Saya turun dari pesawat dan berjalan menyusuri bandara Adi Sucipto dengan langkah gontai, ekspresi bocah kecil yang saya tinggalkan terus terbayang-bayang selama perjalanan Makassar – Yogyakarta.
Hari sudah malam, pukul 21.00 WIB dan saya sedang merindu.
Saya tiba di counter pengambilan bagasi, menunggu hingga hampir satu jam. Handphone saya lowbet. Jadilah selama menunggu saya memperhatikan orang-orang disekililingku.
Dengan segala style mereka.
Style turis yang bersemangat, backpacker dengan tas ransel mereka, mahasiswa dengan jaket almamater kebanggaannya, para pekerja dengan pandangan kosongnya, om-om parlente berdasi, tante-tante berkacamata, paha gadis-gadis yang hanya pake shortpant, dan lain-lain yang dapat mengalihkan perhatianku dari lamanya menunggu bagasi
Lalu keluarlah koper hijau besar itu. Berbaris diantara kardus-kardus dan koper-koper. Warna hijau muda terangnya menonjol dibandingkan semua kawan-kawannya yang ikut berbaris. Saya mengambil koper itu diikuti lirikan gadis-gadis ber-paha tadi, tidak menyangka om-om berkumis – kumal seperti saya punya koper senorak itu.
Koper itu milik istri saya.
Dan memang norak.
Keluar dari counter pengambilan bagasi, saya langsung diserbu para supir taksi bandara. Hanya dengan melihat koper saya, mereka sudah tahu saya masih baru di kota ini.
Tawaran berdatangan, mulai dari ternyaman hingga termurah.
"saya harus nginap di hotel nih, sudah malam. bapak kost janjinya besok pagi baru kamarnya siap pakai." Kataku dalam hati.
Ketika saya sedang berbicara dalam hati dengan dialog diatas, sang supir taksi termurah menghampiri.
"mau nginap dimana mas? Mari saya antar dengan taksi harga termurah." Kata supir taksi dengan wajah sumringah dan senyuman mencurigakan.
Perlu diketahui, saya sudah trauma dengan supir taksi bandara. Pengalaman pahit yang dibodoh-bodohi oleh supir taksi bandara Sultan Hasanuddin Makassar selalu membayangi. Dari pengalaman itu saya menganggap semua taksi bandara adalah para penipu dibalik jubah Koperasi Bandara.
"saya mau nginap di hotel depan bandara mas."
"oh, yang hotel itu? Sama saya aja mas, murah kok. 100 ribu aja." Kata supir taksi dengan senyuman yang semakin mencurigakan.
Saya sedikit tergoda.
"ga papa mas, saya jalan kaki saja."
"jauh loh mas." Senyumannya semakin dan semakin mencurigakan.
Saya kekeuh
"makasih tawarannya mas"
Saya tinggalkan sang supir taksi yang wajahnya langsung cemberut ketika saya tinggalkan, namun kembali sumringah pada calon penumpang lainnya,
Saya menarik koper itu, berharap jarak jalan protokol dengan bandara tidak sejauh Bandara Sultan Hasanuddin.
5 menit kemudian.
Saya sampai di jalan protokol. Jalan Raya Solo – Yogyakarta.
"JAUH APAAN NIH!!" teriakku dalam hati.
Hotel yang saya tuju diseberang jalan.
Saya beristrihat dengan tenang, dan hemat 100 ribu.
YOU ARE READING
Hidup Di Jogja
Humorcerita ini mengenai perjalanan hidup pribadi saya selama di Jogja. dan masih terus berlanjut.