Neia menangis histeris saat Ares bilang, wanita itu sudah tak bernyawa.
“Tenang, Nei. Tenang.” Ares mengusap-usap punggung Neia, kemudian memeluknya.
Bagaimana Neia bisa tenang kalau sekarang ia punya predikat baru sebagai seorang pembunuh? Bayangan ruang pengadilan dan penjara mulai menghantuinya.
“Semuanya akan baik-baik saja,” hibur Ares.
Apa pun yang diucapkan Ares tak lebih dari omong kosong bagi Neia. Namun, Neia tak bisa membayangkan bagaimana dirinya tanpa kehadiran Ares sekarang. Menangis dalam pelukan Ares terasa sedikit lebih melegakan daripada menangis sendirian.
Ares melepaskan pelukannya, kemudian mengambil segelas air untuk Neia.
“Res, aku... aku nggak sengaja,” ungkap Neia setelah meneguk air mineral yang tak mampu meredakan kecemasannya sedikit pun. Tangannya masih gemetar dan nyaris menjatuhkan gelas ke lantai kalau saja Ares tidak sigap mencegahnya.
“Iya, iya,” angguk Ares. “Tapi, siapa dia?”
Neia melirik mayat yang terbaring kaku itu sesingkat mungkin. “Miranda.”
“Miranda?”
“Istri Mas Handoko.” Neia berusaha menahan diri untuk tidak menangis lagi, tetapi gagal. Ia duduk di sofa sambil memeluk lutut. “Apa yang harus aku lakukan, Res?”
Neia tak mendengar jawaban. Ditatapnya wajah Ares yang sarat kebingungan. “Aku nggak mau masuk penjara!” Tangisan Neia semakin dalam.
Ares menatap Neia setelah berpikir beberapa saat. “Tenang, Nei. Aku akan mengurus semuanya.”
Lebih dari sekadar menganggap itu omong kosong, kini Neia menggantungkan harapannya pada Ares. Semoga pria itu punya solusi terbaik. Apa pun itu.
“Tunggu sebentar, ya.” Ares keluar dari apartemen Neia. Meninggalkan Neia dalam kekalutan yang luar biasa.
Sesaat setelah Ares pergi, Neia merasa apartemennya mendadak berubah menjadi ruangan penuh teror yang mencekam. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya hingga ia semakin gemetaran. Bayangan dosa dan konsekuensi menyerupai kegelapan yang siap mengisapnya dalam lorong kengerian tanpa pengampunan.
Neia tak lagi bernyali melirik Miranda yang sudah tak bernyawa. Sama seperti ketika Miranda masih hidup. Miranda yang dua hari lalu datang ke Rona Resto untuk makan siang bersama dua orang temannya. Miranda yang terus menatap Neia dari tempat duduknya selama menunggu kedua temannya tiba. Miranda yang seolah bersikap ramah tetapi diam-diam menyimpan rencana untuk menyerang Neia. Miranda yang beberapa saat lalu datang ke apartemen Neia dalam keadaan hidup, kini terbaring di lantai dalam keadaan mati.
Neia benar-benar tak sengaja melakukannya. Namun, siapa yang akan percaya?
Waktu berjalan begitu lambat. Detik jarum jam dinding terdengar lebih nyaring daripada biasanya. Neia tak pernah berharap lebih besar daripada ini terhadap Ares. Beraharap Ares akan kembali dan menyelamatkannya dari situasi ini.
Ares benar-benar kembali. Ia datang membawa sebuah koper besar berwarna hitam. “Kamu punya kain atau selimut, kan?!”
“Ada.” Neia bangkit dari sofa. “Tapi, kamu mau ngapain?”
“Aku boleh minta tolong ambilkan kain atau selimut itu?”
Neia tak punya pilihan lain. Ia lekas masuk kamar dan mengambil segulung selimut berwarna pink.
Ares sudah membuka koper lebar-lebar saat Neia menyerahkan selimut itu kepadanya. Ia kemudian membungkus tubuh Miranda dengan selimut, dan memasukkannya ke dalam koper yang dibaringkan di lantai setelah memastikan tak ada sesuatu yang terselip di antara jemarinya semisal rambut atau potongan kain dari baju yang dikenakan Neia. Bobot tubuh Miranda yang ringan memudahkan Ares melakukannya, dan bentuk tubuhnya yang ramping masih menyisakan sedikit ruang di dalam koper.
