Hore.. motor saya telah tiba setelah 10 hari menunggu.
Mengendarai motor sendiri sungguh menyenangkan, saya begitu bebas keliling Jogja. Sebenarnya hanya keliling lapangan depan keraton lalu kembali ke Kost.
Setelah lebih dari seminggu melalangbuana di kota Jogja dengan motor sendiri, saya membuat daftar perbedaan lalu lintas Jogja dan Makassar.
1. Lampu merah (Traffic Light)
Dari hal ini saya menyadari mengapa kebanyakan orang Jogja memiliki sifat sabar yang besar. Lampu merahnya lama sekali. Seakan-akan saya bisa tinggalkan motor di tengah jalan lalu minum kopi di angkringan pinggir jalan. Kopi habis, lampunya belum hijau.
Kalau di Makassar, jika lampu merahnya selama itu maka para pengendara ramai-ramai melempari lampu merah itu. (Hyperbola alert)
2. Klakson
Selama membawa motor di Jogja seminggu ini telinga saya seakan-akan berada disurga. Suara Klakson jarang sekali terdengar.
Jika dimakassar, dimana-mana ada klakson sahut-sahutan. Seakan-akan klakson kendaraan di Makassar sudah bergeser fungsinya menjadi instrument musik kekinian. Bahkan terkadang ketika berada di lampu merah dan masih ada 10 detik sebelum hijau, kendaraan dibelakang saya sudah membunyikan klakson dengan tidak karuan.
"WOY.. MAJU WOY...!!"
Biasanya jika itu terjadi saya balik badan dan pasang muka woody woodpecker
"maksudnya saya disuruh terobos lampu merah dengan resiko ditabrak mati atau paling tidak ditilang, hanya demi kamuh???"
3. Iring-iringan Pejabat
Selama di Jogja saya bahkan tidak pernah mendapatkan iring-iringan Pejabat lengkap dengan Pak Polisi sebagai voorijder bagi sang pejabat didepannya.
Di Makassar? Cobalah susuri jalan-jalan Protokol Makassar. Selalu saja ada iring-iringan pejabat mulai dari Presiden, wakilnya, Gubernur, walikota, camat, lurah hingga ketua RT/RW tidak mau ketinggalan pakai voorijder. Bahkan jika beberapa pejabat ini ketemuan di jalan bersama para voorijdernya, terkadang mereka saling bersaing sirene. Siapa yang lebih gahar sirenenya artinya jabatannya lebih tinggi. Lama kelamaan saya merasa pekerjaan para polisi di Makassar kebanyakan hanya jadi voorijder bagi para pejabat itu.
4. Ambulance
Tahukah kalian jika di Makassar selalu saja ada ambulance lewat dengan sirene mereka? Entah itu membawa jenazah, orang-orang yang sedang sakit atau malah tidak membawa apa-apa. Sirenenya dibunyikan hanya agar si supir ambulance cepat sampai. Jika tadi para pejabat punya voorijder sebagai pembuka jalan, maka ambulance Makassar khususnya ambulance jenazah punya gerombolan pemuda-pemuda seperti supporter sepakbola yang membuka jalan bagi Ambulance.
Di Jogja? Frekuensi munculnya Ambulance dengan sirene mereka dapat saya katakan jarang sekali. Jika pun ada ambulance tanpa tumpangan, ambulance itu tidak membunyikan sirenenya dan jalan beriringan dengan kendaraan lain seperti biasa.
Dari hal ini saya mengambil kesimpulan, tingkat kematian dan orang-orang sekarat di Makassar jauh lebih tinggi dibandingkan Jogja karena frekuensi penggunaan Ambulance-nya yang tinggi.
Entah kenapa hal tersebut bisa terjadi.
Saya harap ada mahasiswa makassar yang melakukan penelitian untuk hal ini.
Saya tidak bermaksud mendiskreditkan Makassar karena Makassar pun selalu memiliki kelebihan lain dibandingkan Jogja. Namun, hal-hal yang saya sebutkan diatas kenyataannya sering terjadi.
YOU ARE READING
Hidup Di Jogja
Humorcerita ini mengenai perjalanan hidup pribadi saya selama di Jogja. dan masih terus berlanjut.