"di kostan ini jaraknya dekat kemana-mana loh mas" kata pak Nomo.
Saya dan pak Nomo sedang berbincang-bincang sambil menikmati matahari sore dihari sabtu.
"dekat kemana pak?"
"di depan jalan ada Gereja Kristen Jawa Wirobrajan, mas bisa ibadah disitu. Cuman 5 menitan udah nyampe. Trus banyak jualan makanan juga sekitar sini."
"wuih, mantep tuh pak"
"oh, iya. Malioboro juga deket loh dari sini. Sekitar 2 kilo lah."
Saya buka google map. Bener dekat banget.
"sip pak, kalo gitu saya mau jalan-jalan dulu ya pak."
Saya tinggalkan pak Nomo yang sedang menyiram tanamannya.
"oh iya pak, view kamar saya memang bagus." Kataku dengan senyuman mencurigakan.
Pak Nomo tertawa terbahak-bahak.
Saya memutuskan untuk jalan kaki. Dari Google Map sih rasanya dekat lah itu 2 kilo. Lagipula selama di Makassar saya jarang sekali jalan kaki.
20 menit kemudian.
Saya yang ngos-ngosan sampai di sebuah perempatan jalan yang sangat ramai.
Bingung melihat keramaian, saya putuskan untuk duduk disalah satu bangku. Meluruskan kaki.
Setelah ini saya tidak akan percaya lagi dengan kata dekat pak Nomo.
Sinar matahari sore yang hangat dan angin sejuk perlahan menghapus kelelahanku. Semakin lama saya duduk, semakin ramai tempat itu.
Saya buka Google Map, ternyata ini adalah Titik Nol Jogja. Di ujung jalan Malioboro.
Maka mulailah bermunculan para seniman musik. Dengan cekatan mereka memainkan semua instrument musiknya yang terbilang sangat lengkap untuk musik jalanan. Ada gitar akustik, gitar listrik, bass, drum, biola, hingga angklung.
"ini baru namanya liburan meeennnnn..." teriak seseorang didekatku pada temannya.
Orang itu sedang menikmati musik jalanan dengan menenteng tas ransel besarnya.
Backpacker pasti nih orang.
Saya duduk disitu hingga malam. menonton keramaian yang semakin malam semakin menjadi-jadi.
Di malam hari, band tadi sore digantikan oleh seniman musik yang lain. kali ini lebih heboh karena ada penarinya juga. Maka semakin menggila lah para pelancong yang berada di titik Nol. Mereka berfoto, melakukan live dengan social media mereka, meminta saya yang duduk sendirian untuk memfotokan mereka hingga ada yang duduk lesehan di lantai sambil minum kopi yang dijual ibu-ibu.
Setelah berjam-jam hanya duduk disitu sambil makan angin, saya mulai lapar.
Saya ingat sepanjang jalan yang saya lewati tadi banyak angkringan penjual Oseng-Oseng Mercon.
Salah satunya memiliki tukang parkir. Saya selalu menganggap, jika ada sebuah warung makan memiliki tukang parkir maka pastilah warung itu menjual makanan yang enak. Tanpa pikir panjang saya pergi ke angkringan itu.
Perlu diketahui, saya tidak suka makanan pedas.
"mas, oseng-oseng merconnya satu ya." Kataku dengan senyum yang lapar.
Tampak sekali sang penjual merasa tertantang dengan permintaan saya.
"minumnya apa mas?"
"teh tawar hangat mas."
Sang penjual makin tertantang.
5 menit kemudian datanglah oseng-oseng mercon itu.
Mata saya berair-air hanya dengan melihat makanan didepanku.
Perbandingan nasi dan cabenya saya rasa 2:1.
"apaan nih?!? Nasi kok isinya cabe semua!!" Kataku dalam hati.
Kini saya paham mengapa sang penjual semakin tertantang ketika saya memesan teh tawar hangat.
Karena lapar dan gengsi pada sang penjual, saya makan. Dengan telaten dan berhati-hati saya pinggirkan semua potongan cabe dan dagingnya. Hanya makan nasinya saja.
Saya pulang dari warung itu dengan penuh keringat, mata merah, bibir seksi, lidah merona, dan bersumpah tidak akan memesan oseng-oseng mercon lagi.
YOU ARE READING
Hidup Di Jogja
Humorcerita ini mengenai perjalanan hidup pribadi saya selama di Jogja. dan masih terus berlanjut.