“Nei, tolong ambilkan kain pel dan sikat. Kalau ada, pemutih pakaian juga.”
“Pemutih pakaian? Aku nggak punya.”
“Detergen, sabun, atau apa pun.”
“Sabun mandi atau sabun pel?”
“Sabun pel. Plus ember.”
Neia bergegas ke toilet untuk mencari benda-benda yang dibutuhkan Ares. Ia lantas mengambil apa pun yang ditemukannya, lalu kembali kepada Ares di ruang tengah.
Ares membersihkan pecahan keramik vas bunga dengan hati-hati dan membuangnya ke tong sampah. Ia lalu menyikat lantai tempat Miranda terbaring tadi, mengepelnya hingga bersih dan mengilat. Tak ada lagi genangan atau bercak darah yang tertinggal. Sidik jari pun tak mungkin masih terjejak. Ares mengepel seluruh lantai di ruangan itu.
“Apa yang akan kamu lakukan dengan itu?” Neia menatap koper hitam.
Ares menghela napas lelah. “Aku akan menghilangkan jejaknya sejauh mungkin.”
“M-m-maksud kamu?”
“Nei, kamu nggak perlu memikirkan dan mengkhawatirkan apa pun lagi. Kamu percaya sama aku. Aku bakal mengurus semua ini dengan sebaik-baiknya. Dengan serapi-rapinya. Oke?”
Neia yang sudah kehabisan kata untuk bertanya dan meragukan tindakan Ares akhirnya hanya bisa mengangguk.
“Sekarang, kamu tenangkan diri. Aku akan kembali setelah mengurus semua ini.” Sebelum pergi, Ares memeluk Neia. Memberinya kekuatan untuk menghadapi situasi ini.
Berselang lima menit kemudian, Neia mendengar dering ponsel yang asing. Bukan miliknya. Suara itu berasal dari dalam sebuah tas mewah berwarna cokelat di meja. Tas milik Miranda.
*
Sudah enam jam berlalu sejak Ares pergi membawa koper hitam itu. Sudah puluhan kali Neia menatap jam dinding, mengecek ponsel dan berusaha menghubungi Ares tetapi tak ada tanggapan. Pesannya pun tak diacuhkan. Neia mondar-mandir di ruang TV, masuk kamar, bolak-balik ke kamar mandi, duduk, berdiri, mengintip dari lubang pintu dan jendela, minum bergelas-gelas air, dan berusaha mengalihkan kekacauan pikirannya dengan menonton televisi. Semua yang dilakukannya tak berdampak apa-apa selain membuatnya lelah.
Cemas. Takut. Gelisah. Resah. Semua bercampur aduk menyesakkan dadanya. Satu-satunya harapan baginya hanyalah Ares. Hidup matinya bergantung pada apa yang dilakukan Ares.
Apakah Ares mengubur mayat Miranda di tempat yang jauh dan tersembunyi?
Apakah Ares menenggelamkan mayat Miranda di laut?
Apakah Ares membakar mayat Miranda di suatu tempat?
Apakah Ares memotong-motong tubuh Miranda menjadi beberapa bagian kemudian menyebarkannya di tempat yang berbeda?
Apakah Ares... tertangkap polisi di tengah perjalanannya?
Kemungkinan terakhir membuat Neia semakin frustrasi. Jika memang benar demikian, tamat sudah riwayatnya. Bukan hanya dirinya yang akan hancur, melainkan juga Ares. Bagaimanapun, mayat Miranda ada padanya, meskipun Ares bukan pembunuhnya.
Jika tahu akan seperti ini, Neia takkan mengambil izin sakit. Pagi tadi, ia merasa pusing dan mual. Hanya gejala masuk angin, tetapi Neia memilih untuk beristirahat di apartemennya. Ia butuh ketenangan, setelah dua hari mendapat teror dari Miranda.
