaikan kepada Bram perihal pengunduran dirinya dari proyek iklan itu?
“Gue... gue didiagnosis penyakit serius. Gue mau ambil cuti gue tahun ini buat istirahat total dan menjalani pengobatan.”
“Penyakit serius macam apa yang bisa menyerang manusia bersih dan sehat kayak lo?”
“Kanker otak.”
“Jangan ngawur, Res!”
*
Ares mengakhiri panggilan telepon dengan memberi kecupan jauh untuk Astrid. Setitik rasa bersalah menghantuinya ketika ia mengingat kebohongannya terhadap Astrid beberapa saat yang lalu. “Aku nggak pernah secara sengaja menemui Neia. Karena kita bertetangga, ya sesekali aku berpapasan sama dia di area apartemen ini.”
“Kamu yakin?” telisik Astrid.
“Aku yakin kamu bukan tipe cewek pencemburu yang berlebihan.”
“Kamu yakin apa yang kamu bilang tadi sesuai kenyataan yang terjadi?”
“Sayang, lebih baik kamu fokus pada tugasmu di sana daripada menggubris prasangkamu yang tidak beralasan itu.”
Sesaat Astrid terdiam. “Oke. Aku percaya. Dan aku harap, kamu nggak akan pernah merusak kepercayaanku ini.”
“Percaya pada seseorang bukan berarti kamu memberi orang itu kebebasan untuk melakukan apa saja yang ia kehendaki, tapi hal itu berarti bahwa kamu membebaskan dirimu sendiri dari perasaan dan prasangka buruk yang tidak kamu kehendaki.”
Dalam satu hari, Ares sudah membohongi dua orang dengan dua kebohongan yang berbeda. Sayangnya, Bram tak mudah dibohongi begitu saja. Alih-alih kanker otak, Bram lebih yakin penyakit yang diderita Ares bernama Kurang Percaya Diri. Alhasil, pengunduran diri Ares dari proyek iklan itu tidak dikabulkan. Berbeda dengan Bram, Astrid lantas memercayainya, tetapi itu justru membuat Ares merasa bersalah.
Ternyata, rasa bersalah karena kebohongan yang tak terungkap jauh lebih menyiksa daripada rasa bersalah akibat kebohongan yang terkuak.
Hampir pukul dua belas malam. Ares kembali ke meja kerjanya, menghadapi monitor laptop yang menayangkan naskah skenario sebuah film. Ia merevisi bagian yang ditandai warna merah. Seandainya hal itu bisa dilakukan dalam alur kehidupannya, Ares sudah tahu bagian mana saja yang akan direvisinya.
*
Neia menghela napas lega setelah memastikan semua tugasnya sudah tuntas dengan baik. Hari ini tidak ada komplain dari pengunjung restoran. Tidak ada minus dalam laporan keuangan kasir. Tidak ada peralatan makan dan masak yang pecah, rusak, atau hilang. Laporan stok bahan makanan dan bumbu dari bagian dapur sudah ia cek dengan teliti. Catatan pembelian bahan makanan dan bumbu untuk besok pun sudah ia buat.
Neia hampir selalu menjadi orang yang terakhir pulang. Tak terkecuali malam ini. Saat sedang menunggu taksi online di lobi mal, ia melihat sebuah Mercedes Benz berwarna silver melaju ke arahnya. Mobil itu mirip mobil milik Handoko, bahkan hingga ke nomor platnya. Oh, tentu saja itu mobil Handoko! Pikir Neia.
Karena tak enak pada pengemudi taksi online yang sedang dalam perjalanan ke lobi mal, Neia tidak serta-merta membatalkan pesanannya. Lagi pula, ia tak punya nyali menghampiri mobil Handoko dan kemudian menyapa sang pengemudi di dalamnya. Namun, mobil itu berjalan melambat saat melintas di depan Neia, seakan-akan siap berhenti sejenak untuk menjemput Neia.
Mobil itu benar-benar berhenti di sana. Tepat di depan Neia.
Perasaan Neia mulai tak keruan seakan ini baru pertama kali terjadi. Masih dengan kekhawatiran yang sama. Bagaimana kalau ada orang yang mengenali mereka pulang bersama di waktu hampir tengah malam begini?
Sebelum Neia sempat memanggil nama Handoko, seseorang di belakang kursi kemudi menurunkan kaca mobil sebelah kiri, lalu menyapanya. “Hai, selamat malam...”
Seketika Neia terkejut. Suara itu bukan milik Handoko, dan wajah itu tampak tak asing lagi di ingatannya. Wajah yang sebelumnya tak terlihat jelas karena tertimpa pantulan cahaya dari segala arah itu, kini tersenyum kepadanya. Seorang wanita bermata sipit dan bambut bob duduk di kursi pengemudi. Hanya ada dia sendiri di mobil itu.
Entah sadar atau tidak, Neia mengambil satu langkah ke belakang, menjauhi mobil itu. Kalau bisa, ia akan segera menghilang sebelum wanita itu mengucapkan kata-kata lain kepadanya. Semisal, “Jadi, kamu selingkuhan suami saya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Liar
RomanceAres tak pernah menduga kepindahannya ke apartemen baru akan mempertemukannya dengan Neia. Cinta lama yang bertepuk sebelah tangan karena gadis itu memilih pria yang lebih mapan. Sementara Astrid (pacar sekaligus roommate-nya) pergi bertugas ke luar...