Sebuah buku bersampul hitam mencuri perhatian Ares. Ukurannya lebih kecil dari buku-buku lainnya di dalam dus. Debu yang menempel di permukaannya kini berpindah ke ujung jemari Ares, dan sebagian terbang setelah ditiup.
Tulisan tangan Ares memenuhi hampir semua halaman di dalamnya. Kumpulan inspirasi dalam bentuk kata dan kalimat acak, juga coretan gambar sederhana. Seorang senior di komunitas tempatnya belajar menulis dulu pernah bilang, "Inspirasi jangan ditunggu, tapi harus dicari, dijemput, lalu diikat. Kamu harus selalu membawa buku catatan kecil untuk mengikatnya."
Buku itu merupakan saksi bisu perjalanan karier Ares sebagai penulis selama hampir sepuluh tahun ini. Sudah layak disebut buku pusaka keramat, mengingat keberadaannya yang selalu menyertai Ares di mana pun ia bermukim.
Di halaman-halaman terakhir, Ares menemukan tulisan tangan orang lain yang tampak lebih rapi. Tulisan tangan seorang gadis. "Kalo udah jadi penulis sukses, jangan sombong ya, Res!"
Ares tersenyum.
Boleh dibilang, kini Ares Mahesa adalah seorang penulis sukses. Novel pertama dan keduanya laris manis dan dicetak ulang sebanyak sepuluh dan tujuh kali dalam rentang waktu yang cukup kerap. Selain novel, Ares juga menulis naskah iklan, serial TV, FTV, dan film layar lebar.
"Udah selesai?" tanya seorang perempuan, membuat Ares terkejut. Astrid baru pulang berbelanja dari minimarket di lantai dasar apartemen.
Ares berusaha bersikap wajar. Dengan cepat, ia memasukkan buku hitam itu ke dalam laci meja kerjanya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. "Um, hampir."
Astrid meletakkan kantong belanjaan di meja. Mengeluarkan dua kaleng minuman dingin. Satu untuknya, satu untuk Ares. "Sini, aku bantuin."
"Nggak usah. Terima kasih." Ares menerima minuman kaleng dari Astrid lalu meneguknya.
"Kamu tuh nggak percayaan banget sih, Sayang?!" Astrid mengambil dua buah buku dari dalam dus, kemudian berusaha menatanya ke dalam rak. "Aku juga bisa mengatur buku-bukumu dengan rapi. Sesuai ukuran dan warna."
Ares memindahkan buku yang baru diletakkan Astrid ke bagian rak yang berbeda. "Yang udah-udah, aku jadi kerja dua kali."
"Ih, jahat!" Astrid meninju triseps Ares, lalu menyandarkan kepala di bahu Ares yang bidang. "Aku kan cuma pengin membantu, bukannya mau nyusahin kamu."
"Kamu udah cukup banyak membantuku, Sayang," hibur Ares. "Apa jadinya naskahku tanpa editor hebat seperti kamu?"
"Tapi, itu kan memang pekerjaanku." Astrid kembali menegakkan kepalanya, kemudian meneguk minumannya. "Aku melakukannya secara profesional."
"Kamu juga membantuku mengedit naskah iklan dan film, yang notabene di luar tugas dan tanggung jawab profesionalmu sebagai editor dari penerbit novelku. Dan kamu juga banyak membantuku melewati saat-saat pertamaku tinggal di ibu kota yang keras ini."
"Udah ah, nggak usah dibahas. Aku melakukannya dengan ikhlas."
"Terima kasih ya, Sayang." Ares memeluk Astrid dari belakang. "Sekarang kamu duduk cantik aja. Urusan menata buku di dalam rak dan beres-beres ruangan, kamu serahkan saja kepada ahlinya."
"Iya deh. Aku memang nggak jago beres-beres, dan aku nggak bakal mengganggumu."
Ares mengecup bibir Astrid sebelum mereka berdua melakukan aktivitas masing-masing. Ares lanjut menata sisa buku ke dalam rak, sedangkan Astrid membaca novel di sofa sambil menikmati camilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Liar
RomansaAres tak pernah menduga kepindahannya ke apartemen baru akan mempertemukannya dengan Neia. Cinta lama yang bertepuk sebelah tangan karena gadis itu memilih pria yang lebih mapan. Sementara Astrid (pacar sekaligus roommate-nya) pergi bertugas ke luar...