Entah apakah Neia yang terlalu paranoid atau bagaimana, sejak kedatangan Miranda ke Rona Resto hari Kamis itu, Neia merasa diawasi. Selama berada di restoran, beberapa kali Neia menangkap basah Miranda yang tengah menatapnya dari kejauhan. Miranda tidak menyapa atau mengajaknya berbicara. Namun, ada sesuatu yang ganjil di balik tatapannya. Seolah-olah, Miranda sudah tahu hubungan Neia dengan Handoko, dan ia sedang menahan diri dalam rangka menelisik kehidupan selingkuhan suaminya lebih dalam. Setelah Miranda dan kedua temannya pergi, Neia masih merasa terus diawasi ke mana pun ia pergi.
Perasaan yang sama masih mengganggunya pada hari Jumat. Setelah lari pagi di taman sekitar tempat tinggalnya, Neia melihat Miranda di dalam Audi hitam yang melaju lambat di jalanan. Miranda duduk di kursi belakang, dengan kaca mobil diturunkan. Seakan ia sengaja ingin menunjukkan eksistensinya kepada Neia, hingga membuat kontak mata dengan Neia selama beberapa detik.
Saat berada di restoran, Neia didatangi seorang wanita. Teman Miranda yang makan siang bersama pada hari Kamis. Wanita itu mengaku kehilangan anting sebelah kiri setelah makan di Rona Resto. Neia yakin itu hanya alasan yang dibuat-buat oleh wanita itu supaya bisa datang ke Rona Resto dan membuat sedikit keributan. Sebab, tak lama setelah mereka pergi meninggalkan restoran, Neia sendiri yang membersihkan meja, sementara sebagian dari pramusaji sedang beristirahat, dan Neia tidak menemukan perhiasan atau apa pun yang tertinggal. Sebelum pergi, wanita itu mengancam akan melaporkan pihak restoran atas perhiasannya yang hilang.
Ketika sedang menunggu taksi online untuk pulang, Neia dikejutkan seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang tiba-tiba mencaci-makinya dan bersumpah serapah. “Dasar, perempuan jalang! Murahan! Tunggulah azab dari Tuhan!”
Neia tidak kenal siapa wanita itu dan tak tahu apa motivasinya. Setelah berhasil mempermalukan Neia di muka umum, wanita itu berlalu pergi begitu saja. Neia mengejarnya untuk menuntut penjelasan atas kata-kata tadi. Namun, wanita itu terus menghindar dan berlari secepat mungkin. Taksi online pesanannya sudah tiba, Neia pun terpaksa melepaskan wanita itu.
Neia menduga, wanita aneh itu kiriman dari Miranda. Mungkin salah satu teman Miranda yang tidak muncul dalam acara makan siang bersama pada hari Kamis. Begitu pun dengan kiriman video dari nomor tak dikenal yang tiba-tiba muncul di WhatsApp-nya. Sebuah video yang menayangkan seorang wanita sedang menyawerkan uang seratus ribuan sambil mencaci maki wanita lain yang diketahui sebagai selingkuhan suaminya. Neia lekas memblokir nomor tersebut. Namun, nomor lain muncul dengan kiriman video berbeda. Di dalam video itu, si istri mendatangi si pelakor di kantornya kemudian mempermalukannya dengan cara yang kasar dan menyakitkan.
Semalaman Neia tak bisa tidur, hingga esok harinya ia terbangun dengan gejala masuk angin dan demam.
Di tengah waktu istirahatnya di dalam kamar, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Neia terkejut setengah mati saat mengintip dari lubang pintu, melihat siapa yang datang. Ia tak lantas membukanya. Sempat terpikir untuk mengabaikannya, seakan-akan ia tak berada di sana. Namun, Miranda tak bergeming, seolah ia yakin bahwa Neia berada di apartemennya.
Seharusnya, Neia tidak membukakan pintu dan mempersilakan Miranda masuk. Seandainya ia tahu apa yang akan terjadi kemudian.
Bel pintu berbunyi, membangunkan Neia dari lamunannya. Jantung Neia berdegup superkencang. Penuh kewaspadaan.
Siapa yang datang? Ares? Atau... polisi?
Ponsel milik Miranda sudah dinonaktifkan sejak enam jam yang lalu. Neia tak menemukan kunci mobil di dalam tas Miranda. Kemungkinan besar, Miranda diantar supir. Jika supirnya menunggu di tempat parkir, maka seharusnya ia sudah mencari Miranda sejak tadi. Namun, jika Miranda menyuruh supirnya pergi dan akan menghubunginya ketika ia hendak pulang, bisa jadi si supir yang akan menghubungi Miranda karena sang majikan sudah pergi terlalu lama. Karena ponsel Miranda sulit dihubungi, maka si supir pun akan mulai bertindak. Selama berjalan dari kamar menuju pintu depan, Neia terus memikirkannya.
Semoga kekhawatirannya salah. Semoga yang datang bukan siapa-siapa selain Ares.
“Nei! Neia!” Terdengar suara ketukan tangan di antara suara seseorang. “Ini aku, Ares.”
Seketika, Neia merasa lega. Pahlawan yang dinantikannya telah tiba.
*
Sebelas ribu kilometer jauhnya dari Jakarta, Astrid tengah berbaring di tempat tidur berukuran single. Ia baru saja tiba di kamar hotel, usai menjalani hari keempat pameran yang melelahkan tetapi menyenangkan. Stand dari Indonesia dikerubungi banyak pengunjung di hari pertama private visitor. Astrid pun beberapa kali melayani pengunjung di booth Arti Media yang bisa berbahasa Inggirs. Mereka yang hanya mampu berbahasa Jerman akan dilayani oleh seniornya, Linda.
“Gue mandi duluan ya, Trid,” ujar Rita.
“Tumben lo mandi,” ledek Astrid sambil memejamkan mata. “Kemaren-kemaren cuma cuci muka.”
“Hari ini lumayan bikin keringetan. Mungkin karena hawa manusia yang bejibun banyaknya.”
“Ah, iya bener.” Astrid membuka mata dan menatap Rita. “Berasa lebih capek juga. Padahal, selama trade visitor days kemarin kita lumayan olah raga, ya. Lari-lari dari satu hall ke hall yang lain biar nggak telat meeting.”
“Sepatu lo masih aman, kan?!”
“Dua-duanya aman. Gue bawa sepatu terbaik gue setelah Mbak Linda bilang kalau udara di sini nggak begitu bersahabat sama lem sepatu kita.”
“Waktu pertama kali gue ke sini tahun kemarin, kayaknya Mbak Linda lupa ngasih tahu gue soal itu. Jadi, gue pake sepatu ya pake aja, tanpa mikirin apa-apa. Yang penting nyaman dan kelihatan bagus. Padahal gue pake sepatu ori, lho. Tapi tetep aja, rusak. Untungnya kerusakannya nggak terlalu parah.”
Ponsel Astrid berbunyi. Notifikasi pesan masuk. Astrid berharap itu dari Ares.
‘Gimana hari keempatnya?’
Pesan itu datang dari Irgi. Desainer grafis yang baru setahun bekerja di Arti Media. Pria berkaca mata yang baik hati, manis, ramah, dan perhatian. Astrid berharap semua kebaikan Irgi tak hanya berlaku untuknya, melainkan juga bagi semua teman sekantornya.
‘Lancar,’ balas Astrid setelah melihat Rita pergi ke kamar mandi.
‘Syukurlah. Sekarang lagi di mana?’
Astrid mengabaikannya. Seandainya pertanyaan itu berasal dari Ares.
Chat terakhirnya dengan Ares tertanda pukul lima sore kemarin waktu Jerman, yang berarti sekitar pukul sepuluh malam waktu Jakarta. ‘Aku matiin HP ya, biar fokus ngerjain naskah. Love you.’
Hingga saat Astrid mengecek ponselnya sekarang, pesan balasannya bahkan belum dibaca Ares, meskipun statusnya sudah terkirim. Ia tahu, Ares memang bukan tipe orang yang suka chatting. Ia pun sadar bahwa selama ini mereka hanya chatting di saat-saat tertentu, sebab mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama secara nyata. Namun, tidakkah Ares merasa rindu atau semacamnya?
Ares hanya mengucapkan selamat pagi, selamat malam, dan selamat tidur di hari pertama Astrid tiba di Jerman. Setelah itu sampai sekarang, hampir tidak pernah. Astrid yakin, Ares akan menganggapnya kekanak-kanakan dan lebay karena mempermasalahkan hal seremeh ini.
Ini tidak akan menjadi masalah yang meresahkan, kalau saja mereka tidak bertetangga dengan Neia. Perempuan mana yang akan tenang meninggalkan kekasihnya bersama perempuan lain yang pernah memiliki masa lalu bersama yang misterius? Setelah sekian lama berhubungan dengan Ares, baru kali ini Astrid merasa cemburu dan insecure. Bahkan, perasaan-perasaan itu sudah muncul sejak pertama kali ia bertemu dengan Neia.
Selama berada di Frankfurt, separuh jiwanya seakan masih tertinggal di Jakarta. Untungnya, Astrid masih bisa bersikap profesional saat menjalankan tugasnya. Hak cipta penerbitan buku yang diincar penerbitnya sudah berhasil ia dapatkan. Ia merasa sangat bersyukur bisa bekerja di sebuah penerbit sebesar Arti Media yang memiliki reputasi baik di mata para penerbit internasional, terutama bagi mereka yang pernah menggalang kerja sama sebelumnya.
Dering ponsel membuat Astrid terkejut dan tersadar dari lamunannya. Sekali lagi, ia berharap itu panggilan dari Ares, tetapi ternyata bukan.
“Halo, Gi? Kenapa?”
“Gue khawatir lo kenapa-kenapa,” sahut Irgi di seberang benua sana.
“Ah, lebay, lo!”
“Gimana perut lo? Udah nggak sakit-sakit lagi?”
Lagi-lagi Astrid berharap pertanyaan itu diucapkan Ares. “Udah baikan.”
“Syukurlah. Nggak sampai ngeganggu aktivitas lo hari ini, kan?!”
“Enggak. Gue langsung minum obat sakit perut semalem. Pagi ini perut gue udah enakan.”
Sebenarnya, ini hal yang cukup memalukan bagi Astrid. Saat berjalan-jalan kemarin malam, ia bersama rombongan editor dari beberapa penerbit Indonesia mampir di sebuah kedai sosis. Ternyata benar yang mereka bilang, sosis Frankfurt adalah yang terenak. Astrid pun kalap. Ia mencoba berbagai rasa dengan bumbu dan level kepedasan yang menggoda. Setelah itu, Astrid juga coba-coba minum apfelwein di sebuah bar. Mungkin suhu udara yang tidak bersahabat ditambah dengan kondisi tubuhnya yang kurang baik dan psikisnya yang sedikit stress, malam itu Astrid terserang diare. Irgi menelepon ketika Astrid bolak-balik ke toilet.
“Ah, baguslah kalau gitu.”
“Thanks ya, Gi. Buat perhatiannya.”
“Ah, bukan apa-apa. Gue cuma khawatir. Syukur kalau lo baik-baik aja.”
“Gue bakalan baik-baik aja, selama punya temen yang baik kayak lo.”
Ya, Astrid baru sadar, selama berada di Jerman, selalu ada Irgi yang hadir mengisi kesepiannya. Apa yang tak sempat Astrid ceritakan kepada Ares, tanpa sadar telah ia ceritakan kepada Irgi. Salah satunya tentang perasaan indah yang memenuhi dadanya saat menyadari bahwa ia berada di tengah kota yang hampir seluruh warganya mencintai buku. Apalagi ketika ia makan malam di sebuah restoran, ia menyadari bahwa semua tamu restoran merupakan orang-orang penerbitan dari berbagai negara, dan mereka semua membicarakan buku dengan penuh minat dan rasa cinta. Astrid serasa berada di surga bersama orang-orang yang satu frekuensi dengannya.
“Lo udah makan malam?” tanya Irgi.
“Ini kita lagi siap-siap mau makan malam.”
“Oke. Selamat makan malam. Jangan sampai diare lagi, ya.”
“Ah, sialan lo, pake ngeledek gue segala! Iye, iye!”
Setelah panggilan telepon terputus, Astrid mengecek ponselnya lagi. Memastikan apakah Ares sudah membaca pesannya. Ternyata belum.
Apa yang sedang dilakukan Ares sekarang? Apakah Ares sedang bersama Neia? Apakah Astrid harus meneleponnya, atau melakukan panggilan video?
Dengan segenap harapan, Astrid pun akhirnya menelepon Ares.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Liar
RomanceAres tak pernah menduga kepindahannya ke apartemen baru akan mempertemukannya dengan Neia. Cinta lama yang bertepuk sebelah tangan karena gadis itu memilih pria yang lebih mapan. Sementara Astrid (pacar sekaligus roommate-nya) pergi bertugas ke luar...